November 21, 2011

Aku Terbiasa

karena aku terbiasa jatuh, karena aku terbiasa terluka, karena aku terbiasa sakit, karena aku terbiasa menangis. karena itu, aku baik-baik saja.

Ku telusuri jalanan pangsud sampai raya darmo sepanjang sore tadi. Seperti biasanya, aku sendirian saja. Ditemani mp3 butut sambil bersiul sesekali. Ditemani pekak klakson-klakson kendaran yang tanpa ampun membisingkan jalan. Ditemani asap pekat yang membumbung di angkasa. Ditemani....kamu, malaikat kecil yang terus berlarian kecil di sampingku, senyum simpulmu menguatkan langkah gontaiku.


Lututku tiba-tiba melemas, persendianku rasanya terlolosi. Aku limbung dan hampir tersungkur di atas badan jalan. Tubuhku gemetar mencari pegangan. Lalu ku robohkan sebagian tubuhku di trotoar lebar depan rumah sakit Darmo. Mataku berair. Merabun seketika pandangku. Dadaku sesak. Aku terisak.


Napasku tersengal. Sesuatu mencengkeram kuat dadaku. Tenggorokanku sakit bukan main menahan tangis. Aku ingin berteriak pada setiap orang, aku ingin berontak padaNya, melampiaskan kekesalan yang telah naik sampai ke ubun. Aku ingin memaki. Ingin menjerti pada langit.

Tak ada wewangian, pun harum mawar, pun parfum seperti biasanya yang ku pakai. Tak ada ranjang tidur seperti di kamarku, tak ada meja, tak ada kursi. Aku meraba, cuma sepetakan bilik tanpa jendela.

Aku mencium sesuatu yang tak pernah tercium oleh inderaku sebelumnya. Bukan obat, bukan juga rumah sakit. Pengap. Aku hampir kehilangan napas. Dimana oksigen? dimana? aku hampir kehilangan napas.

Aku tak bisa melihat apapun, bahkan dari jarak pandang satu meter sekalipun. Padahal mataku telah melebar selebar-lebarnya. Ini dimana? kenapa semuanya gelap? buta kah aku?

Aku terisak sendiri di atas jembatan penyeberangan raya darmo dengan keadaan mata tertutup. Aku mengigau. Aku terbangun. Aku menengok kiri kanan. Jalanan ramai, langit masih di atas sana. Dan semuanya terang. Lalu ku sembunyikan kepalaku, menunduk memeluk lutut. Aku terisak, lagi.


oh, ini sakit Tuhan, sakitnya melebihi apapun, melebihi kehilangan seorang lelaki sekalipun.
tiba-tiba saja seorang anak jalanan menghampiriku. Tahu aku terisak, seketika dia lagsung menunduk, memperhatikan wajahku yang basah "kakak kenapa ?"


gadis kecil penjual koran berusia sekitar delapan tahun itu mengamati wajahku yang kusut. aku tersenyum padanya "gak apa2 kok dek, kakak cuma sedih aja" . 

dengan antusias dia bertanya lagi "sedih kenapa kak?". 
setelah mendesah sekali baru ku jawab "kakak merasa gagal" . 
dia bertanya lagi "gagal kenapa kak?" 
aku tersenyum padanya "gagal karena jadi anak bodoh dan tidak berguna" . 
dia bingung dengan jawabanku, aku lihat dahinya mengernyit tidak mengerti..  
sudah ya, jangan tanya lagi atau aku akan benar-benar menangis

lalu aku bangkit dari dudukku dan menyodorkan uang lima ribuan kepadanya. sambil tersenyum aku berkata "kakak beli korannya, tapi korannya buat adek aja" dia melompat girang. sambil berlalu aku masih bisa mendengarnya berteriak "kakak, terimakasih...." ku hentikan langkahku sejenak, lalu memutar bahuku dan melambaikan tangan untuknya. dalam hati aku berkata "jangan jadi sepertiku sayang, kau lebih berguna daripadaku, sesungguhnya..." dan dadaku kembali sesak, terguncang, sakit.

aku sudah berdiri di depan gramed. ada rasa enggan untuk memasukinya. namun aku harus masuk. aku ingin menenangkan diri. aku ingin berkutat dengan puluhan novel yang telah menantiku di rak-rak toko buku. aku ingin menyudutkan diriku di dalam sana. ya, menyendirikan diri dalam kesendirian...


karena aku terbiasa jatuh, karena aku terbiasa terluka, karena aku terbiasa sakit, karena aku terbiasa menangis. karena itu, aku baik-baik saja.


aku baik-baik saja. percayalah. jangan lagi kau bualkan katamu padaku dengan selentikan "semangat ya, sabar ya". oh, aku tidak membutuhkannya. aku telah terbiasa seperti ini. jiwaku lebih kuat dari apa yang kau bayangkan. aku lebih tegar dari apa yang kau pikirkan. biasa saja menanggapinya, jangan berlebihan. jangan menganggapku seolah rapuh dan patut dikasihani. aku bisa. sebab aku masih berdiri dengan kedua kakiku sendiri....


jangan menangis gadisku yang manis, jangan menangis sayang....semua akibat karena sebab, semua berjalan beriringan, hubungan timbal balik selalu ada, setiap kesalahan ada hukuman. bukankah kita telah mengerti? dan bukankah Tuhan telah menciptakan keadilan di sini? :')

aku memang terbiasa jatuh. namun, aku tidak pernah lupa bagaimana caranya berdiri (lagi)
aku baik-baik saja

0 komentar:

Post a Comment