Mecca sudah di sana. Sebuah tempat yang
tidak asing baginya ketika sedang kebigungan mencari referensi untuk tugas
akhirnya –skripsi- sekaligus tempat favoritnya
ketika tidak ada jadwal kuliah. Sekali lagi ia pandang bangunan megah yang
terletak di sisi timur area kampusnya yang terletak tepat di depan danau –yang banyak orang menyebutnya danau cinta-
itu dengan takjub. Bangunan bergaya Belanda yang seringkali menjadi obyek
fotografi itu memang memiliki nilai seni yang tinggi. Jenis ukiran dan ornamen
yang menghiasi dinding membuat siapapun yang melihat dan bahkan masuk ke
dalamnya seakan terbawa ke dalam zaman penjajahan dulu.
Seringkali Mecca membayangkan dirinya
berada di dalam gedung seperti ini di zaman penjajahan Belanda ratusan tahun
lalu. Menjadi seorang pribumi yang notabene bukan seorang bangsawan dengan
keadaan sengsara, yang kebanyakan menjadi kacung, yang tidak bisa menyecap
bangku pendidikan apalagi setinggi ini membuatnya bergidik. Betapa Tuhan Maha
Adil.
Sejurus kemudian Mecca menepuk dahinya dengan
keras lalu disusul dengan menyisir rambut – rambut yang menutupi separo dahinya
dengan gemas. Ia teringat sesuatu. Kenapa
harus di tempat ini? Ia menggeleng ringan disertai dengan cengiran heran di
sudut bibirnya. Di atas anak tangga pualam di depan pintu raksasa bangunan itu
akhirnya ia melangkah sekaligus berdoa agar pertemuan ke sekian kalinya dengan
pemuda – pemuda pilihan Mama itu berjalan sesuai dengan yang ia harapkan.
Paling tidak, not bad lah. Tapi kenapa harus di kampus? Tidak adakah
tempat ketemuan selain kampus? Selain perpustakaan?
Perpustakaan kampusnya sedang ramai. Dari
sudutnya berdiri –di depan komputer
registrasi- ia bisa melihat lalu lintas padat merayap di beberapa spot lantai satu seperti tempat
peminjaman buku, komputer free accses,
juga wifi zone yang sepertinya sudah
tidak menyisakan tempat duduk bagi beberapa mahasiswa yang tengah berdiri
sambil celingukan mencari celah untuk bisa menaruh laptopnya. This is weekdays. Mecca mendesah.
Ia melewati lantai dua dan tiga, tempat
penyimpanan buku –yang kabarnya- dengan
koleksi terlengkap di provinsinya. Ia sempat terpaku melihat betapa penuhnya
ruangan itu. Sudut yang biasanya ia tempati sudah diduduki mahasiswa yang –sepertinya- sedang menatap nanar layar
laptopnya seperti dirinya dulu.
Akhirnya ia sampai di mini café yang terletak di lantai paling
atas –lantai empat- bangunan megah
itu dengan dada berdebar. Tumben? Mecca
menyentuh dahi dan lehernya yang agak panas dengan gelisah kemudian menirukan
gaya dan ucapan Rancho dalam film 3 Idiots, All
is well All is well sambil menepuk – nepuk dada kiri dengan tangan kanannya
yang tengah dibanjiri keringat dingin.
“Semacam hendak bertemu dengan calon
suami saja. Apa – apaan ini? biasanya baik – baik saja ni jantung. Kenapa tiba
– tiba minta diajak jogging?” Gerutu Mecca.
Mecca gusar. Apalagi mengingat kejadian
minggu kemarin di salah satu resto hotel ia –dengan
terpaksa- menemui calon yang Mama katakan adalah lulusan MBA universitas
ternama di Amerika malah membuatnya bad
mood setengah mati. Mecca tipikal orang yang suka bicara, senang
berdiskusi, senang bertanya, senang menanggapi omongan, dan senang mengobrol
itu harus dihadapkan dengan seorang laki – laki berusia tiga puluh tahun yang
cueknya kurang ajar, yang berhasil membuat Mecca mati gaya. Dan sepanjang
pertemuan, mereka hanya ngobrol ketika Mecca bertanya dan jawaban yang Mecca
dapat hanyalah sepotong dua potong kata yang jika dijadikan kalimat tidak
sampai terkumpul menjadi satu paragraf penuh. Dan sesampainya di rumah, ia
stress dan marah pada Mama karena mengenalkannya dengan lelaki kaku yang bukan
tipe seorang Mecca.
Langkahnya diatur sepelan mungkin agar ia
bisa berlama – lama mencari sosok yang ia akan temui. Sebenarnya ia hanya berusaha
mengendalikan laju jantungnya yang tidak seperti biasanya. Bagaimana tidak,
jika sebelum berangkat Mama bilang kalau laki – laki ini beda dari laki – laki
sebelumnya. Laki – laki ini bukan seperti yang terakhir. kata Mama ini tipe
seorang Mecca. Dan tipe Mecca adalah seorang Vino G Bastian.
Mini
café itu tidak seramai
tiga lantai di bawahnya, mungkin karena banyak mahasiswa yang sedang –benar-benar- sibuk mengerjakan tugas
akhirnya sampai untuk membeli minuman pun tak sempat, seperti dirinya pada
bulan – bulan kemarin. Mecca mendengus, untung
tinggal nunggu wisuda.
Mecca berhasil duduk di sudut café yang
mengarah langsung ke danau di depan perpustakaan. Cahaya keperakan buah dari
pantulan matahari yang melewati jendela kaca berhasil membuat tubuhnya diliputi
hangat. Ia mengusap bahunya dengan gembira. Kemudian ia menjulurkan kepalanya,
celingukan mencari laki – laki itu. Matanya mengarah ke seluruh penjuru mata
angin dan tidak satupun berhasil membidik sosok yang diceritakan Mama yang
katanya seorang eksekutif muda, tinggi, tampan, keren, dan lain – lain.
Biasalah, Mama selalu melebih – lebihkan para laki – laki yang hendak
dikenalkan kepadanya.
Namun yang ia temukan hanyalah wajah –
wajah mahasiswa seperti dirinya yang sedang relaksasi dengan menyeruput es teh
dan berbagai macam minuman lainnya. Setelah putus asa dan leher terasa pegal,
akhirnya Mecca memutuskan untuk membeli segelas cappuccino.
Kesalahan fatal yang ia lakukan adalah ia
tidak meminta nomor HP laki – laki itu ke Mama, ia hanya tahu gambaran laki –
laki itu seperti yang Mama katakan –eksekutif
muda, tinggi, tampan, keren, bla b la bla- sebelumnya. Ia tidak sempat bertanya laki – laki itu
memakai baju warna apa dan…….Langkahnya tiba – tiba terhenti ketika telinganya
merekam suara –namanya- mengudara di
belakangnya.
“Mecca!?”
Suara laki – laki. Ia terhenyak. Beku di
tempat.
“Annisa Mecca!?”
Sekali lagi telinganya ditajamkan.
“Mecca!?”
Namanya benar – benar dipanggil.
Deg. Laki
– laki itukah? Mecca menelan ludah. Ia jilat bibir bawahnya dengan gemas
lalu digigit – gigit kecil. Matanya berkedip – kedip liar. Dadanya kembang –
kempis tak karuan. Hei, tumben. Kok
setegang ini sih? Ia berusaha mengatur napasnya sebelum memutar tubuhnya.
Lalu
ia merapikan rambutnya yang -memang-
agak berantakan itu dengan jari – jarinya.
Ia diam sejenak dan meniupkan napasnya ke
poni yang menutupi dahinya. Ia menarik napas sekali lagi. Dan ia siap. Kemudian
ia berbalik dengan anggunnya disertai senyuman paling manis sedunia.
Kalau di film – film kartun atau komik,
mungkin di wajahnya sudah digambari tetes – tetes peluh dengan bulatan mata
hitam menyeramkan dan ekspresi paling tolol yang pernah ia tunjukkan sepanjang
ia hidup. Mecca tidak bisa menutup mulutnya ketika melihat orang di depannya
tersenyum tanpa dosa.
“ngapain Ca di perpus??” laki – laki itu
menepuk bahunya dengan santai.
Sialan! Mecca mengumpat tanpa suara disertai
dengan gerakan memonyongkan bibir –seperti
biasanya ketika ia sedang kesal- pada teman kuliahnya itu. Sebenarnya ia
ingin berteriak dan memukul temannya itu jika saja ia tidak berada di tempat
yang cukup memalukan jika ia melakukan tindakan itu. Maka dengan setengah
berpura – pura mengumbar senyum lima jarinya disertai dengan pukulan kecil di
bahu temannya, ia bicara.
“mau ketemu orang…”
“ecieeee…. Ketemu gebetan ya? Udah punya
pasangan buat foto wisuda nih?” temannya terkekeh.
Skak. Mati di tempat.
Mecca mendengus. Ia ingat gurauan STMJ
yang selalu dikutukkan pada mahasiswa – mahasiswa akhir yang masih jomblo
termasuk dirinya. Mecca menepuk dahinya.
“yackkkkkkkk……” Mecca menendang kaki
temannya dengan gemas.
“aduh, ampun Ca.
Ampun…….Hahahaha………kaburrrrrr ah……..” sekonyong – konyong temannya kabur dari
hadapan Mecca. Ia masih sempat melambaikan tangan pada Mecca sebelum singa
betina itu meraung lebih keras. Dan Mecca menyeka dahinya yang tidak
berkeringat.
Mecca membuang napas kesal. Ia pikir si
laki – laki itu yang memanggil tapi ternyata temannya sendiri. Jantungnya
terlanjur sudah tidak waras begini. Sialan.
“Mecca???”
Refleks Mecca menoleh dengan masih
menyisakan kekesalan di wajahnya. Ia mengerutkan dahi. Ia tidak sempat
merapikan ekspresi tolol di wajahnya ketika yang ia lihat adalah replika Afgan
duduk manis di depannya.
“Mecca???” Sekali lagi laki – laki itu
memanggil dia – tepatnya bertanya-
Mecca menunjuk dadanya sambil mengurai
ekspresi bertanya juga. Laki – laki itu mengangguk setelah mengerti maksud
Mecca. Dan kemudian berdiri mengangsurkan telapak tangannya.
“Rendra” laki – laki itu menyebutkan
namanya.
Mecca melongo. Matanya berkedip – kedip
melebihi kedipan normalnya. Jantungnya lari – lari lagi. Dan setengah gugup ia
mengangsurkan tangannya juga. Ternyata ini toh sang eksekutif muda, keren,
tampan, tinggi, cakep yang Mama bilang. This
isn’t not bad Mom but he’s too good and so perfect for her.
“Mecca…. Annisa Mecca” ucap Mecca terbata.
“iya tahu, tadi temenmu teriak sekeras
itu mana mungkin aku tidak mendengarnya?” katanya sambil mengulas senyum. Mecca
membeku di tempat. Makhluk Tuhan paling WAH ini benar – benar membuatnya tidak
berhenti berkedip.
“duduk…??” pinta Rendra sambil menggerakkan
tangannya untuk menarik kursi di depannya.
Mecca menyadari bahwa dirinya telah
terhipnotis hanya dalam hitungan detik. Kenapa tadi ia tidak melihat laki –
laki ini? kemana saja matanya berkeliaran?
“kamu udah lama di sini?” Mecca bertanya
dengan hati-hati agar kegugupannya tidak ketahuan.
“iya….”jawab Rendra santai.
Rendra tahu kedatangan Mecca, malah Mecca
melewati tempat duduknya dua kali. Namun Rendra tidak tahu kalau perempuan
manis itu bernama Mecca sampai laki – laki yang mengaku teman Mecca tadi
berteriak dengan lantang di sampingya.
“minum apa?” tanyanya manis disertai
senyum yang manis pula.
Mecca memang terhipnotis oleh ketampanan
laki – laki yang berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini. Mama tidak
membual. Laki – laki ini memang keren dan bahkan jauh diluar ekspektasinya.
Setelan kemeja biru tua bergaris tipis yang dimasukkan celana dengan dua
kancing di bawah kerah tidak dikaitkan sehingga lapisan kaus putih polos
terlihat dengan lengan yang digulung sampai siku, celana kain press body dan sepatu –entah merknya apa- kulit yang membuat
penampilannya seperti eksekutif muda seperti biasanya, jam tangan yang
melingkar di pergelangan tangan kanannya, gaya rambut dengan belahan kiri
disisir rapi ke belakang, serta kacamata setebal itu membuat mata Mecca tidak
berhenti bergerilya sampai di situ saja. Wajahnya yang nyaris tanpa cacat itu
tidak henti – hentinya membuat Mecca menggeleng dan mengangguk. Alis tebal
dengan mata sedikit sipit yang dibingkai dengan kaca mata berframe cokelat tua berukir, lekuk hidung
yang sedikit bengkok, dan garis bibir sensual yang berwarna merah muda tanpa
polesan lipgloss itu, dan……..
“minum apa? Hei….” Rendra mengibas –
ngibaskan tangannya di depan mata Mecca. Kemudian menggeleng dan tersenyum.
Mecca tersadar dan diliputi malu luar
biasa saat mendapati Rendra tersenyum simpul seperti itu. Sepertinya Rendra tahu
bahwa baru saja dirinya diperhatikan sedemikian rupa.
“hhe….maaf. Aku cappuccino aja” kata
Mecca pada Rendra yang sudah setengah berdiri.
Rendra meninggalkan Mecca yang tengah
menahan malu. Mecca tidak habis pikir, mana ada replika seorang Afgan dengan
garis ketampanan nyaris sempurna seperti itu? Jangan – jangan ia saudara kembar
Afgan? Dan Mecca akhirnya lupa tentang tipe idealnya, Vino G Bastian.
Perempuan mana yang bisa menolak pesona
sekurang ajar itu? Mecca perempuan biasa, normal, tentu saja matanya begitu
berbinar ketika melihat ciptaan Tuhan barusan yang begitu sempurna. Mecca
sering mendapati orang keren tapi tidak sesempurna ini. Ia tidak mimpi kan?
Mama, dimana Mama menemukan laki – laki semenarik ini?
Rendra kembali dengan membawa segelas
cappuccino dan teh hangat. Setelah meletakkan segelas cappuccino ke depan Mecca,
ia menggeser duduknya lebih dekat ke perempuan itu.
Mecca memutar tubuhnya. Mama….
Tidak ada yang bisa Mecca sembunyikan
kecuali detak jatungnya yang tak beraturan. Ekspresi nge-blush yang digambarkan dengan jelas di kedua pipinya tak bisa
diabaikan, keringat dingin yang muncul di telapak tangannya yang membuat basah
beberapa lembar tisu, serta perut yang dari tadi terasa mulas padahal tidak
sedang kebelet. Mecca menggigit bibir bawahnya. Dan sesekali mencuri pandang ke
arah laki – laki di sampingnya yang tengah sibuk memperbaiki posisi duduknya.
Jaraknya dengan Rendra hanya sekitar 50
sentimeter, dan ia bisa dengan kurang ajar mencium aroma wangi parfum yang menguar
tanpa bisa dibendung dari tubuh Rendra. Sensasi maskulin oriental disertai
dengan wangi aroma lemon segar dan bunga zaitun merebak masuk ke dalam hidung
Mecca dan melesak menuju ke dalam tubuhya hingga menghasilkan sensasi luar
biasa. Seandainya pelukan Rendra mendarat di tubuhnya.
Mecca meggelengkan kepalanya. Imajinasi
gila barusan membuatya menelan ludahnya sendiri. How can? Ia mulai benar – benar gugup dihadapkan laki – laki
semenarik ini. Dan demi menutupi itu, ia menyeruput cappuccino dengan tergesa.
“auww… kok panas???!” Mecca menjerit.
Rendra menoleh. Ia perhatikan Mecca yang
tengah menekan – nekan bibirnya yang kepanasan.
“kamu tadi nggak bilang kalau minta dingin
ya aku pesen yang panas…” ujar Rendra santai.
“kamu nggak nanyain aku mau minum panas
atau dingin gitu??!” Mecca membela diri.
“seharusnya kamu bilang duluan, kan aku
nggak tahu kebiasaan kamu minum panas atau dingin” jawab Rendra sambil
mengeluarkan secarik kertas dan puplen.
“seharusnya kamu nanyain aku mau minum
panas atau dingin!!” jawab Mecca sedikit kesal.
“seharusnya kalau kamu sudah terbiasa
minum dingin kan bilang mau minum yang dingin pada orang yang baru kamu kenal”
kata Rendra tanpa melihat ekspresi dingin Mecca.
“kamu yang menawari minum seharusnya kamu
yang tanya duluan” Mecca melipat kedua tangannya dengan kesal. Orang ini
ternyata sedikit menyebalkan. Nggak bisa mengalah sedikit ya sama cewek? atau
minta maaf gitu?
“oke oke, baiklah aku yang salah. Aku
minta maaf” kata Rendra sambil mengulas senyum disertai dengan pameran gigi –
gigi seputih salju.
Mecca menelan ludah. Belum juga ia
menyelesaikan kalimatnya, laki – laki ini sudah bilang maaf. Apa jangan –
jangan ia punya indera ke enam?
“kamu terlalu menikmati pesonaku sih,
makanya sampai lupa bilang mau minum yang dingin. Ya kan?” Rendra menyikut
lengan Mecca sambil tertawa.
Mecca membulatkan matanya diikuit dengan
ekspresi oh my God-nya.
“GR banget sih?” Mecca memonyongkan
bibirnya.
“tidak ada larangan untuk GR bagi orang
yang merasa dirinya memang keren” kata Rendra diikuti dengan satu kedipan jahil
dari matanya kemudian menaik – naikkan kedua alisnya.
Mecca menarik kepalanya, kemudian
mengedip – ngedipkan matanya dan disusul dengan ekspresi oh my God-nya. Ia tidak habis pikir kalau ternyata tidak semua
orang keren itu menyenangkan dan benar – benar keren perilakunya. Ada juga yang
ternyata sadar dengan kekerenannya dan besar kepala seperti laki – laki di
sampingnya ini.
“oke
oke, sudah. Lupakan saja cappuccino panas atau dingin itu. ngomong – ngomong
kamu umur berapa sih?” kata Rendra sambil mengeluarkan beberapa potong kertas -yang sepertinya brosur- ke atas meja.
Mecca sempat melihat tulisan di kertas – kertas itu ketika Rendra meletakkannya
tidak jauh dari jangkauan matanya meskipun dengan font tulisan ukuran 12
sekalipun.
“kamu…….????” Mecca menunjuk hidung
Rendra.
“yes……”
jawab Rendra asal – asalan.
“kok udah bilang yes? Emang kamu tahu aku mau ngomong apa?” Tanya Mecca heran.
“nggak tau sih, asal jawab aja. Kan “yes”
berarti positif. Kalau “no” kan negatif. Nah, mending berpikir yang positif kan
daripada negatif. Hehehe. Siapa tau kamu menawariku untuk jadi pacar kamu??”
jawab Rendra cengengesan.
Mecca menepuk dahinya lagi. Laki – laki
kemarin itu cueknya kelewatan, dan laki – laki ini bicaranya kelewatan.
“Ya Tuhan…. Mama?!!!!?” Mecca berteriak
sambil meremas kepalanya.
“sudah sudah…. Mecca yang cantik… berikan
kesempatan untuk bang Rendra ngomong ya….” Rendra mengulas senyum mautya. Dan
demi Tuhan, Mecca tidak bisa berbohong bahwa senyum laki – laki itu memang
begitu menawan. Namun, apa yang ia tulis kontan membuat kepala Mecca nyaris
pecah.
Mecca melorotkan duduknya setelah
sebelumnya menghela napas yang sangat berat dan menepuk dahinya. Sesaat
kemudian HP Mecca berbunyi. Dari Mama,
Ca,
laki – laki yang mau Mama kenalkan ke kamu nggak jadi dateng. Dia ada acara di
luar kota.
Sepertinya Mecca mau pingsan setelah
membaca sms dari Mamanya.
“oya, kamu sudah ikut asuransi belum?” Tanya
Rendra santai. Tapi pertanyaan itu membuat Mecca menepuk
keras – keras dahinya.
0 komentar:
Post a Comment