mustahil memenangkan perang kalau berdiri pun ogah-ogahan. cuma
duduk bersilang sambil minum kopi di depan pelataran. edan. sesorean
cuma manggut-manggut menyaksikan wewayangan gila para tetangga. ini
perang, bukan tontonan.
Drupadi sama sekali tak
berniat untuk bangkit dari kursi di depan rumahnya sekalipun suara ibu
sudah naik beberapa oktaf di belakang kepalanya. di dapur asapnya sudah
mengepul. sesore ini padahal. ada apa? mau ada tamu penting, kata ibu
tadi siang. tamu penting macam apa yang membuat ibu serepot itu. rumah
dibersihkan. barang-barang tak layak pandang disingkirkan. taplak meja
diganti. rumah disemprot wewangian aroma melati, persis seperti ada
orang yang mati. masa bodoh, batin Dru. dirinya sudah tahu tamu
sepenting apa yang bakal datang meskipun ibu tak memberitahunya. si
Krisna anak pembesar desa seberang yang satu jam lalu menghubungi ibunya
lewat telepon akan datang, katanya mau melamar. dari balik kamar Dru
mengumpat. cih, melamar katanya. enak saja. siapa laki-laki itu berani
melamarnya?
Dru masih terus menyesap kopinya tanpa
mengindahkan ibu yang sudah berkacak pinggang di hadapannya. malah
dipasangnya headset ke dalam telinganya segera, tidak sopan memang tapi
itu satu-satunya jalan untuk meredam lengkingan suara ibunya.
"Dru,
tidak dengar ibu bilang apa? bantu ibu di dapur, nduk!" suara ibunya
keras, sampai tetangga sebelah pun ikut dengar. melongok dari balik
pagar rumahnya yang tak tinggi.
"ngapunten, Bu. Dru tidak mau" jawab Dru sesopan mungkin.
"lho, mau ada tamu ini lho sebentar lagi"
"itu tamu ibu, bukan tamunya Dru"
"kata siapa? tamunya pengen ketemu kamu"
"ibu saja yang menemui"
"Dru!"
"itu tamu ibu, ngapunten. Dru jalan-jalan dulu di dunia Dru" balas Dru sambil berlalu menuju kebun di belakang rumahnya.
Krisna,
anak kepala desa sebelah. tanah ayahnya seluas lapangan bola, mungkin
lebih. mobil-mobilnya berjejeran di pelataran rumahnya, mungkin mobil
kreditan dan belum lunas. rumahnya megah semegah balai pertemuan
internasional, namun sayang letaknya di tengah pemukiman berdinding
bambu dan kayu. lantai rumahnya dari marmer impor Italia katanya,
padahal lantai tetangga-tetangganya masih dari tanah. Krisna, jadi
(mantan) taruna pakai jalur luar biasa. pulang petentang-petenteng pamer
seragam, padahal sudah ditendang dari almamater karena ketahuan
melanggar disiplin. gantengnya, relatif....relatif tidak ada yang bilang
ganteng. andai di kota kecil itu ada klinik operasi plastik seperti di
Korea sana, mungkin dia sudah permak hidung, dagu, rahang, mata, dan
mungkin seluruh wajahnya agar mirip Vino G. Bastian.
pekerjaan
Krisna? membantu ayahnya pamer harta. jalan ke pasar pakai mobil, pergi
ke sawah untuk menilik tanah pakai motor "lanang" yang baru datang,
pergi ke masjid bawa tab. selebihnya? jadi mandor di kelurahan.
Krisna
mengejar Dru sejak dia pulang dari perantauan, setelah Dru
menyelesaikan S2 di Belanda. berulang kali Krisna datang ke rumah Dru
sambil membawa tumpukan oleh-oleh. beda desa saja sok pakai bahasa
oleh-oleh, batin Dru. bilang saja barang sogokan untuk membujuk Dru
membuka hatinya. dih, bagaimana bisa dibuka kalau hatinya sudah ada
isinya.
Dru tidak bisa disogok dengan barang
murahan seperti itu, meskipun jujur bukan barang murahan sungguhan. itu
barang bermerek. barang yang tidak bisa dibeli di desa atau mall-mall
sembarang kota. duh, perempuan mana yang tidak jelalatan matanya ketika
disuguhi tas, sepatu, baju, parfum bermerek luar negeri seperti itu?
bagi Dru yang sudah tinggal lama di kota besar, barang-barang itu sangat
menggoda nafsunya. namun sayang tidak akan pernah bisa menggoda
hatinya.
dan benar saja, tepat jam empat sore ada mobil
parkir di pelataran rumahnya. andai itu mobil porsche atau lamborgini
mungkin Dru akan mendekati Krisna sebentar, untuk melakukan selfie dan
diupload di instagramnya. sekedar pamer kalau di desa ada juga yang bisa
punya porsche. ngayal, Dru. jangan delusional berlebihan.
Dru
mengintip dari jendela, si Krisna dan bapaknya. duh, bawa bapak segala.
keempat tangan mereka membawa seserahan (?), membawa empat bungkusan
maksudnya. ibu yang paling heboh menjemput mereka di depan rumah.
sedangkan bapak cuma senyum-senyum palsu. Dru tahu benar, bapaknya tidak
pernah mengiyakan atau menolak Krisna. jadi dia berusaha bersikap
netral, tidak seperti ibu yang cenderung pro kehadiran Krisna. kata ibu,
masa depan nanti terjamin lah, ini lah, itu lah, anu lah. kalau kata
Dru, yang menjalani rumah tangga bukan ibu, jadi jangan sok tahu.
bungkusan
itu menggoda iman. sungguh. dari apa yang Dru cium, itu adalah gadget
keluaran terbaru dari produsen Amerika berlambang apel "growak" itu.
lengkap dengan tas, sepatu, baju, parfum bermerek seperti
sebelum-sebelumnya. diliriknya sepatu blink-blink seperti milik Syahrini
itu dengan gemas, dilihatnya ukuran sepatunya 38. bijih, darimana si
Krisna tahu ukuran sepatu Dru? pasti dari ibu. Dru melirik ibunya yang
mesem-mesem menyilakan krisna dan bapaknya minum.
Dru
sempat melirik ke bungkusan terakhir yang Krisna tunjukkan. alamak, itu
seperangkat novel dan buku yang Dru gandrungi setengah mati. tahu dari
mana laki-laki ini soal selera buku bacaan Dru? sial. untuk membeli dan
mengoleksi buku-buku itu Dru butuh beberapa bulan untuk menabung, namun
laki-laki ini hanya butuh waktu beberapa hari untuk mendapatkannya.
harus
diacungi jempol si Krisna ini. keahliannya dalam hal kepo sungguh luar
biasa. ibu, oh ibu ternyata yang selama ini membantunya. dikasih apa sih
ibunya?
"bagaimana dek Dru?" tanya Krisna sumringah. mimik wajahnya membuat Dru ingin muntah.
Dek?
"maaf, apanya yang bagaimana Kris?" tanya Dru balik, seolah-olah tak paham dengan pertanyaan yang diajukan Krisna barusan.
"barang-barangnya, dek!" senyum Krisna melebar lima senti.
"barang-barangnya kenapa, Kris?" jawab Dru asal.
"kamu nggak bisa panggil Krisna dengan mas?" sela ibu, gemas.
huek. mas?
"ngapunten ibu, usia kami sama. malah saya lebih tua dari Krisna" jawab Dru sesopan mungkin.
"ah, nggak jadi masalah kok tante..." kata Krisna sopan, sambil pamer gigi-gigi tambalan.
tante? sok kota lu!
"bisa langsung ke topiknya, Kris?" seru Dru mulai tak sabar.
"jadi
begini Pak Rudy dan Bu Rudy, kedatangan saya dan Krisna ini tidak lain
dan tidak bukan karena kami berniat untuk lebih mempererat tali
persaudaraan sekaligus hubungan keluarga agar menemui satu titik
kebahagian untuk kedua keluarga besar.....bla bla bla"
itu bukan topik, pak lurah. itu kalimat-kalimat yang kalau dirangkai bisa jadi satu paragraf.
"jadi intinya, Pak?" tanya Dru seolah tak paham.
"intinya saya ingin melamar dek Drupadi Kinara Rudy Hadikusumo" jawab Krisna santai, lagi-lagi sambil pamer gigi.
Bapak
dan Bu Rudy saling bertatapan. Ibu sumringah sambil menepuk-nepuk
pundak Bapak, sedangkan Bapak cuma mengerutkan dahi sambil bolak-balik
menatap Dru. dan Drupadi, dia pura-pura mengotak-atik handphone yang
dipegangnya.
Dru pura-pura terkejut, "he? kenapa Kris? kamu melamar? melamarku? hahahahahaha"
"lho kok ketawa, dek?" tanya Krisna bingung, kali ini sungguh kelihatan bingung.
Dru berhenti tertawa setelah Ibu melototinya.
"maaf Krisna Meirodiwangga...dengan tegas saya menolak lamaran kamu" jawab Dru serius.
Ibu
menoleh ke arah Dru, Bapak juga. Pak Lurah cuma mengibas-ngibaskan
tangan di udara. Krisna, memukul-mukul lututnya karena panik.
"Dru? nggak dipikirkan dulu?" seru ibu, kaget.
"enggak, Ibu" jawab Dru serius.
"Pak Rudy, bisa dijelaskan kenapa?" tanya Pak Lurah gusar.
"nduk, Drupadi. kamu beneran menolak lamaran Krisna?" tanya Pak Rudy.
"nggih, Pak. Dru nggak suka Krisna. sudah jelas kan alasannya" jawab Dru santai.
"cuma nggak suka aja, dek?" tanya Krisna gusar.
"nggak sih, banyak alasannya. mau tau?" tantang Dru.
"iya" jawab krisna.
"satu, aku nggak suka kamu...."
"....dua, aku punya kekasih...."
"....tiga, aku nggak suka kamu....."
"....empat, aku punya kekasih....'
"....lima,....."
"kok diulang-ulang sih, dek?" potong Krisna.
"....lima, kamu bukanlah tipe laki-laki idaman dan suami-able untukku.."
"....dan enam, pulanglah...aku sudah menolakmu. maaf"
Pak Lurah dan Krisna terlihat (agak) marah. Ibu cuma bisa senyum-senyum menenangkan mereka. Bapak cuma bisa berdehem dalam.
"siapa laki-laki itu, dek? kurang apa aku ini? kurang apa?"
Dru
menyecap kopinya yang masih panas ditemani Ibu dan Bapak yang bersenda
gurau di teras rumah. kedua orang tuanya sudah tidak membahas masalah
Krisna lagi. sepertinya sudah lupa ketika Dru menceritakan sosok lelaki
pilihan hatinya sendiri. setelah digoda Dru dengan kalimat "kalau begitu
ibu saja yang nikah sama Krisna" dan bapak menambahi dengan kalimat "ya
sudah ibu silakan poliandri" akhirnya ibu ketawa terpingkal-pingkal dan
sadar bahwa selama ini dia salah. Ibu sadar bahwa kebahagiaan anaknya
ditentukan oleh anaknya sendiri. yang menikah bukan ibu, tapi Dru. yang
menjalani rumah tangga kelak bukan ibu, tapi Dru.
Dru
terlihat sumringah setelah sore tadi menghadapi manusia dari negeri
antah-berantah. bicara tentang kejadian tadi sore, Dru tak habis pikir
dengan perkataannya sendiri. dapat tenaga dan keberanian dari mana
menghadapi Pak Lurah dan anaknya itu? kata-kata yang dia ucapkan
terdengar sok-sok'an sekali. tidak sia-sia ternyata sering membaca
novel, serunya dalam hati.
"laki-laki itu bukan
siapa-siapa, Kris. bukan anak pejabat. bukan dari golongan konglomerat.
dilihat dari apa yang kamu punya dan apa yang selalu kamu bawa kemari
sama sekali kamu nggak ada yang kurang, malahan dia yang kurang banyak
dari kamu."
"....namun satu hal kelebihan yang dia punya, dia
menarik hatiku bukan dengan apa yang dipunya dan dibawa tapi dari apa
yang sudah dia lakukan padaku. perlakuan istimewa seorang laki-laki pada
perempuan bukan hanya tentang materi, Kris. bahagia tidak diukur dengan
itu saja.
"...jatuh cinta, rasa suka, rasa sayang tidak semuanya
berasal dari pandangan, apalagi pandangan pada materi yang dimiliki.
bagiku lebih pada ilmu, agama, perlakuan, dan perkataan baik yang
ditujukan padaku, dimana itu semua tidak ada di kamu"
"Kris,
materi cuma titipan, nggak dibawa mati. apalagi kalau materi nggak
didapat dari keringat sendiri. materi dari orang tua, misalnya."
skak. mat.