February 20, 2013

Rindu

Ri....
Ini baru seminggu. Ini baru tujuh hari. Kenapa terasa berbulan - bulan? Aku ingin melerai rindu yang bersarang manja di dalam hatiku. Aku ingin mengabaikan hasrat untuk berbincang. Aku ingin merenggangkan jarak agar ku terbiasa seperti dulu, tanpamu di hari gelapku. Mataku selalu jelalatan masuk ke dalam akun profilmu. Tanganku selalu bergerak liar untuk mengetik pesan - pesan singkat padamu. Dan isi kepalaku tak bisa lepas dari gambar wajah yang ku pajang dalam wallpaper HPku. Itu gila.

Rindu membunuh, menghujam jantung dan membunuh kesadaran.
buta melingkupi mataku sampai tak mampu melihat kemana harusnya ku pandang.

Aku dan kamu bukanlah sepasang anak manusia yang sedang mengikatkan rasa. Seperti itu kan?
Hanya aku rasanya yang mendadak gila karena mendapatkan rasa itu jatuh tepat ketika hatiku diliputi beku.
Dan sekarang? sekarang rasa itu membunuhku seperti segelintir ekstasi yang tak ku telan sehari.

Archhhhhhhhhhh aku mau teriak.
Rindu ini mengurungku ke dalam penjara bawah tanah tanpa udara. Sesak.

Read more »

February 19, 2013

Stress

nggak ada passion. semangat luntur. stres. nggak tau mau mulai lagi dari mana :'(
Allah tolong, siapapun tolong bantu saya untuk BANGKIT! :'(
saya terjebak dan tidak tahu bagaimana caranya kembali
tolong bujuk saya, marahi saya kalau perlu biar saya sadar dan cepat berdiri lagi!
diri saya sendiri saja sudah tidak mampu membuat saya "melek"
jadi, tolong....tolong buat saya "tertampar" dan sadar! :'(









Read more »

February 17, 2013

Don't You Remember


Sedang meng"gila" dan akhirnya iseng merekam suara "bebek" saya. Listen it dan siap-siap telinganya rusak. Hehehehehe
Read more »

ia....


iadatang begitu saja membawa sesuatu yang tak pernah ku sangka sebelumnya. ia hadir tiba - tiba tanpa memberikan sinyal kecil pada mercusuar di bibir pantaiku agar aku terjaga. ia muncul ditemani oleh sepasang lilin kecil pembawa terang ke sudut hatiku yang diliputi kelam. ia seperti titik - titik kecil bintang di langit malam yang menentramkan ketika bulan malas mengangsurkan sinar.

aku tidak pernah tahu kenapa rasa itu tiba - tiba muncul seperti menabuhkan genderang perang di perbatasan selatan. tapi ini bukan perang sungguhan, ini hanyalah sebuah pergolakan yang muncul begitu membabi buta di antara sekat - sekat dinding hati yang dulu kosong tak terisi.

aku selalu rindu pada gelegar tawa yang ia siratkan dalam setiap kata yang ia tulis dalam pesan singkatnya. aku selalu rindu pada kekonyolan kecil yang ia buat hingga membuat kepalaku nyaris pecah karena gemasnya. aku rindu dan rindu semenjak itu, semenjak....semenjak kapan? semenjak sembilan dua muncul dalam pesan singkat yang kau layangkan padaku? entahlah. kau datang tiba - tiba dan aku tak tahu tepatnya.

ia bukan seorang yang piawai merumuskan kalimat indah agar aku tergila - gila ketika membacanya. ia adalah ia dengan segala kesederhanaannya. ia memiliki sesuatu yang luar biasa yang membuatku merasa nyaman ketika bersamanya. 

seminggu bukanlah waktu yang lama. namun kenapa rasa itu begitu cepat melesak masuk ke dalam sini? lagi-lagi aku harus bertanya dan menegaskan satu hal: tidak terlalu cepatkah? semua datang tiba - tiba seperti gempa yang mengguncang perut bumi, seperti banjir bah yang menerjang rumah - rumah. kau seperti setan kecil yang tanpa alasan datang dan merasuki isi kepalaku dengan kurang ajarnya.

aku tahu, aku merasakan getar kecil itu selalu datang setiap kali ponsel kecilku berdering, nada sms mengusik telinga hingga jantungku melompat - lompat kesetenan karena berharap itu adalah kamu. senyuman dan bahkan tawa terkadang melebar tanpa bisa dicegah ketika pesan singkat itu berhasil ku baca dengan hebohnya dan setelahnya mendadak diliputi kebahagiaan luar biasa. siratan kata yang kau tuang dalam twittermu juga membuat makhluk penghuni hatiku gelinjangan tak karuan. kita ini gila. ketidakwarasan tiba-tiba datang tanpa kita tahu mulanya. hei, bukankah Kamis kemarin semua terlihat baik-baik saja?

ia seperti candu yang jika tak ku teguk sehari bakal membuatku....mati? mati suri :)

Read more »

February 16, 2013

Cinta Seperti...

cinta seperti ulat
yang damai dalam kepompong hidup
menanti metamorfosis
tak ada cemas
semua berlangsung seperti gelombang angin menebar desis bunyi
ke setiap waktu

cinta seperti detak jarum jam
yang singgah dalam perdebatan antara gelap dan terang
menanti histeris di antara remah - remah gerimis tadi malam
bertafakur mengangkasa sempurna
seperti doa-doa bunda adalah ranum matamu
yang sebabkan aku derita
diselimuti pekik rindu dan gelagak perkusi daun - daun cahaya
Read more »

February 15, 2013

Sembilan Dua :)



Seperti hantu. Kata mereka para hantu bergentayangan menjelma menjadi satu sosok yang tiada henti menari dalam lingkar kepalamu hingga membuat tidurmu jarang dihinggapi lelap. Dia selalu datang membentuk satu wujud mimpi yang membuat keringatmu nyaris bercucuran ketika matamu sedang memejam rapat. Tak jarang dia juga membawa halusinasi gila yang terkadang membuat matamu nyaris terjaga ketika kantuk mengeratkan dirinya. Lalu setelahnya kau akan memberikan pendapat bahwa kau sedang "kerasukan" sesuatu.

Mungkin ini terbaca sebagai ketidakwarasan yang mulai hinggap ketika tanpa sengaja mulai memikirkan sesuatu yang dari dulu tidak pernah dipikirkan. Archhhhhhhh.... sebegitu mudahnyakah? lalu pertanyaan itu muncul kembali setelah seharian ini disibukkan dengan pemandangan yang (jujur) nyaris membuatku tidak bisa berhenti tertawa. Kenapa tertawa? sebab ku pikir aku telah gila. Melihat lingkar matanya yang memabukkan membuatku ingin melemparkan pandangan ke arah lain, namun tidak bisa. Ada saja alasan untuk berusaha mencuri penglihatan ke arah wajahnya yang so....... Arckkkkk. Setan. 

Betapa jantungku lari-lari sulit dikendalikan, pipiku merona sampai ku rasakan membuatku lost control saat di depanmu seperti itu. Aku berusaha mengendalikan segalanya agar terlihat senormal mungkin namun segalanya malah bertambah buruk ketika gugup membuat kalimat yang keluar dari bibirku kadang belepotan hingga terlihat mati gaya. Jujur, sebelumnya aku tidak pernah kalah ngomong sama laki - laki. Tapi di hadapanmu? Arckkkkkk, semacam kehilangan perbendaharaan kata.

Awalnya biasa. Rentetan cengiran gila selalu keluar dari bibirku ketika membaca sms - sms konyolnya yang selalu membuat perutku nyaris sakit. Entah ya, dari lima hari yang lalu sejak dia sms pertama rasanya emang....hm, berbeda.... ada yang beda, dariku. Semenjak kehilangan BB yang biasanya selalu membuat duniaku tidak terlepas dari jeratan DUNIA MAYA, memang aku seperti kehilangan separuh pekerjaan tetapku. Hahahaha. Orang gila. Namun, suatu sore dia datang membawa satu pesan singkat yang membuat segalanya berubah sampai sekarang. Hingga akhirnya membuatku bisa berkata "Tidak ada BB lagi tidak apa-apa, pakai HP ini pun aku sangat senang," KENAPA? "soalnya ada kamu yang rajin sms aku"

Lalu.... suatu ketika perbincangan gila dan konyol yang selalu kami bahasakan dengan Jawa tulen aksen kental Kediri dan Nganjuk yang selalu membuatku tidak pernah berhenti melebarkan tawa mengarah pada hal umur. . I knew that he's younger, but I never thought that he's birth in ninety two. Kyaaaaaaa I almost died. "kenapa harus sembilan dua?" itu kataku pada akun facebookku. 

Aku tidak peduli dan bahkan sama sekali tak peduli jika segelintir cacian mampir kepadaku karena aku tertarik dengan sembilan dua itu. Persetan dengan itu. Tahu apa kalian tentang rasa? rasa datang tanpa diminta dan bahkan terkadang memaksakan diri datang ketika segalanya masih terlihat belum matang. Dan rasa tak pernah salah alamat. Dia selalu datang ke tempat tujuan yang tepat. Hanya saja kadang si pemilik tempat yang tidak bisa menjaganya dengan erat.

Yang aku tahu hanya satu, aku suka dan itu wajar. Tapi, tidakkah itu terlihat buru-buru? Tidak ada yang terlihat buru-buru sebab segalanya bisa datang dalam satu kedip mata, seperti kematian contohnya. Rasa tertarik dan suka bisa saja datang dalam satu waktu. 

Aku tidak tahu bagaimana dia melihatku, menganggapku, sebagai seorang teman lama yang sama - sama gila atau seorang kakak angkatan yang konyol atau seorang nenek lampir cerewet tapi bisa dia kalahkan yang jauh dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Aku sama sekali tidak peduli. Bagiku, bisa mengenal dan membagi cerita gila setiap hari dengannya sudah lebih dari cukup. Terlalu mengharapkan sesuatu yang abu-abu tidak baik. Keep it on right place. 

Dan sampai pada akhirnya aku harus bilang kalau aku malu karena ternyata kau sadar kalau sembilan dua yang ku maksud adalah kamu. Dan apakah kau tahu ketika ku intai facebookmu dan ternyata terdampar status pertanyaan tentang status yang "dia" buat untuk siapa membuat jantungku lari - lari tak karuan hingga akhirnya muncul pertanyaan "itu status ditujukan ke siapa? aku? oh tidak, aku tidak mau GR". Dan ternyata...hehehehehe....tadi semuanya jelas meskipun sebenarnya tidak jelas karena aku cuma melayangkan tawa saja. Hehehe, maaf. Seperti itulah ketika aku mati gaya dan malu.

Kau tahu, kau tahu ada yang beda dari diriku. Maka, tetaplah seperti itu jika kau atau aku tidak mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini bakal menyakitkanku atau kamu. Aku tidak mau kehilangan kenyamanan yang ku terima darimu selama ini. Lebih baik diam dan menganggap tidak ada apa-apa daripada aku kehilangan ini. Dan kamu tidak boleh protes karena aku tiba - tiba begini :)

Aku akan membiarkan ini mengalir seperti laju air. Ku biarkan dia berjalan, entah pelan, atau mau lari ya silakan. Yang jelas semua tidak bisa ku paksakan. Ada hal - hal yang hanya akan diabadikan dalam sekotak memori kecil dalam satu sudut hati jika segalanya tidak sesuai dengan apa yang diingini, dan kamu salah satunya. Membiarkan rasa ini muncul dan kemudian tumbuh seperti ini tanpa pupuk memang nantinya akan membuatnya mati sendiri. Biarlah. Jika ini cuma sementara, aku hanya akan bilang "Allah, terima kasih telah menghadirkan dia dalam perjalanan singkat hamba" 
:)

Read more »

February 13, 2013

Sembilan Dua

kenapa sembilan dua?
entahlah
jadi bingung mau jawab gimana
tapi yang pasti dari tiga hari yang lalu nama tuh bocah yang muncul terus -.-









Read more »

First Time


Mecca sudah di sana. Sebuah tempat yang tidak asing baginya ketika sedang kebigungan mencari referensi untuk tugas akhirnya –skripsi- sekaligus tempat favoritnya ketika tidak ada jadwal kuliah. Sekali lagi ia pandang bangunan megah yang terletak di sisi timur area kampusnya yang terletak tepat di depan danau –yang banyak orang menyebutnya danau cinta- itu dengan takjub. Bangunan bergaya Belanda yang seringkali menjadi obyek fotografi itu memang memiliki nilai seni yang tinggi. Jenis ukiran dan ornamen yang menghiasi dinding membuat siapapun yang melihat dan bahkan masuk ke dalamnya seakan terbawa ke dalam zaman penjajahan dulu.

Seringkali Mecca membayangkan dirinya berada di dalam gedung seperti ini di zaman penjajahan Belanda ratusan tahun lalu. Menjadi seorang pribumi yang notabene bukan seorang bangsawan dengan keadaan sengsara, yang kebanyakan menjadi kacung, yang tidak bisa menyecap bangku pendidikan apalagi setinggi ini membuatnya bergidik. Betapa Tuhan Maha Adil.

Sejurus kemudian Mecca menepuk dahinya dengan keras lalu disusul dengan menyisir rambut – rambut yang menutupi separo dahinya dengan gemas. Ia teringat sesuatu. Kenapa harus di tempat ini? Ia menggeleng ringan disertai dengan cengiran heran di sudut bibirnya. Di atas anak tangga pualam di depan pintu raksasa bangunan itu akhirnya ia melangkah sekaligus berdoa agar pertemuan ke sekian kalinya dengan pemuda – pemuda pilihan Mama itu berjalan sesuai dengan yang ia harapkan. Paling tidak, not bad lah. Tapi kenapa harus di kampus? Tidak adakah tempat ketemuan selain kampus? Selain perpustakaan?

Perpustakaan kampusnya sedang ramai. Dari sudutnya berdiri –di depan komputer registrasi- ia bisa melihat lalu lintas padat merayap di beberapa spot lantai satu seperti tempat peminjaman buku, komputer free accses, juga wifi zone yang sepertinya sudah tidak menyisakan tempat duduk bagi beberapa mahasiswa yang tengah berdiri sambil celingukan mencari celah untuk bisa menaruh laptopnya. This is weekdays. Mecca mendesah.
Ia melewati lantai dua dan tiga, tempat penyimpanan buku –yang kabarnya- dengan koleksi terlengkap di provinsinya. Ia sempat terpaku melihat betapa penuhnya ruangan itu. Sudut yang biasanya ia tempati sudah diduduki mahasiswa yang –sepertinya- sedang menatap nanar layar laptopnya seperti dirinya dulu.

Akhirnya ia sampai di mini café yang terletak di lantai paling atas –lantai empat- bangunan megah itu dengan dada berdebar. Tumben? Mecca menyentuh dahi dan lehernya yang agak panas dengan gelisah kemudian menirukan gaya dan ucapan Rancho dalam film 3 Idiots, All is well All is well sambil menepuk – nepuk dada kiri dengan tangan kanannya yang tengah dibanjiri keringat dingin.
“Semacam hendak bertemu dengan calon suami saja. Apa – apaan ini? biasanya baik – baik saja ni jantung. Kenapa tiba – tiba minta diajak jogging?” Gerutu Mecca.

Mecca gusar. Apalagi mengingat kejadian minggu kemarin di salah satu resto hotel ia –dengan terpaksa- menemui calon yang Mama katakan adalah lulusan MBA universitas ternama di Amerika malah membuatnya bad mood setengah mati. Mecca tipikal orang yang suka bicara, senang berdiskusi, senang bertanya, senang menanggapi omongan, dan senang mengobrol itu harus dihadapkan dengan seorang laki – laki berusia tiga puluh tahun yang cueknya kurang ajar, yang berhasil membuat Mecca mati gaya. Dan sepanjang pertemuan, mereka hanya ngobrol ketika Mecca bertanya dan jawaban yang Mecca dapat hanyalah sepotong dua potong kata yang jika dijadikan kalimat tidak sampai terkumpul menjadi satu paragraf penuh. Dan sesampainya di rumah, ia stress dan marah pada Mama karena mengenalkannya dengan lelaki kaku yang bukan tipe seorang Mecca.

Langkahnya diatur sepelan mungkin agar ia bisa berlama – lama mencari sosok yang ia akan temui. Sebenarnya ia hanya berusaha mengendalikan laju jantungnya yang tidak seperti biasanya. Bagaimana tidak, jika sebelum berangkat Mama bilang kalau laki – laki ini beda dari laki – laki sebelumnya. Laki – laki ini bukan seperti yang terakhir. kata Mama ini tipe seorang Mecca. Dan tipe Mecca adalah seorang Vino G Bastian.

Mini café itu tidak seramai tiga lantai di bawahnya, mungkin karena banyak mahasiswa yang sedang –benar-benar- sibuk mengerjakan tugas akhirnya sampai untuk membeli minuman pun tak sempat, seperti dirinya pada bulan – bulan kemarin. Mecca mendengus, untung tinggal nunggu wisuda.

Mecca berhasil duduk di sudut café yang mengarah langsung ke danau di depan perpustakaan. Cahaya keperakan buah dari pantulan matahari yang melewati jendela kaca berhasil membuat tubuhnya diliputi hangat. Ia mengusap bahunya dengan gembira. Kemudian ia menjulurkan kepalanya, celingukan mencari laki – laki itu. Matanya mengarah ke seluruh penjuru mata angin dan tidak satupun berhasil membidik sosok yang diceritakan Mama yang katanya seorang eksekutif muda, tinggi, tampan, keren, dan lain – lain. Biasalah, Mama selalu melebih – lebihkan para laki – laki yang hendak dikenalkan kepadanya.

Namun yang ia temukan hanyalah wajah – wajah mahasiswa seperti dirinya yang sedang relaksasi dengan menyeruput es teh dan berbagai macam minuman lainnya. Setelah putus asa dan leher terasa pegal, akhirnya Mecca memutuskan untuk membeli segelas cappuccino.

Kesalahan fatal yang ia lakukan adalah ia tidak meminta nomor HP laki – laki itu ke Mama, ia hanya tahu gambaran laki – laki itu seperti yang Mama katakan –eksekutif muda, tinggi, tampan, keren, bla b la bla- sebelumnya.  Ia tidak sempat bertanya laki – laki itu memakai baju warna apa dan…….Langkahnya tiba – tiba terhenti ketika telinganya merekam suara –namanya- mengudara di belakangnya.
“Mecca!?”
Suara laki – laki. Ia terhenyak. Beku di tempat.
“Annisa Mecca!?”
Sekali lagi telinganya ditajamkan.
“Mecca!?”
Namanya benar – benar dipanggil.

Deg. Laki – laki itukah? Mecca menelan ludah. Ia jilat bibir bawahnya dengan gemas lalu digigit – gigit kecil. Matanya berkedip – kedip liar. Dadanya kembang – kempis tak karuan. Hei, tumben. Kok setegang ini sih? Ia berusaha mengatur napasnya sebelum memutar tubuhnya. 

Lalu ia merapikan rambutnya yang -memang- agak berantakan itu dengan jari – jarinya.
Ia diam sejenak dan meniupkan napasnya ke poni yang menutupi dahinya. Ia menarik napas sekali lagi. Dan ia siap. Kemudian ia berbalik dengan anggunnya disertai senyuman paling manis sedunia.

Kalau di film – film kartun atau komik, mungkin di wajahnya sudah digambari tetes – tetes peluh dengan bulatan mata hitam menyeramkan dan ekspresi paling tolol yang pernah ia tunjukkan sepanjang ia hidup. Mecca tidak bisa menutup mulutnya ketika melihat orang di depannya tersenyum tanpa dosa.
“ngapain Ca di perpus??” laki – laki itu menepuk bahunya dengan santai.

Sialan! Mecca mengumpat tanpa suara disertai dengan gerakan memonyongkan bibir –seperti biasanya ketika ia sedang kesal- pada teman kuliahnya itu. Sebenarnya ia ingin berteriak dan memukul temannya itu jika saja ia tidak berada di tempat yang cukup memalukan jika ia melakukan tindakan itu. Maka dengan setengah berpura – pura mengumbar senyum lima jarinya disertai dengan pukulan kecil di bahu temannya, ia bicara.
“mau ketemu orang…”
“ecieeee…. Ketemu gebetan ya? Udah punya pasangan buat foto wisuda nih?” temannya terkekeh.

Skak. Mati di tempat.

Mecca mendengus. Ia ingat gurauan STMJ yang selalu dikutukkan pada mahasiswa – mahasiswa akhir yang masih jomblo termasuk dirinya. Mecca menepuk dahinya.
“yackkkkkkkk……” Mecca menendang kaki temannya dengan gemas.
“aduh, ampun Ca. Ampun…….Hahahaha………kaburrrrrr ah……..” sekonyong – konyong temannya kabur dari hadapan Mecca. Ia masih sempat melambaikan tangan pada Mecca sebelum singa betina itu meraung lebih keras. Dan Mecca menyeka dahinya yang tidak berkeringat.

Mecca membuang napas kesal. Ia pikir si laki – laki itu yang memanggil tapi ternyata temannya sendiri. Jantungnya terlanjur sudah tidak waras begini. Sialan.

“Mecca???”

Refleks Mecca menoleh dengan masih menyisakan kekesalan di wajahnya. Ia mengerutkan dahi. Ia tidak sempat merapikan ekspresi tolol di wajahnya ketika yang ia lihat adalah replika Afgan duduk manis di depannya.

“Mecca???” Sekali lagi laki – laki itu memanggil dia – tepatnya bertanya-

Mecca menunjuk dadanya sambil mengurai ekspresi bertanya juga. Laki – laki itu mengangguk setelah mengerti maksud Mecca. Dan kemudian berdiri mengangsurkan telapak tangannya.

“Rendra” laki – laki itu menyebutkan namanya.

Mecca melongo. Matanya berkedip – kedip melebihi kedipan normalnya. Jantungnya lari – lari lagi. Dan setengah gugup ia mengangsurkan tangannya juga. Ternyata ini toh sang eksekutif muda, keren, tampan, tinggi, cakep yang Mama bilang. This isn’t not bad Mom but he’s too good and so perfect for her.

“Mecca…. Annisa Mecca” ucap Mecca terbata.

“iya tahu, tadi temenmu teriak sekeras itu mana mungkin aku tidak mendengarnya?” katanya sambil mengulas senyum. Mecca membeku di tempat. Makhluk Tuhan paling WAH ini benar – benar membuatnya tidak berhenti berkedip.

“duduk…??” pinta Rendra sambil menggerakkan tangannya untuk menarik kursi di depannya.

Mecca menyadari bahwa dirinya telah terhipnotis hanya dalam hitungan detik. Kenapa tadi ia tidak melihat laki – laki ini? kemana saja matanya berkeliaran?

“kamu udah lama di sini?” Mecca bertanya dengan hati-hati agar kegugupannya tidak ketahuan.

“iya….”jawab Rendra santai.

Rendra tahu kedatangan Mecca, malah Mecca melewati tempat duduknya dua kali. Namun Rendra tidak tahu kalau perempuan manis itu bernama Mecca sampai laki – laki yang mengaku teman Mecca tadi berteriak dengan lantang di sampingya.

“minum apa?” tanyanya manis disertai senyum yang manis pula.

Mecca memang terhipnotis oleh ketampanan laki – laki yang berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini. Mama tidak membual. Laki – laki ini memang keren dan bahkan jauh diluar ekspektasinya. Setelan kemeja biru tua bergaris tipis yang dimasukkan celana dengan dua kancing di bawah kerah tidak dikaitkan sehingga lapisan kaus putih polos terlihat dengan lengan yang digulung sampai siku, celana kain press body dan sepatu –entah merknya apa- kulit yang membuat penampilannya seperti eksekutif muda seperti biasanya, jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, gaya rambut dengan belahan kiri disisir rapi ke belakang, serta kacamata setebal itu membuat mata Mecca tidak berhenti bergerilya sampai di situ saja. Wajahnya yang nyaris tanpa cacat itu tidak henti – hentinya membuat Mecca menggeleng dan mengangguk. Alis tebal dengan mata sedikit sipit yang dibingkai dengan kaca mata berframe cokelat tua berukir, lekuk hidung yang sedikit bengkok, dan garis bibir sensual yang berwarna merah muda tanpa polesan lipgloss itu, dan……..

“minum apa? Hei….” Rendra mengibas – ngibaskan tangannya di depan mata Mecca. Kemudian menggeleng dan tersenyum.

Mecca tersadar dan diliputi malu luar biasa saat mendapati Rendra tersenyum simpul seperti itu. Sepertinya Rendra tahu bahwa baru saja dirinya diperhatikan sedemikian rupa.
“hhe….maaf. Aku cappuccino aja” kata Mecca pada Rendra yang sudah setengah berdiri.

Rendra meninggalkan Mecca yang tengah menahan malu. Mecca tidak habis pikir, mana ada replika seorang Afgan dengan garis ketampanan nyaris sempurna seperti itu? Jangan – jangan ia saudara kembar Afgan? Dan Mecca akhirnya lupa tentang tipe idealnya, Vino G Bastian.

Perempuan mana yang bisa menolak pesona sekurang ajar itu? Mecca perempuan biasa, normal, tentu saja matanya begitu berbinar ketika melihat ciptaan Tuhan barusan yang begitu sempurna. Mecca sering mendapati orang keren tapi tidak sesempurna ini. Ia tidak mimpi kan? Mama, dimana Mama menemukan laki – laki semenarik ini?

Rendra kembali dengan membawa segelas cappuccino dan teh hangat. Setelah meletakkan segelas cappuccino ke depan Mecca, ia menggeser duduknya lebih dekat ke perempuan itu.
Mecca memutar tubuhnya. Mama….

Tidak ada yang bisa Mecca sembunyikan kecuali detak jatungnya yang tak beraturan. Ekspresi nge-blush yang digambarkan dengan jelas di kedua pipinya tak bisa diabaikan, keringat dingin yang muncul di telapak tangannya yang membuat basah beberapa lembar tisu, serta perut yang dari tadi terasa mulas padahal tidak sedang kebelet. Mecca menggigit bibir bawahnya. Dan sesekali mencuri pandang ke arah laki – laki di sampingnya yang tengah sibuk memperbaiki posisi duduknya.

Jaraknya dengan Rendra hanya sekitar 50 sentimeter, dan ia bisa dengan kurang ajar mencium aroma wangi parfum yang menguar tanpa bisa dibendung dari tubuh Rendra. Sensasi maskulin oriental disertai dengan wangi aroma lemon segar dan bunga zaitun merebak masuk ke dalam hidung Mecca dan melesak menuju ke dalam tubuhya hingga menghasilkan sensasi luar biasa. Seandainya pelukan Rendra mendarat di tubuhnya.
Mecca meggelengkan kepalanya. Imajinasi gila barusan membuatya menelan ludahnya sendiri. How can? Ia mulai benar – benar gugup dihadapkan laki – laki semenarik ini. Dan demi menutupi itu, ia menyeruput cappuccino dengan tergesa.

“auww… kok panas???!” Mecca menjerit.

Rendra menoleh. Ia perhatikan Mecca yang tengah menekan – nekan bibirnya yang kepanasan.

“kamu tadi nggak bilang kalau minta dingin ya aku pesen yang panas…” ujar Rendra santai.

“kamu nggak nanyain aku mau minum panas atau dingin gitu??!” Mecca membela diri.

“seharusnya kamu bilang duluan, kan aku nggak tahu kebiasaan kamu minum panas atau dingin” jawab Rendra sambil mengeluarkan secarik kertas dan puplen.

“seharusnya kamu nanyain aku mau minum panas atau dingin!!” jawab Mecca sedikit kesal.

“seharusnya kalau kamu sudah terbiasa minum dingin kan bilang mau minum yang dingin pada orang yang baru kamu kenal” kata Rendra tanpa melihat ekspresi dingin Mecca.

“kamu yang menawari minum seharusnya kamu yang tanya duluan” Mecca melipat kedua tangannya dengan kesal. Orang ini ternyata sedikit menyebalkan. Nggak bisa mengalah sedikit ya sama cewek? atau minta maaf gitu?

“oke oke, baiklah aku yang salah. Aku minta maaf” kata Rendra sambil mengulas senyum disertai dengan pameran gigi – gigi seputih salju.

Mecca menelan ludah. Belum juga ia menyelesaikan kalimatnya, laki – laki ini sudah bilang maaf. Apa jangan – jangan ia punya indera ke enam?

“kamu terlalu menikmati pesonaku sih, makanya sampai lupa bilang mau minum yang dingin. Ya kan?” Rendra menyikut lengan Mecca sambil tertawa.

Mecca membulatkan matanya diikuit dengan ekspresi oh my God-nya.

“GR banget sih?” Mecca memonyongkan bibirnya.

“tidak ada larangan untuk GR bagi orang yang merasa dirinya memang keren” kata Rendra diikuti dengan satu kedipan jahil dari matanya kemudian menaik – naikkan kedua alisnya.

Mecca menarik kepalanya, kemudian mengedip – ngedipkan matanya dan disusul dengan ekspresi oh my God-nya. Ia tidak habis pikir kalau ternyata tidak semua orang keren itu menyenangkan dan benar – benar keren perilakunya. Ada juga yang ternyata sadar dengan kekerenannya dan besar kepala seperti laki – laki di sampingnya ini.

“oke oke, sudah. Lupakan saja cappuccino panas atau dingin itu. ngomong – ngomong kamu umur berapa sih?” kata Rendra sambil mengeluarkan beberapa potong kertas -yang sepertinya brosur- ke atas meja. Mecca sempat melihat tulisan di kertas – kertas itu ketika Rendra meletakkannya tidak jauh dari jangkauan matanya meskipun dengan font tulisan ukuran 12 sekalipun.

“kamu…….????” Mecca menunjuk hidung Rendra.

yes……” jawab Rendra asal – asalan.

“kok udah bilang yes? Emang kamu tahu aku mau ngomong apa?” Tanya Mecca heran.

“nggak tau sih, asal jawab aja. Kan “yes” berarti positif. Kalau “no” kan negatif. Nah, mending berpikir yang positif kan daripada negatif. Hehehe. Siapa tau kamu menawariku untuk jadi pacar kamu??” jawab Rendra cengengesan.

Mecca menepuk dahinya lagi. Laki – laki kemarin itu cueknya kelewatan, dan laki – laki ini bicaranya kelewatan.

“Ya Tuhan…. Mama?!!!!?” Mecca berteriak sambil meremas kepalanya.

“sudah sudah…. Mecca yang cantik… berikan kesempatan untuk bang Rendra ngomong ya….” Rendra mengulas senyum mautya. Dan demi Tuhan, Mecca tidak bisa berbohong bahwa senyum laki – laki itu memang begitu menawan. Namun, apa yang ia tulis kontan membuat kepala Mecca nyaris pecah.

Mecca melorotkan duduknya setelah sebelumnya menghela napas yang sangat berat dan menepuk dahinya. Sesaat kemudian HP Mecca berbunyi. Dari Mama,

Ca, laki – laki yang mau Mama kenalkan ke kamu nggak jadi dateng. Dia ada acara di luar kota.
Sepertinya Mecca mau pingsan setelah membaca sms dari Mamanya.

“oya, kamu sudah ikut asuransi belum?” Tanya Rendra santai. Tapi pertanyaan itu membuat Mecca menepuk keras – keras dahinya.


Read more »

Stay!


*nyoba bikin FF tapi nggak becus* >.< 

Salju turun begitu cantiknya. Jatuh satu – satu menebarkan aroma khas bulan Februari yang dingin dan dirindukan. Di salah satu sudut jalan, di bawah merah lampu lalu lintas, seorang perempuan muda terpaku di tempatnya. Tubuhnya dibungkus mantel warna gelap dengan scarf bulu abu – abu, boots selutut serta sarung tangan membalut kedua tangannya yang mungil. Mata segarisnya mengerjap – ngerjap tanpa gairah.

geurae naneun baboya, geuripgo…. (iya aku bodoh, aku merindukanmu)” gumamya ketika lampu hijau penyebarangan menyala. Dengan gontai ia langkahkan kakinya melewati satu per satu garis – garis putih di depannya. “gidarilge, ijarie meomchun chaero (aku akan menunggu. Di sini aku akan tinggal untukmu)”

Entah sudah berapa ribu malam ia habiskan di Paris sendirian. Banyak musim ia lalui tanpa laki – laki itu. Ada banyak hal yang tidak bisa ia bagi dengannya di saat ia ingin berbagi. Ada bagian dalam hatinya yang mendadak kosong ketika ia tidak menemukan laki – laki itu di setiap harinya.

Air mata sudah mengambang di pelupuknya dan siap untuk jatuh ketika tiba – tiba saja ia dikejutkan oleh sesuatu. Seseorang menyenggol bahunya sampai membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh.“auww……..” Eun Joo mengaduh.

gwenchanayo?” Tanya orang itu panik.“ne, joesonghamnida” Seru Eun Joo sambil berdiri. Ia lalu membungkuk minta maaf tanpa memperhatikan wajah orang itu.
aniya, aku yang salah.…” ucap orang itu.
Eun Joo terus saja membungkuk untuk menyembunyikan air mata yang kini telah meleleh di pipinya. “joesonghamnida” katanya, lalu berlari tanpa mengacuhkan panggilan orang itu, “ahgassi!!!” laki-laki itu hanya bias bengong melihat Eun Joo yang berlalu meninggalkannya.

Salju masih saja jatuh bertebaran di atas kepalanya. Suhu udara mencapai minus entah berapa derajat sampai membuat tulang – tulangnya merasakan gigitan – gigitan kecil dingin yang mematikan. Dan sekelebat bayangan memori tujuh tahun lalu menari – nari tanpa henti hingga membuat hatinya ngilu dijejali rindu.

“Aku harus mengejar mimpiku untuk menjadi seorang designer handal. Karena itu aku akan pergi ke Paris” kata Eun Joo bangga ketika mereka pulang sekolah bersama.
“sejauh itukah? Tidak adakah sekolah fashion di Seoul ini?” Tanya Seungri ragu.
“ada sih, tapi aku ingin ke Paris” jawab Eun Joo santai.
“kenapa harus Paris? Lalu bagaimana dengan aku?” Seungri menunjuk hidungnya.
“karena Paris adalah pusat mode dunia. Kau? kau akan jadi seorang artis terkenal, kau akan menjadi idol namja yang dielu – elukan banyak orang, dan wanita – wanita itu pasti akan berteriak histeris ketika namamu disebutkan. Bukankah mimpimu seperti itu?”
Seungri terdiam. Ia mengamati mata Eun Joo yang berbinar. Mimpi membuat orang lupa diri dan melupakan hal – hal penting di sekitarnya.
“Aku tahu bakat menarimu luar biasa. Kau pasti bisa masuk agensi terkenal itu. Percayalah padaku”ucap Eun Joo yakin sambil menepuk dadanya.
“lalu bagaimana dengan kita?” pertanyaan Seungri membuat Eun Joo terpaku sejenak. Jantungnya seperti dihantam sesuatu sampai tiba – tiba membuatnya berdetak tak karuan. Ia diam sejenak kemudian berusaha melepaskan senyuman pada Seungri.
“aku selalu di sini. Di hatimu” jawab Eun Joo sambil menunjuk dada bagian kiri Seungri.
Seungri tersenyum, “baiklah. Aku berjanji akan menjadi seorang idol yang baik. nanti jika kau sudah menjadi designer, jangan lupa rancangkan baju show yang bagus untukku ya”
“tentu. tapi kau juga harus janji, kau tidak boleh genit dengan penggemar wanitamu” mata Eun Joo membelalak sedangkan Seungri hanya bisa mengangguk patuh.

Ini adalah tahun ke tujuh ia tidak bertemu Seungri. Setiap tahun ia pulang ke Seoul dan tidak jarang juga menonton konser Big Bang, namun baru kali ini perasaan itu menggebu dan sulit untuk dikendalikan. Entah, seperti ada desakan untuk mempertanyakan lagi cinta yang dulu pernah Seungri bisikkan padanya sebelum pesawat membawanya terbang ke Paris.

Eun Joo membiarkan dirinya berdiri terpaku sambil menangis di jalan. Kenapa rasa sakit selalu latah muncul bersamaan saat rindu dan cinta beradu jadi satu dan tidak bisa disampaikan?
Eun Joo terhenyak saat tiba – tiba saja seorang namja menepuk bahunya dari belakang. Eun Joo menoleh tanpa sempat menyeka air matanya.

noona, tasmu tadi jatuh…” kata seorang laki – laki muda padanya. Eun Joo tidak mengacuhkan perkataan laki – laki itu.
noona??? Gwenchanayo?” laki – laki itu mengibas – ngibaskan tangannya ke depan wajah Eun Joo sampai yeoja itu tersadar.
ne?” Eun Joo gelagapan.
“tasmu…” ucap laki – laki itu sambil menyodorkan tas selempang Eun Joo.
mwo?” Eun Joo belum mengerti maksud laki – laki itu jika saja ia tidak memperhatikan tangan laki – laki itu menyodorkan tas miliknya. “omo…. Darimana kau menemukan ini?” serunya.
“tadi di dekat penyeberangan. Aku sudah memanggil – manggilmu tapi kau tidak mendengarnya dan akhirnya aku mengikutimu sampai ke sini” jelas laki – laki itu.
gomawo….” Ucapnya saat menerima tasnya kembali.“Aigoo, aku sama sekali tidak menyadari kalau tasku jatuh. Gomawomianhamnida ya sudah merepotkan” katanya sambil membungkuk.
“ah sama – sama. Tidak repot kok, lagipula rumahku melewati jalan ini. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Oh ya, tolong diperiksa dulu apakah barang – barang di dalamnya masih lengkap atau tidak.”
Eun Joo langsung membuka resleting tasnya dan mengaduk – aduk isinya. Ponsel, dompet, make-up kit, dan note kecil masih lengkap.
“tidak ad…..” Eun Joo menghentikan kalimatnya ketika laki – laki itu sudah tidak ada di hadapannya, hanya punggungnya saja yang kini terlihat mejauhi dirinya.

Eun Joo hampir saja melangkah pergi jika saja ia tidak menyadari kehadiran barang baru yang ada di dalam tasnya. Note kecil… note kecil itu bukan miliknya. Eun Joo mengangkat kepalanya. Matanya membelalak lebar. Kemudian ia membuka tasnya dan mengambil note seukuran make-up kitnya itu. Diperhatikannya dengan seksama benda itu. Dengan ragu ia membukanya. Dan betapa terkejutnya ia ketika menemukan foto dirinya sendiri sewaktu masih mengenakan seragam SMA terpampang di halaman pertamanya. Ini bukan miliknya. Note ini bukan ia yang punya. Jantungnya mendadak seperti dihujani salju. Di bawah fotonya dibubuhkan tulisan: Han yeojaga geudaereul saranghamnida (aku hanya mencintai satu perempuan).

Eun Joo penasaran sehingga dengan cekatan ia membuka halaman kedua. Mataya membulat membaca goresan tangan itu:

Perempuan ini adalah satu – satunya matahari yang membuat duniaku gemilang penuh cahaya kehidupan. Ia adalah cahaya yang menerangi ketika gelap terlihat begitu menakutkan.

Jantung Eun Joo berdetak tak karuan. Ia seperti kehilangan ruhnya ketika membaca tulisan tangan itu. Nyaris ia jatuh, sendi – sendi di kakinya seperti terlolosi. Tubuhnya bereaksi sangat cepat. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan itu. Ia menutup mulutnya segera sebelum jeritannya keluar mengagetkan orang di sekitarnya.

Lalu Eun Joo membaca halaman berikutnya:

Ketika aku merasa jatuh dan putus asa, aku selalu mengingat senyumnya yang menenangkan juga kalimatnya yang meneduhkan, “jika kamu merasa takut dan ingin menyerah, ingatlah bahwa kita berdua pernah punya mimpi bersama. Dan bukankah kita pernah saling berjanji untuk mengejar mimpi itu sampai kita benar – benar mendapatkannya?”

Rasanya Eun Joo ingin berteriak memanggil namanya.

“Jadilah seorang idol yang mendunia, agar aku bisa melihatmu dimanapun aku berada,” begitu katanya ketika terakhir kami bersama. Seoul dan Paris bukanlah tempat yang jauh jika hati kita tetap dekat satu sama lain, bukan begitu? Ya, bagiku kamu tidak pernah pergi. Bagiku kamu selalu ada di sini, di hatiku.

“Seungri-ya………..” akhirnya Eun Joo berteriak. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Ia langkahkan kakinya dengan tergesa. Kepalanya bergerak memutar, celingukan mencari laki – laki itu. Matanya bergerak liar, siaga pada segala penampakan di depan matanya. Ia tahu kalau laki – laki itu ada di sini. Ia tahu kalau Seungri ada di dalam jarak terdekatnya.

Namun tidak ada tanda – tanda Seungri di sana. Ia putus asa dan akhirnya menghentikan langkah. Ia tundukkan kepalanya dan kemudian terdiam. Lalu dibiarkannya air mata mengalir sampai jatuh ke atas tumpukan salju di bawahnya. Sesenggukan ia berdiri di bawah lampu penerang di pinggir jalan.
Kaki Eun Joo hampir saja bergerak maju selangkah untuk meninggalkan tempat itu andaikata ia tidak mendengarnya……

Tobira ga shiamaru mae ni Baby please don’t go away. Ienakatta koto semeteru What you to stay. Ima sara kuyande mo I know it’s late. Kanojo no kawari nate dare nimo dekinai. I want you to stay want you to stay

Eun Joo berbalik dengan segera. Jantungnya lari – lari, menderu dan memberikan efek luar biasa ke sekujur tubuhnya. Dan ternyata di depan matanya terlihat ada seorang laki – laki misterius bertopi dan bermasker berdiri di bawah pohon, menyandarkan punggungnya 
“Eun Joo-ya….” Laki – laki itu melambaikan tangannya ke arah Eun Joo. Telinga normal Eun Joo menangkap suara itu memanggil namanya.

“Eun Joo-ya…” namanya benar – benar dipanggil. Eun Joo bisa mengenali suara itu sekalipun sang pemiliknya menggunakan masker dan topi untuk menutupi separo wajahnya.

Tidak ada yang bisa membuat debar aneh itu muncul lagi, tidak juga getaran rasa yang menyeruak tanpa bisa dibendung di dalam hatinya  kecuali kehadiran Seungri di hadapannya. Eun Joo terpaku melihat laki – laki itu berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang selemas jeli tidak bisa bergerak untuk mendekati Seungri yang masih berdiri menyandar dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. Dan beberapa detik kemudian Seungri beringsut menghampiri Eun Joo.

Jarak mereka hanya sejengkal. Eun Joo bisa merasakan hawa panas mulai menjalar di kedua pipinya ketika mereka berdekatan. Hembusan napas kencang yang mengudara dari hidungnya memberikan sinyal bahwa dadanya sedang berdebar tak karuan. Mata Eun Joo bergerak liar memperhatikan wajah yang tertutup masker dan topi itu. Perlahan lalu dibukanya topi dan masker itu dengan gemetar.

Lampu penerang di atas kepala mereka meyakinkan Eun Joo bahwa pemilik bola mata hitam kecokelatan ini adalah benar – benar Seungri. Mata yang dulu sering menggodanya itu menyiratkan perasaan yang tidak bisa Eun Joo tebak. Namun meskipun begitu, kehangatan muncul seketika saat mata teduh itu memandangnya.

Matanya bergerak liar menelusuri wajah Seungri. Dirabanya wajah yang begitu ia rindukan itu dengan perlahan. Jari – jarinya yang terbungkus sarung tangan bergerilya dengan takjubnya. Eun Joo menelan ludah. Perasaan halus menerpa hatinya. Makhluk ringkih yang lama tak menampakkan tanda – tanda kehidupan dalam hatinya tiba – tiba bangun tatkala melihat sang pemilik separo hatinya muncul.

“ini benar – benar wajahmu?” kata Eun Joo setengah terisak. Wajahnya kini dialiri air mata sehingga reflek membuat Seungri mengusapnya menggunakan jari tangan telanjangnya.

Lalu Seungri menangkap wajah Eun Joo dengan kedua tangannya, ”kau pikir ini wajah G-Dragon?” candanya. Dan Eun Joo sempat tertawa kecil dalam tagisnya.

Tanpa perlu meminta persetujuan, Seungri memeluk erat perempuan di hadapannya itu.“kau tahu betapa aku merindukanmu? bogoshipda” ucap Seungri seraya mengecup puncak kepala Eun Joo dengan lembut. Eun Joo tidak bisa menjawab. Dadanya bergemuruh. Segala perasaan berkecamuk jadi satu. Ia tidak percaya bahwa ternyata keajaiban bisa datang padanya di saat keputus-asaan melanda dengan sangat hebatnya.

“aku pikir aku tidak bisa menemuimu lagi. Aku hampir gila karena menunggumu”, kata Eun Joo.
“aku malah sudah gila karena tak pernah melihatmu selama ini. Ne seaenggake dorabeoril geot gatae (aku jadi gila memikirkanmu)”, balas Seungri.
Eun Joo tersenyum.“bagaimana kau bisa menemukanku?” Tanya Eun Joo tiba – tiba.
“entahlah, seperti ada sesuatu yang membimbingku untuk keluar. Lalu ketika hendak ke kantor agensiku, tanpa sengaja aku melihatmu berdiam diri di seberang jalan. Lama sekali kau berdiri di sana, apa kau tidak kedinginan?” Seungri terlihat khawatir.
“kau masih mengenaliku setelah tujuh tahun kita tidak bertemu?” Tanya Eun Joo penasaran.
“tentu saja. Kau pikir mudah melupakan orang yang pertama ada di dalam hatimu?” Jawab Eun Joo dengan tenang.
Eun Joo terkejut. Rasanya lidah mendadak kelu mendengar ucapan Seungri barusan. Sepertinya ia tidak perlu bertanya lagi apakah Seungri masih menyimpan rasa itu padanya atau tidak. Sebab dari siratan kata dan mata Seungri ia bisa tahu jawabannya.
“Selalu ada ikatan tak kasat mata yang membuat dua hati saling berhubungan. Selalu ada debar aneh ketika orang yang selalu kau rindukan berada tidak jauh dari hatimu” lanjut Seungri. Dan kupu – kupu terbang seperti menggelitik perutnya, lalu singgah ke dalam hatinya. Eun Joo tidak bisa menyembunyikan kelegaan di dalam hatinya.
“lalu kau membuntutiku?”
“apa kau tidak kedinginan?” Seungri mengulangi pertanyaannya. Eun Joo mengangguk. Dan Seungri semakin merapatkan pelukannya.
“apa kau membuntutiku? ” Eun Joo mengulangi pertanyaannya juga.
“he’em… aku terus mengikutimu, aku juga yang menyuruh orang – orang itu untuk berakting di depanmu”
 “note?” Eun Joo bertanya sambil mendongak untuk memperhatikan mata Seungri. Laki – laki itu mengangguk mantap kemudian melepaskan pelukannya. Dipegangnya kedua bahu Eun Joo dengan gundah. Sedetik kemudian ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“aku tidak bisa berlama – lama di sini. Aku harus segera bersiap untuk pergi…” katanya sedih. Seungri melirik mobil putih yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada. “aku harus segera pergi” kata Seungri sedih.

Ada gurat kecewa yang tergambar jelas di wajah Eun Joo. Sekalipun ia mencoba utuk menyembunyikan dengan memberikan senyum pada Seungri, matanya tidak bisa berbohong.
“kemana?” Tanya Eun Joo
“Amerika” Jawab Seungri sedih.
“ini tidak adil. Kita baru saja bertemu, kenapa harus berpisah lagi?” Eun Joo memalingkan wajahnya “Andwe! gajima! (tidak! Jangan pergi! Why don’t you stay right here with me? Stay here by my side!” Eun Joo mengiba.

Seungri meraih tangan Eun Joo, kemudian meremasnya dengan lembut. “adakalanya  dimana dua hati yang saling mengasihi dipisahkan oleh waktu dan jarak yang panjang. Namun apakah kau tahu bahwa ia yang telah dipilih dan diminta untuk tinggal pertama di hatinya tidak pernah dibiarkan pergi?”

Eun Joo menangis. “ara… tapi aku masih sangat merindukan lingkar lengan dan hangat tubuh itu. Aku masih ingin menikmati banyak percakapan denganmu. Aku ingin sehari saja meleburkan rindu itu di suatu tempat. Tapi aku sadar, memang sulit untuk melakukan itu dengan seorang idol terkenal” Eun Joo menunduk.
“apa kau menyesal melihatku menjadi seorang idol?” Seungri meraih dagu Eun Joo demi melihat matanya.
Eun Joo terhenyak. “aniya…. Bukan seperti itu maksudku!” Eun Joo melanjutkan“naega neol imankeum saranghaneunde? nae gyeotte isseojul suneun obtni? (tidakkah kau tahu betapa aku mencintaimu? Jangan pergi, tidak bisakah kamu tetap di sampingku?)”
“kau masih mencintaiku, kan?” potong Seungri.
Eun Joo terdiam kemudian memukul dada Seungri dengan gemas “buat apa aku jauh – jauh terbang dari Paris ke Seoul jika aku tidak mencintaimu? sudah berapa tahun rindu membuat hidupku seperti mayat hidup di sana? Jika saja aku tidak teringat tentang mimpi – mimpi yang kita bangun bersama dulu, aku pasti sudah bunuh diri….pasti aku….”
“bunuh diri? tutup mulutmu!” seketika Seungri mengunci rapat mulut Eun Joo dengan sebuah ciuman. 

Salju turun dengan cantiknya. Merintik dan membentuk kristal – kristal kecil yang mempesona. Waktu seperti berhenti berlari, seketika diam di tempat. Tidak ada benda bergerak kecuali bibir – bibir dan napas yang saling bersahutan.

Setetes air mata jatuh mengenai sudut dagu Eun Joo. Matanya terbuka dan mendapati Seungri menangis. Eun Joo menggeleng, ia memberikan isyarat pada Seungri untuk tidak menangis. “andwe, neol saranghanda….neol saranghanda Seungri-ya (aku mencintaimu….aku mencintaimu Seungri)”

“aku masih sangat merindukanmu, deoisang niga gyeote eopdaneunge, neol saranghanda (bagiku hanya ada satu orang, aku mencintaimu)” balas Seungri. Lalu ia memeluk Eun Joo lagi sesaat sebelum klakson mobil yang berada beberapa meter di belakangnya berbunyi, mengisyaratkan mereka agar saling melepaskan dan saling menjauhkan diri.

“gidarilge” ucap Eun Joo setelah membiarkan Seungri pergi. Punggung laki – laki itu semakin jauh dan kemudian menghilang bersama mobil yang bergerak semakin menjauh. Eun Joo melambaikan tangannya dan kemudian berbalik untuk pergi. Namun baru beberapa langkah terdengar seseorang berlari di belakangnya dan kemudian menubrukkan pelukan. Eun Joo menoleh. Seungri berbisik di belakang telinganya,“buka halaman terakhir note itu setelah aku pergi.” Perlahan pelukan merenggang dan terdengar langkah kaki menjauh. Masih dengan perasaan yang berkecamuk, Eun Joo segera mengambil dan membuka note itu.

Cinta pertama selalu ada pada setiap catatan. Stay!! Berdiamlah di sana. Tetaplah berada di tempat cinta pertamaku ada. Percaya atau tidak, cinta pertama akan kembali lagi dalam beberapa purnama. I want you to stay!

Dan di bawah kalimat itu, sebuah kalung berliontin hati bertuliskan “SE” berwarna keperakan tersemat dengan sangat anggunnya. Eun Joo terdiam saking terkejutnya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk berlari mengejar mobil Seungri. Sesampainya di belokan, ia terhenyak melihat laki – laki itu berdiri sambil mengangsurkan senyum. Keduanya saling berhadapan dalam senyuman, saling mengalirkan rasa yang tidak biasa. Ternyata ada hal – hal indah yang tidak bisa ia duga ketika memutuskan untuk tetap stay di satu tempat pilihannya. 
Read more »