Aku duduk menyilangkan kaki di kursi balkon apartemenku yang menghadap langsung ke langit barat Jakarta. Berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan kalut yang bernanung di kepalaku akhir – akhir ini. Mereka kembali berdesakan dan hampir membuat kepalaku pecah. Namun kemilau senja ini lumayan membuat keluh dalam kepalaku terabaikan sejenak. Agak silau memang saat cahaya keemasan itu langsung mendarat di kedua mataku. Tapi aku menyukainya. Seperti ada rasa kagum mendalam pada sebentuk sinar di ufuk barat sana.
Aku berkedip – kedip pelan. Kemudian menyipitkan mata. Kenapa matahari terlihat begitu indah saat terbenam seperti ini? Baru kali ini aku lihat karya surga yang begitu menggoda. Ingin ku rengkuh dia dan ku masukkan ke dalam sebentuk lemari kaca biar aku bisa menikmatinya kapanpun aku mau. Biasanya ketika ku pandang dia lewat jendela kantorku tak semenarik ini. Bagaimana bisa? Entahlah. Mungkin kali ini Tuhan sedang “pamer” kekuasaan padaku.
Momen ini adalah saat paling tepat untuk mengabadikan siluet merah ke-orange-an itu ke dalam sebuah bingkai foto. Kapan lagi punya kesempatan untuk menikmati sketsa alam yang begitu menawan?
Kemudian aku berdiri untuk mengambil kamera di dalam kamar. Aku hampir lupa kalau ada orang lain di rumahku. Setengah berjinjit ku lewati ruang santai yang tepat berada tepat di belakang balkon. Mataku tertuju pada sesosok lelaki muda yang tertidur pulas tanpa kaos di atas sofa yang tiba – tiba menggoda imanku. Langkahku terhenti saat itu juga dan terdiam lama di sana.
Angin terseok – seok mengibaskan anakan rambutku yang terurai berantakan. Kemudian membelai leherku sampai menimbulkan sejuk yang jarang aku rasakan, bahkan lewat AC sekalipun.
Ludah ku telan. Ku jilat bibir bawahku. Kemudian ku gigit – gigit kecil. Aku tak tahan untuk tidak menyentuh lelaki ini. Ingin sekali jari – jariku menceburkan diri ke kulit wajahnya yang sehalus sutera itu. Ingin kumainkan bibirnya yang merekah merah jambu itu. Aduh, aku tidak tahan untuk tidak menyentuh kumis tipis dan jenggot yang tumbuh kasar itu.
*
Jarakku dengannya cuma semeter. Dari tempatku membeku ini aku bisa menikmati jakun yang menonjol di leher jenjangnya. Dada dan perutnya yang terkotak – kotak dengan sempurnanya membuat air liurku seperti mau keluar, menetes jatuh ke lantai. Celana boxer bermotif polkadot yang membungkus tubuh bagian bawahnya tidak henti – hentinya ku lihat. Bulu – bulu kakinya yang memang sangat ku suka itu membuat darahku berdesir – desir. Sekali lagi aku menelan ludah. Bulu – bulu romaku merinding seketika.
Sebentuk sketsa lelaki sempurna itu di depan mata. Menyuguhkan barisan birahi yang tak terbantahkan. Mengeja hasrat – hasrat yang ingin direngkuh dalam sekali sentuh. Ingin sekali rasanya aku larut dan masuk ke dalam setiap jengkal napas yang mengembang kempis dalam dada sebidang itu.
Kemudian ku urungkan niat untuk mengambil kamera ke dalam kamar. Pemandangan menakjubkan di depan mataku ini tidak bisa aku lewatkan begitu saja. Akhirnya aku duduk di lantai sambil melipat kedua tanganku ke atas meja kaca di depannya sebagai bantalan untuk daguku.
Ku pandangi terus wajah bayinya yang sedang pulas tanpa dosa. Ku miringkan kepalaku. Ku nikmati jengkal demi jengkal wajah dan tubuhnya yang terpampang begitu indah itu sampai – sampai aku lupa kalau baru saja memuji keindahan mentari terbenam tadi. Ya pemandangan di depan mataku ini jauh lebih indah dari tadi, jauh lebih menggoda, dia sangat menawan. Kapan lagi aku bisa menikmati sebentuk rupawan ini?
Matahari setiap hari ada. Sedang dia? Sekali dia datang ke apartemenku ini sudah dibilang ajaib. Maka kali ini tak akan ku lewatkan begitu saja momen langka seperti ini.
*
Aku mulai mendekati tubuhnya. Sekarang jarakku dengannya cuma dua jengkal. Jadi aku bisa dengan leluasa mendengar deru napasnya yang beraturan itu, dan bisa dengan jelas menikmati gerakan naik – turun di dadanya yang bidang.
Perlahan ku gerakkan jari – jari tanganku menuju wajahnya. Aku ingin menyentuh hidung bangir itu. Juga matanya yang terkunci rapat. Juga bibirnya yang mengulas senyum sekalipun tidur. Juga bentuk pipi dengan rahang kokoh yang menggoda. Namun tepat sebelum berhasil menyentuh rahang kokoh itu, matanya yang bening bersih tiba – tiba terbuka lebar. Spontan ditariknya tanganku sampai wajahku mendekat ke wajahnya. Aku? Otomatis menjerit di depan wajahnya. Beberapa detik kemudian ku bekap mulutku dengan tangan kiriku.
Kali ini mataku berkedip – kedip liar. Ku gigit bibir atasku dengan gemas. Sial. Dia memergokiku dalam keadaan yang tidak mengenakkan.
Aku bisa merasakan hangat napas yang menguar dari hidungnya. Juga bisa melihat dengan jelas seluruh hal menakjubkan yang bersumber dari wajahnya. Ku palingkan wajahku sambil merutuk malu.
Sial.
Dia tersenyum melihat ekspresi tololku. Senyum bulan sabit yang selalu dia suguhkan padaku itu begitu sangat menawan. Sampai rasanya diriku seperti cokelat yang melumer terkena panas.
“kamu ngapain?” tanyanya sambil mengerjap. Suara lemah yang keluar dari bibirnya terhitung seksi. Membuat telinga normalku seperti disiuli.
“ehm… a..aada nyamuk di wajahmu” kataku pura – pura demi menyembunyikan malu.
“oooooo…..” Bibir seksinya membulat diikuti dengan matanya yang mengerling jahil.
“mana nyamuknya?” matanya bergerak – gerak mencari nyamuk.
“ehm.. udah terbang” jawabku asal – asalan.
Matanya menyipit. Keningnya mengkerut. Ditariknya separo alisnya kemudian dia mengulas senyum nakal
“kamu tidak berusaha menciumku diam – diam, kan?” tanyanya usil.
Aku gelagapan. Ku buang muka menjauhi matanya agar tidak kentara. “jelas nggak lah”
“bohong” katanya sambil menarik daguku mendekati wajahnya. Aku tercengang. Berkedip – kedip sambil melongo. Lagi – lagi aku harus menelan ludah.
“ngapain bohong?” tanyaku sok jaim.
“matamu tidak bisa berbohong” katanya mantap.
Beberapa detik kemudian aku nyengir sambil memperlihatkan deretan gigi – gigiku yang gingsul. Tawanya meledak seketika.
“kok ketawa?” kukerucutkan bibirku sambil menyilangkan kedua tanganku ke dada.
“nggak apa – apa, sayang” rayunya sambil menyeret tubuhku mendekat padanya. Kemudian dia memberi isyarat agar aku naik ke sofa. Lalu aku bangkit dan duduk di sebelahnya dengan masih menyisakan rona merah di pipi. Dia menyuruhku untuk memutar tubuh.
“mau ngapain?” tanyaku polos.
“udah putar aja” dia membimbing tubuhku untuk memunggunginya. Sekarang posisiku tepat menghadap ke jendela kaca yang menyuguhkan fenomena langka mentari terbenam tadi.What a great sunset! Seruku dalam hati.
Tiba – tiba dia mendekap tubuhku dari belakang. Aku tersentak kaget. Lengannya yang kokoh menguasai seluruh tubuhku yang memang terbilang mungil. Jantungku akhirnya olahraga juga, ia lari – lari sore jadinya. Berapa liter darah yang berhasil dipompa? Entahlah.
Jari – jarinya yang besar meremas milikku yang lebih kecil dengan manis hingga menimbulkan perasaan ajaib yang selalu muncul ketika ritual itu dia lakukan. Semacam desiran hebat yang tidak bisa dijelaskan dengan banyak kata. Namun intinya… sesuatu lah.
Kecupan yang dia daratkan di puncak kepalaku menambah sore itu semakin menakjubkan. Aku bergidik, bukan karena ngeri tapi karena sesuatu yang lain. Darahku berdesir. Sedikit gemetar ku balas meremas jari – jarinya yang tak sanggup ku gapai dalam dua tangan itu. Kemudian aku mengecupnya dengan lembut.
Dia merapatkan pelukannya tepat ketika matahari sudah hampir benar – benar tenggelam. Dan kali ini matahari terlihat jauh lebih indah dari tadi. Mungkin karena pemandangan itu tidak ku nikmati sendiri sehingga euphoria pelepasan sinarnya yang kemerahan itu terasa lebih istimewa.
Angin yang masuk lewat pintu kaca yang terbuka lebar diiringi dengan siulan yang biasanya dia lakukan menyergap tubuhku dan menimbulkan sensasi luar biasa. Rasanya sore ini adalah sore paling sempurna yang pernah ku lalui bersama lelaki ini.
Lelaki ini sukses membuat gersang duniaku dihujani butiran senyuman. Dia bak oase yang tiba – tiba muncul di tandusnya gurun sehariku. Dia menawarkan letupan cinta yang begitu dahsyatnya sampai tidak ada penolakan dari diriku. Dia adalah keajaiban. Ah, mimpi apa aku dulu sampai bisa duduk dengan manis bersama lelaki ini, di senja ini?
Candu adalah dia. Ya semacam drugs yang jika sehari saja tak ku rengkuh bakal membuatku mati gelinjangan di lantai. Tidak bisa rasanya jika dia tak di sampingku. Sambil bersiul mungkin aku akan menyanyi “aku tak biasa bila tiada kau di sisiku…aku tak biasa bila ku tak mendengar suaramu….”
Aku cengengesan sendiri saat membayangkan diriku menyanyikan lagu “Aku Tak Biasa” itu di hadapannya. Suara kodokku tentu saja bakal membuatnya terpingkal – pingkal andaikata dia mendengarnya.
Dia melongok ke wajahku. Kaget.
“kamu kenapa? Kok ketawa sendiri?”
“hehehe, nggak apa – apa. Cuma seneng aja bisa berduaan sama kamu di sini”
“yakin?”
“sumpah”
“demi apa?”
“demi matahari sore yang selalu ku lihat”
“ah masa?”
Aku tersenyum malu. Wajahku sepertinya diliputi merah jambu. Pipiku merona sampai terlihat seperti tomat rebus.
“sudah nggak perlu malu” dia mencubit hidungku yang tidak bangir.
Betapa bahagianya jika aku bisa begini setiap hari. Menikmati hujan matahari terbenam bersama orang yang ku cintai. Menikmati sisa – sisa mentari tanpa usikan apapun dan siapapun. Huah…. Betapa sempurnanya hariku. Batinku sambil menyandarkan kepalaku ke bahu kirinya.
Tiba – tiba HP yang tergeletak di atas meja berbunyi. Ah, mengganggu saja. Ku lepaskan pelukanku dan buru – buru mengambilnya. Ku perhatikan layar yang berkedip – kedip itu. Aku berdiri dan melangkahkan kaki menjauhi lelakiku menuju jendela kaca. Sejenak aku terdiam dan menimbang. Kemudian ku tatap mata lelakiku dengan ragu.
Dia mengangkat separo alisnya sambil menunjukkan ekspresi “kenapa?”
Aku cuma tersenyum dan menggerakkan kepalaku menunjuk ke kamar tidur, mengisyaratkan agar dia masuk ke dalam. Dia mengedikkan bahu dan mengangkat kedua tangannya ke udara sebagai tanda ketidakmengertian. Meskipun agak sedikit bingung namun diapun akhirnya bangkit dan berjalan ke arahku sambil mendaratkan ciuman di kening serta mengusap bahuku. Kemudian ia menuju kamar tidur.
Dengan ragu ku tekan tombol telepon berwarna hijau itu.
“halo?”
Orang di seberang sana bicara. Setelah itu ku jauhkan HP dari telingaku. Sejenak ku lirik lelakiku yang membisu di depan pintu kamar tidur sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. Kami saling berpandangan untuk beberapa detik.
Setelah mendengar berita dari sang penelepon tadi, sendi – sendi dalam tubuhku rasanya terlolosi sampai kaki – kakiku seperti jeli dan tidak bisa diajak untuk berdiri. Seketika tubuhku ambruk di lantai. Jantungku berdentum – dentum tak karuan. Keringat dingin keluar dari tubuhku. Gemetar menjalar sampai jari - jari tanganku kaku.
Matilah! pacarmu mau ke sini
2 komentar:
nice one.
salam kenal.
semoga kita bisa saling bertukar ilmu.
:D
http://siiudib.blogspot.com/
@Sudibyo P. Wiyono: iyaaa sama2...makasih ya udah berkunjung :)
Post a Comment