(backsound: Kehilangan - OST. Heart)
Tidak melihatmu di ruang yang biasanya kusinggahi, bukan berarti aku tak pernah melihatmu berkeliaran di serambi biru itu. Aku selalu melihatmu, pun bahkan ketika kau tidak pernah menginginkanku melihat keberadaanmu.
Jadi, ini toh yang sedari tadi membuat diriku kehilangan hasrat untuk tertawa dan menerima bahagia dari semesta? semesta? yeah, bahasa bangsat dari lelaki bangsat yang menyakiti sahabatku.
Seharian tadi mendung memang dengan angkuhnya menutup rapat beberapa sudut langit kota Surabaya, hanya angit di atas kepalaku bernaung yang mataharinya menyengat minta ampun. Sebuah pertanda kecil dari Tuhan, sebagai pengingat bahwa nanti akan ada sesuatu yang bikin sakit hati.
Benar. Setelah membuka mata ketika kumandang adzan maghrib sayup terdengar di seluruh penjuru kota, firasatku meraba sesuatu yang tak jelas maksudnya. Berulang kali kubaca dan kutelaah maksudnya. Berulang kali kucoba cerna dan menerjemahkan bahasanya. Akhirnya bisa kusimpulkan kalau perempuan itu bukanlah aku.
Oh, bangsat. Eh biarkan aku memaki di sini, jangan melarangku dan jangan pedulikan makianku. Ini bukan untukmu, jadi abaikanlah.
Sakit hati, lagi?
Tidak, aku tidak sakit hati. Aku hanya kecewa. Biasanya kalau sakit hati, seketika itu juga aku akan menangis. Tapi tidak untuk kali ini, aku hanya menahan amarah liarku. Yep, jangan sampai amarahku membuncah seperti yang lalu-lalu. Aku kecewa, cuma kecewa.
Kita selesai ya.
KITA?
Bangsat. Aku menyukaimu, cuk. Aku masih menyukaimu. Harapan itu masih tetap kokoh berdiri di jajaran tertinggi hati, cuk. Sekalipun lidah ini berulang kali memintamu pergi dengan alasan klasik engineer dan awalan huruf A tapi nyatanya hati ini tidak bisa dibimbing untuk membohongi jengkal demi jengkal rasa yang sudah mengalir di dalam darah di tubuhku.
Setelah ini, jangan pernah menganggap akan ada episode anyar untuk kita. TIDAK. TIDAK AKAN PERNAH ADA. YANG TELAH KAU TINGGALKAN, TIDAK AKAN PERNAH KUAMBIL LAGI. KAU, TELAH MATI.
Cuk. Sakit cuk. Aku nangis.
Surabaya, 05 Januari 2014
Tidak melihatmu di ruang yang biasanya kusinggahi, bukan berarti aku tak pernah melihatmu berkeliaran di serambi biru itu. Aku selalu melihatmu, pun bahkan ketika kau tidak pernah menginginkanku melihat keberadaanmu.
Jadi, ini toh yang sedari tadi membuat diriku kehilangan hasrat untuk tertawa dan menerima bahagia dari semesta? semesta? yeah, bahasa bangsat dari lelaki bangsat yang menyakiti sahabatku.
Seharian tadi mendung memang dengan angkuhnya menutup rapat beberapa sudut langit kota Surabaya, hanya angit di atas kepalaku bernaung yang mataharinya menyengat minta ampun. Sebuah pertanda kecil dari Tuhan, sebagai pengingat bahwa nanti akan ada sesuatu yang bikin sakit hati.
Benar. Setelah membuka mata ketika kumandang adzan maghrib sayup terdengar di seluruh penjuru kota, firasatku meraba sesuatu yang tak jelas maksudnya. Berulang kali kubaca dan kutelaah maksudnya. Berulang kali kucoba cerna dan menerjemahkan bahasanya. Akhirnya bisa kusimpulkan kalau perempuan itu bukanlah aku.
Oh, bangsat. Eh biarkan aku memaki di sini, jangan melarangku dan jangan pedulikan makianku. Ini bukan untukmu, jadi abaikanlah.
Sakit hati, lagi?
Tidak, aku tidak sakit hati. Aku hanya kecewa. Biasanya kalau sakit hati, seketika itu juga aku akan menangis. Tapi tidak untuk kali ini, aku hanya menahan amarah liarku. Yep, jangan sampai amarahku membuncah seperti yang lalu-lalu. Aku kecewa, cuma kecewa.
Kita selesai ya.
KITA?
Bangsat. Aku menyukaimu, cuk. Aku masih menyukaimu. Harapan itu masih tetap kokoh berdiri di jajaran tertinggi hati, cuk. Sekalipun lidah ini berulang kali memintamu pergi dengan alasan klasik engineer dan awalan huruf A tapi nyatanya hati ini tidak bisa dibimbing untuk membohongi jengkal demi jengkal rasa yang sudah mengalir di dalam darah di tubuhku.
Setelah ini, jangan pernah menganggap akan ada episode anyar untuk kita. TIDAK. TIDAK AKAN PERNAH ADA. YANG TELAH KAU TINGGALKAN, TIDAK AKAN PERNAH KUAMBIL LAGI. KAU, TELAH MATI.
Cuk. Sakit cuk. Aku nangis.
Surabaya, 05 Januari 2014
0 komentar:
Post a Comment