late post.
Akhinya aku berhasil menemukan
peron 3 (bukan peron 3/4 di serial film Harry Potter) setelah
sebelumnya sempat hampir salah naik eskalator menuju peron 1 dan 2. Ya,
eskalator penghubung ruang tunggu di lantai satu itu memang terhubung ke
empat peron stasiun Gambir. Eskalatornya ada dua, satu penghubung ke
jalur 1 dan 2, satunya lagi penghubung ke jalur 3 dan 4. Karena
kedatanganku tadi masuk melewati pintu utara, maka eskalator yang
terpampang di hadapanku adalah eskalator jalur 1 dan 2, bukan 3 dan 4.
Oleh karena itu aku hampir salah naik jika saja tadi tidak mendengarkan
instruksi petugas stasiun. Ya untungnya telingaku cukup cermat
mendengarkan petugas berkoar-koar dari balik...tempat kerjanya, yang
mengatakan bahwa kereta Bangunkarta telah "mandek" di jalur 3.
Bergegas kulangkahkan kaki menuju eskalator tanpa menoleh ke belakang -eskalator yang berhadapan dengan pintu selatan pemeriksaan tiket. Sebelum naik,kusempatkan bertanya -untuk memastikan bahwa telingaku tidak salah dengar- pada petugas berseragam yang berdiri didekat eskalator soal jalur kereta yang akan membawaku kembali ke Surabaya.
Kunaiki
eskalator dengan kaki gemetar. Rasanya di dadaku mulai ada gejolak yang
membahayakan. Kubuang napas panjang. Ini sudah berakhir...
Kereta
Bangunkarta berada di depan mataku sekarang. Aku berdiri di peron dalam
keadaan tangan gemetaran. Rasanya ingin cepat masuk gerbong dan duduk
untuk menenangkan diri. Aku akan pulang. Ya aku akan pulang, batinku
sambil menggigit bibir, menahan sesuatu yang hendak erupsi.
Dengan
berbekal tiket yang belum kukantongi aku bertanya pada mbak-mas
pramu...petugas kereta yang selalu berdiri di depan pintu kereta
eksekutif, tentang gerbong keretaku. Dia kemudian menunjuk beberapa
gerbong dibelakangnya. Sebelum bertanya, sebenarnya aku sudah tahu
dimana gerbong tempatku duduk. Aku hanya basa-basi saja. Eksekutif 6 ada
di belakang,tentunya. Tapi, demi memastikan kebenaran apa salahnya
bertanya. Kata orang, malu bertanya sesat di jalan kan? Ya, malu
bertanya, bisa salah naek gerbong kereta.
Gerbong 6 masih sepi, hanya empat atau lima orang yang telah duduk dikursinya masing-masing.
Kulihat
Eksekutif 6 kursi 3B masih kosong. Beruntungnya diriku jika
kepulanganku nanti aku sendiri lagi, seperti pada saat aku berangkat
satuminggu yang lalu. Aku bisa menguasai kursi. Bisa seenaknya gerak
kesana-kemari.Dan juga bisa....itu.
Duduk di dekat
jendela adalah surga dan neraka. Surga adalah ketika bisa menatap langit
Jakarta yang mulai gelap dan beberapa gedung pencakar langit beserta
keramaian yang minta dilambaikan tangan. Neraka adalah kursi di pinggir
jendela merupakan tempat terkutuk bagi mereka yang keadaan jiwa dan
hatinya sedang nelangsa. Bisa dipastikan galau selalu datang ketika
duduk di pinggir jendela. Dan aku mengalaminya.
Setelah
berhasil menaruh tas jinjing ke bagasi di atas kepala, aku duduk
dengan...dengan kaki dan tangan yang gemetarnya masih tidak wajar,
dengan keadaan jantung seperti kena tikam, dengan segala perasaan campur
aduk. Dan, sesuatu yang kutahan mendadak ingin tumpah ketika kupandang
kaca jendela. Di sana terpampang sebagian kecil Jakarta yang seperti
memelas minta jangan ditinggalkan. Hal itu semakin membuatku resah,
gelisah. Ada rasa sesal yang mendadak datang ketika kunikmati
menit-menit terakhir di sini. Namun aku masih belum tahu penyesalan apa
itu. Hei aku akan pulang, batinku.
Jam belum
menunjuk angka 17.45 dimana kereta ini akan beranjak dari Gambir menuju
Surabaya Gubeng. Setelah cukup bercengkerama dengan jendela dan
pemandangan beton-beton raksasa di luar sana, aku baru menyadari bahwa
lelaguan yang meluncur dari balik layar televisi kereta adalah backsound
yang tepat bagi jiwa-jiwa yang sedang galau apalagi jika posisi
duduknya berada di dekat jendela. Suram. Inilah neraka yang kukatakan
sebelumnya. Dan karena lagu itu, hati mendadak terasa sangat nyeri.
Mungkin salah satu penyebab air mataku tumpah dengan sangat mudah adalah
lagu itu. Di samping karena sesuatu yang baru beberapa menit lalu telah
berlalu, lagu ini berkontribusi cukup banyak untuk membuat hatiku
menjadi ngilu. Ini seperti adegan di layar kaca, semua terlihat seperti
terskenario dengan apik. Adegan pisah, adegan berlalu, adegan naik
kereta, adegan duduk di pinggir jendela, dan adegan....ini.
Aku
menangis. Kugigit bibir bawahku, kututupi wajahku dengan syal untuk
menyembunyikan tangisku yang memalukan ini. Aku tahu, akan ada banyak
orang yang menggapku sebagai seorang perempuan gila karena menangis di
dalam kereta. Mungkin mereka menerka kalau perempuan yang tengah duduk
di pinggir jendela itu sedang galau maksimal, patah hati, atau berpisah
dengan.....Ah seperti itulah. Aku tidak peduli, lha wong nangis datang
sendiri kok mau ditahan, mana bisa.
Aku terus saja
sesenggukan tanpa suara. Dadaku nyeri sekali. Hidungku sakit.
Tenggorokanku tak ubahnya seperti disumpal durian. Rasanya hati mendadak
sangat sakit karena suatu penyesalan terhadap sesuatu yang tidak aku
tahu. AKu tidak tahu menyesal karena apa, tapi aku merasa ada sesuatu
yang belum tersampaikan, yang belum kulakukan.
Air mataku terus saja keluar. Dia seperti minta dimanjakan, tidak mau mandek
barang sebentar. Boleh lah kesedihan ini kumanjakan beberapa menit.
Biarkanlah semua rasa tumpah ruah dengan menangis. Barangkali dengan
menangis semua terselesaikan. Jika ada beberapa hal yang tak sanggup
kusampaikan padanya, semoga dengan menangis membuatku lega. Namun,
tangisku malah semakin menjadi ketika kudapati sebuah pesan singkat yang
muncul di HP yang sedari tadi kukantongi.
"hati-hati ya mbak :)"
Satu
setengah jam sebelumnya adalah pertemuan tak terdugaku
dengannya.Seseorang yang sebenarnya sangat tidak ingin aku temui
mendadak menghubungiku dan meminta bertemu. Ketika aku menginjakkan kaki
di Jakarta seminggu yang lalu, aku memang tidak menghubunginya. Aku
sengaja tidak mengabarinya. Aku menyengaja melakukan itu agar dia tahu
bahwa keberadaannya tidak lagi berarti untukku. Entah darimana dia tahu
aku sedang di Jakarta, mungkin karena beberapa status facebook dan
twitterku, pasti. Sebodo amat lah, aku tidak merasa tertarik
untuk mengetahuinya, aku tidak peduli. Dan ketika mendadak di malam
sebelum aku pulang kudapati dia mengirim pesan singkat untukku, aku
mulai ragu, harus kuiyakan atau kutolak mentah-mentah ajakannya untuk
bertemu.
Harus kuiyakan karena aku tidak mau
menjadi seseorang yang kejam di matanya sekalipun dia sudah melakukan
sesuatu yang berdampak besar padaku. Aku tidak mau memutus tali
silaturahim begitu saja. Namun di sisi lain, masih ada nyeri yang
tertinggal di hati setelah satu bulan sebelumnya kutemukan fakta yang
menyebabkanku kecewa, sakit hati, dan mendadak benci, yang membuatku
sangat enggan untuk melihat dirinya lagi.
Aku tidak
lupa, sama sekali. Tentang peristiwa itu...Ah betapa kecewa dan
marahnya diriku kala itu sampai sebuah postingan kasar di dalam blogku
dibacanya dengan...ah seperti itulah. Seharusnya wajar bagiku memberikan
respon yang sangat...ya seperti itu. Wajarlah, seorang perempuan yang
merasa....terdzalimi memberikan respon luar biasa sampai dia pun
terkejut membaca umpatan kasarnya. Tapi ya sudahlah, toh aku juga
berniat melupakan dan mengusirnya jauh-jauh dari hidupku. Tak
kupedulikan lagi komentar yang muncul darinya tentang umpatan dan
kata-kata kasarku padanya. Dan benar saja setelah itu kuacuhkan dia, tak
kusapa dia, kubiarkan dia, aku mendiamkannya. Tentu saja aku tidak
ingin berkomunikasi soal apapun dengannya, aku tidak mau.
Namun,
aku tidak bisa mengacuhkannya kali ini. Aku tidak bisa. Naluri
perempuanku mengatakan untuk tidak membuatnya kecewa. Sudah hampir
setahun tidak berjumpa, mana boleh menolak ajakan untuk bersua barang
sebentar saja. Mungkin dia punya itikad baik untuk...sekedar minta maaf
mungkin atau ingin menyambung lagi pertemanan kami. Bah, pertemanan? aku
tidak mau menjadi temannya. Namun dengan gaya sok jutek akhirnya
kubalas juga pesan singkatnya, kuiyakan permintaannya untuk bertemu.
Kuiyakan, ya kuiyakan. Aku memang tidak cocok untuk berlakon antagonis
di setiap cerita cinta, tidak pernah bisa.
Dengan
diantar oleh keluarga teman yang kuinapi selama hampir seminggu, aku
berhasil sampai di Gambir sebelum jam untuk penukaran reservasi tiket
online berakhir. Sebenarnya ketika di perjalanan tadi aku juga sempat
meminta bantuan pada lelaki itu untuk mencetak tiketku di tempat
print-out yang telah tersedia di stasiun Gambir. Itu harus dilakukan
jika dia yang lebih dulu sampai di sana. Namun aku sedikit khawatir
tentang permintaan bantuan itu. Pikiran konyol terlintas di kepala. Aku
rasa, jika dia berhasil menolongku untuk mencetak tiket, hal yang
kukhawatirkan pasti terjadi. Pasti nanti akan menjadi bahan lelucon
darinya ketika akhirnya dia tahu nama lengkapku. Oh tidak bisa. Tidak
bisa. Selama ini dia tidak tahu namaku yang sebenanya. Aku tidak
menginginkan itu terjadi. Aku tidak mau dia tahu. Tidak.
Dan
untungnya, ketika aku sampai di stasiun ternyata dia juga sampai
disana. Hanya saja sepertinya aku yang lebih dulu masuk ke dalam ruang
tunggu. Jadi tidak ada waktu baginya untuk menolongku, toh aku juga
sudah berdiri antri di tempat print-out tiket dengan ditemani temanku.
Oh bahagianya.
Beberapa menit kemudian mendadak HP bunyi. Lelaki itu menelepon. Bunyi percakapan kami seperti ini kira-kira:
L: Halo...
A: Mbak dimana?
L: Aku di tempat cetak tiket. Kamu dimana?
A: Aku di sana juga, mbak.
L: Loh masa'? dimana? (tanyaku sambil celingkukan kiri-kanan mencarinya)
A: Mbak pake kerudung ijo kan?
L: Lho kok tau? (aku celingukan lagi, mencarinya, namun nihil)
A: Tau lah..
L: Kamu dimana?
A: Ada deh..
L: ishh dasar....Sek bentar ya, aku mau nyetak tiket dulu.
Ternyata
aku tidak bisa melakukan akting sok jutek ketika mendengar suaranya.
Tidak bisa. Aku tidak bisa jahat padanya. Kepribadianku kembali seperti
semula. Ini musibah. Dan sebaiknya aku berlaku biasa ketika nanti
bertemu dengannya. Semoga bisa.
Terkadang Tuhan
memberikan kita mata bukan untuk melihat hal yang nyata nampak di
sekitar kita, selalu ada sesuatu yang terabaikan atau terlupakan
keberadaannya. Aku punya mata untuk bisa melihat banyak orang
berlalu-lalang di sekitarku, di belakangku, namun aku tidak bisa
menemukan orang itu. Justru dia yang dengan mudahnya menemukan
keberadaanku di tengah kerumunan orang. Mataku yang aneh atau matanya
yang hebat?
Merasa diperhatikan seperti itu aku
mendadak gugup, salah tingkah, meskipun aku tidak tahu tepat dimana dia
berada. Apakah dia sedang duduk santai sambil menertawakan gestur
tubuhku yang aneh karena celingukan tak mendapati keberadaannya. Atau
apakah dia tengah berdiri sambil senyum penuh kemenangan karena berhasil
membuatku merasa sangat bodoh padahal dirinya sedang berada di dekatku.
Entahlah. Di tengah kerumunan orang - orang itu aku tidak bisa
mencarinya. Dalam hati bertanya-tanya, bagaimana bisa dia melihatku.
Dari sebelah mana dia memandangku. Ah sial. Aku merasa sangat bodoh.
Tiket
telah tercetak dan aku berbalik untuk mencari ayah temanku. Namun
kakiku mendadak terhenti. Mataku tertuju pada titik tepat dua meter di
pojok kananku. Di sana berdiri seseorang yang sudah hampir setahun tidak
kutemui. Seseorang dengan keeksotisan kulitnya yang mampu menarik
perhatian banyak orang. Gaya berdirinya yang sok cool membuatku...ah
sialan nih orang. Aku menelan ludah. Harus kuakui kalau dia masih
sekeren tahun lalu ketika pertama bertemu. Lelaki yang membuatku
menjerit dalam hati dan gelinjangan seperti cacing kepanasan di balik
kaca ketika menunggunya di depan mesin ATM di dalam Tunjungan Plaza.
Bagaimana bisa aku bertemu lagi dengan lelaki macam ini? Batinku. Ini
musibah.
Sok cool. Gayanya benar-benar membuatku
menggelengkan kepala. Punggungnya menyandar di dinding. Sebelah kakinya
ditekuk ke belakang. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. Dan
ekspresi wajahnya menggambarkan kemenangan. Tuhan...lelaki ini
benar-benar.....Dan aku cuma bisa memberikan lelaki sok cool itu sedikit
senyum "malu" dan pasrah sambil memintanya untuk menunggu sebentar
karena aku harus berpamitan dengan teman dan keluarga yang mengantarku.
Oke. Aku mulai salah tingkah.
Awkward. Seperti momen-momen pertemuan kami tahun lalu. Hell,
mendadak aku merasa garing sendiri. Namun, aku berusaha bersikap
sewajarnya saja. Sok basa-basi bertanya: sudah lama? kok nggak lihat
kamu? bla bla bla yang jika didengar memang cukup garing di telinganya.
Sejujurnya
dari tengah perjalanan aku sudah menahannya, sudah di ujung tanduk.
Jadi ketika temanku berpamitan untuk pulang, aku meminta lelaki ini
untuk menjaga tas jinjingku. Aku harus ke toilet. Harus segera. Dan
sesampainya di sana, aku berkaca sambil berteriak dalam hati: ini gila,
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak.
Tidak bisa
kupungkiri kalau ternyata ada baiknya kami bertemu. Paling tidak kami
bisa bercakap-cakap lagi. Sekalipun cuma sekedar say hello dan mengobrol
ringan saja untuk menutupi menutupi awkward moment ini, tak jadi
masalah, yang terpenting adalah aku merasa kewajibanku untuk menemui
lelaki ini telah gugur di situ.
Sebenarnya aku tidak
lapar, hanya saja aku harus membeli makan untuk di kereta nanti malam.
Makanan di kereta mahal, jadi lebih baik aku membawanya dari luar saja.
Oleh karena itu aku putuskan untuk mengajaknya duduk di salah satu
restoran cepat saji di dalam ruang tunggu. Satu paket makan, ice cream,
cola, dan burger berhasil kupesan.
Taukah kamu tanda untuk membaca gerak-gerik orang di hadapanmu yang sedang bingung, gugup, atau malu? Seperti ini tandanya.
L: (sambil mengobrol, nggak melihat matanya. malah makan ice cream dengan lahapnya)
A: (santai, tenang menikmati burger dan cola di hadapannya)
L: kamu kok tahu kalau aku lagi di Jakarta? (tanyaku basa-basi sambil terus melahap ice cream yang dingin)
A: tau lah, aku kok (sok banget nih orang, batinku)
L: yeeee....palingan juga tahu dari update twitter dan facebookku. ya kan?
A: dibilangin enggak kok nggak percaya
L: halah, palingan juga dari situ
A:.......
L: lho...kok gelas ice cream-nya robek? (kataku tiba-tiba setelah memperhatikan gelas plastik wadah ice cream)
A: ih.....gelas bekas itu mbak
L: masa' sih?
A: iya gelas bekas. minta tukar sana
L: nggak usah ah, udah mau abis juga
A: ih....pakai gelas bekas masih aja dimakan
L: biarin, namanya juga laper
....
Rasanya
ketika bertatapan muka dengannya seperti itu membuatku heran dan
takjub. Tahun lalu, beranikah diriku melakukan hal semacam itu? aku cuma
menyembunyikan tawa tanpa berani menatap matanya. Sekarang malah duduk
berhadapan dengannya dan berani menatap ke dalam matanya sekalipun
agak...canggung dan malu, menikmati gari-garis wajah dan kumis yang
terkadang membuatku senyum-senyum geli di dalam hati, berani melempar
lelucon dan cibiran, berani....ah berani melakukan banyak hal yang
sebelumnya tidak pernah aku bayangkan bakal melakukannya. Ya, ini
kemajuan.
Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bakal
bertemu lagi dengannya dalam keadaan sesempit ini. Tidak pernah.
Kesempatan terakhir yang kupunya adalah ketika dia diwisuda Oktober
lalu. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuknya, aku hendak ke Malang untuk
menghampirinya namun gagal karena mendadak kena sakit. Ya itulah
kehendak Tuhan. Takdir menentukanku dan dia tidak bertemu kala itu. Dan
takdir juga yang membawaku kembali bertemu dengannya dalam keadaan yang
tak terduga seperti ini.
Kali ini, ketika
benar-benar bisa duduk di hadapannya seperti ini aku mulai ragu.
Perasaan itu timbul tenggelam. Semua mulai terasa aneh. Kami seperti
teman lama yang baru bisa berjumpa, ada rindu yang rasanya terobati.
Namun kami juga seperti orang asing yang bingung mencari topik untuk
dibicarakan, ada gap yang membentang di antara kami yang membuat
kami tidak bisa leluasa berbicara. Adakah sesuatu yang salah di sini?
Mungkin, seharusnya tidak pernah ada sesuatu itu. Seharusnya kita bisa
berteman baik-baik. Seharusnya tidak pernah ada permulaan yang
mengakibatkan koma berkepanjangan. Seharusnya tidak pernah ada teka-teki
yang selalu membuat kita berpikir tentang ada dan tiadanya sesuatu itu.
Ya, kita memang tidak pernah bisa melafalkan apalagi menuliskannya
secara gamblang. Dan kita sebenarnya sama-sama tahu kalau itu
menyakitkan, namun kita mengabaikan dan terus melanjutkan tanpa ada
batas waktu pengakhiran.
Di tengah-tengah pikiran
yang carut - marut itu aku memulai percakapan lagi. Sungguh, aku sangat
tidak menyukai awkward moment, aku tidak menyukai sepi, aku tidak
menyukai pertemuan tanpa banyak obrolan.
L: loh kamu nggak kerja toh? katanya setiap hari masuk?
A: tadi kerja kok mbak, lha ini masih pake sepatu lapangan (jawabnya sambil menunjukkan sepatunya yang belepotan tanah)
L: lha kerja kok bisa ke sini?
A: kan minta izin dua jam buat keluar
L: emang boleh?
A: boleh lah. lha ini buktinya aku di sini
L: oh iya sih. hehehhe.
A: ke jakarta kok nggak ngomong-ngomong sih mbak?
L:
lha ngapain? ngomong sekalipun belum tentu bisa ketemu kan? (padahal di
dalam hati aku bilang: aku memang sengaja nggak ngomong aku nggak mau
ketemu kamu)
A: lha ini buktinya bisa ketemu
L:........
Karena
ada sesuatu yang harus kubawa di kereta maka aku harus membelinya
dengan segera di minimart terdekat. Aku tidak mengajaknya, tentu saja.
Tidak mungkin aku mengajaknya dengan membawa tas jinjing yang merepotkan
-harusnya bawa koper, bodoh- itu kesana-kemari. Lebih baik kutinggal dia sebentar.
Aku
tidak tahu bagaimana reaksinya ketika bertemu denganku, bagaimana
komentarnya terhadapku. Ekspresi wajahnya biasa saja. Tidak ada
tanda-tanda mejikuhibiniu di sana. Dia terlalu biasa saja untuk ukuran
seorang lelaki yang meminta bertemu perempuan yang dikenalnya.
ah...pikiran itu berkecamuk di dalam kepalaku ketika dari jauh
kuperhatikan dia. Tuhan begitu luar biasa sampai menetapkan takdir
seperti ini. Aku tidak pernah berkhayal untuk bisa menemuinya lagi, pun
mengobrol seperti tadi. RencanaNya sungguh luar biasa.
Mungkin
di matanya aku benar-benar konyol, terlihat salah tingkah. Saking salah
tingkahnya aku sampai menenggak air mineral dengan cara yang sangat
aneh, semua yang kulakukan terlihat aneh dan konyol di matanya. Pun
bahkan ketika diam-diam aku mau memasukkan sesuatu ke dalam tas
jinjingku, dia memergokiku...
A: ngapain ditaruh situ? mending masukin tas kecil aja.
L: he? tapi kan nggak muat. segede ini.
A: alah muat-muat, barang segitu doang
L: emang kamu tau barang apaan?
A: tau lah, kan keliatan dari sini.
L: he keliatan? (tanyaku malu)
A: kalau ditaruh situ kan lebih gampang ngambilnya.
L:
oh iya muat sih. hehehe (Tapi memang ada benarnya, kalau sesuatu ini
aku taruh di tas jinjing pasti akan sangat sulit untuk mengambilnya,
bagaimana kalau dilihat orang, kan malu juga. Mending dimasukin tas
kecil saja. Ya, logikaku main)
Jam sudah mau menunjuk
angka 17.30 dan di saat seperti itu dengan beberapa obrolan yang mulai
santai meskipun tetap terasa tegang, mendadak dia bertanya di tengah
percakapan ringan kami:
A: mbak..
L: (deg deg deg) hm...
A: bahasa Inggrisnya awan itu apa ya?
L: (fiuh...kirain tanya apaan) awan? cloud.
A: kalau berawan?
L: cloudy. kenapa?
A: nggak apa-apa, tanya doang.
L: (udah gitu doang? hmmmm)..........
Dan
akhirnya terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang akan membawaku
pulang ke Surabaya sudah akan datang. Aku kembali melihat jam besar di
dinding stasiun. Ini sudah saatnya aku mau pergi, kenapa bocah ini tidak
mengatakan apapun. Niatnya bertemu untuk apa coba. Tidak ada permintaan
maafkah? Aku mulai mendengus. Tak sabar. Dan akhirnya kuberanikan diri
menggodanya:
L: eh keretanya udah mau dateng nih,
kamu...nggak ada sesuatu yang mau disampaikan? (tanyaku separo tertawa
demi menutupi kegugupan. kulihat matanya. tidak ada tanda-tanda apapun.
matanya terlalu santai. aku tidak bisa menebak sesuatu yang tersembunyi
di sana)
A: apa mbak? nggak ada ah..
L: serius nggak ada? (tanyaku lagi)
A: apa ya? nggak ada mbak...(jawabnya sambil tersenyum)
L: serius? kesempatan terakhir lohh...ntar nyesel lho
A: haha, serius nggak ada mbak
L:
(bohong. aku tahu kamu sedang berbohong. aku tahu kalau kamu gugup. aku
tahu kalau kamu tidak berani mengatakan itu. yay, aku sok tahu.)
Sejujurnya,
aku enggan mengatakan ini. Namun dilihat dari gelagaknya yang adem ayem
namun penuh tanda tanya itu aku menyimpulkan bahwa sebenarnya ada
sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadaku namun tertahan di tenggorokan.
Oleh karena itu mau tidak mau akhirnya aku mengatakan ini:
L:
sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu...hehehe (kata-kataku
tertahan di tenggorokan. Sumpah aku harus berusaha menutupi keresahan
yang mulai muncul dengan tertawa garing seperti ini) aku mau minta
maaf....
Akhirnya aku yang meminta maaf duluan. Sial.
Siapa yang salah, siapa yang minta maaf. Aku emang edan. Khayalan yang
menyatakan bahwa laki-laki ini bakal meminta maaf padaku sirna sudah.
Ya, dia tidak merasa salah sama sekali. Lanang edan. Tapi biarlah,
daripada tidak ada yang membuka mulut di saat-saat genting seperti ini
lebih baik mengorbankan keegoisan demi kejelasan. Kapan lagi ada
kesempatan untuk bertemu dan mengatakan ini.
L: aku
minta maaf buat yang kemarin itu...nanti yang di blog akan aku hapus,
anggap saja aku tidak pernah mengatakan itu padamu, aku minta maaf....
hehehehe (jujur aku mulai sangat gugup ketika mengatakan ini)
A: (akhirnya dia membuka suara) aku juga minta maaf mbak, maaf kalau ada salah...
L:
(salahmu banyak sekali, nak) iya nggak apa-apa udah dimaafkan
kok...(semudah itu memaafkannya, nggak sebanding dengan yang kemarin.
tapi sudahlah)
Kemana perginya benci itu? kemana
hilangnya perasaan sakit dan kecewa itu? kenapa semua terlihat baik-baik
saja sekalipun dia tidak meminta maaf dulu dan hanya mengatakan kalimat
sependek itu? aku yang tidak waras atau dia yang kelewatan tidak peka?
Dan
semua hilang. Perasaan benci itu menguap. Namun, masih ada satu hal
yang mengganjal. Dan untuk dapat mengungkapkan pertanyaan itu, dengan
sekuat tenaga aku harus menekan ego dengan menanyakannya sesantai
mungkin, sambil guyon...
L: oh iya, pacarmu siapa sih? (tanyaku pura-pura excited)
aku sebenarnya berharap dia bilang, aku nggak punya pacar kok mbak.
A: temenku SMP, mbak...
Jederrrrr. Ada kilat di atas kepalaku.
L: owalah....(kataku sambil berdiri, bersiap-siap untuk pergi karena keretaku sudah sampai di atas)
A: gak apa-apa tah mbak?
L: halah biasa ae...(jawabku sambil menebar senyum palsu. nggak apa-apa gundulmu!)
Berusaha
menyembunyikan perasaan yang jelas-jelas sudah bisa dia baca adalah
sebuah kebodohan. Sekuat apapun diriku menahan perasaan itu, dia tahu.
Gerakan tubuh dan caraku bicara sepertinya khatam baginya. Tentu saja
dia tidak sebodoh diriku, hanya dengan mendengar suara dan tingkahku
yang aneh dan konyol pasti sudah tahu kalau aku tidak baik-baik saja.
Namun untuk diriku yang tidak pandai membaca gerakan orang, aku pasrah
saja ketika melihatnya terdiam saja. Gerakannya terlalu luwes, terlalu
tenang, untuk ukuran seseorang yang mungkin merasa sangat bersalah pada
orang di hadapannya.
Kami berdiri di depan
pemeriksaan tiket. Aku berbalik ke arahnya kemudian mengangsurkan tangan
sambil menyunggingkan senyum. Kami bersalaman. Semoga dosa-dosa yang
telah kami lakukan termaafkan. Semoga semua kembali seperti semula.
Semoga tidak ada yang menyakiti atau tersakiti lagi. Semoga semua
baik-baik saja. Semoga aku cepat melupakan ini, semoga. Semoga aku lupa
dengan apa yang baru saja dia bilang. Namun, yang dia bilang barusan
terngiang-ngiang terus di telinga. Dan ini adalah musibah.
Kemudian
aku mulai mengantre di tempat pemeriksaan tiket. Sebelum tiba
giliranku, aku menoleh ke arahnya lagi dengan melambaikan tangan dan
memberikan senyuman perpisahan. Ini adalah pengakhiran, kataku dalam
hati.
Dan setelah melewati pemeriksaan tiket, aku berjalan
lurus ke depan. Aku tidak menoleh lagi. Aku tidak mau menoleh. Aku tidak
mau melihatnya berdiri seperti itu. Aku tidak mau dia tahu kalau air
mukaku telah berubah. AKu tidak mau dia tahu ada mendung yang tergambar
jelas di wajahku. Aku tidak mau dia tahu kalau aku merasa sakit dan
ingin menangis.
AKu pikir akan baik-baik saja. Namun
ternyata setelah melewati pintu pemeriksaa tiket, perasaanku mulai
carut-marut. Dadaku mendadak sesak. Sesuatu tertahan di tenggorokan.
Mataku mulai berkaca-kaca. Demi Tuhan aku tidak ingin berbalik
melihatnya, aku tidak mau ada kejadian seperti di film yang tiba-tiba
aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Bah, pikiran macam apa itu. Tentu
saja aku tidak sekonyol itu. Bahkan ketika tadi aku punya niatan untuk
memberikan kecupan di pipinya kuurungkan. Aku takut, bukan takut
dimarahi olehnya karena dengan gilanya mencium pipinya. Tapi takut
karena jika aku melakukannya, aku akan menangis saat itu juga.
....
Setelah
membaca pesan singkatnya, tangisku pecah, tangisku semakin menjadi.
Bahkan ketika beberapa petugas kereta melewatiku dan memergokiku
menangispun aku tidak peduli. Ketika petugas pemeriksa tiket memintaku
untuk menunjukkan tiket dan mengetahuiku menangis pun aku juga tidak
peduli. AKu cuma mau menangis dan melampiskan semuanya saat itu juga.
Persetan jika dikatakan memalukan.
Tuhan, kenapa rasa sakitnya
seperti ini? Kenapa aku tidak bisa baik-baik saja? Patah hati kah
diriku? Menyesalkah diriku karena tidak melakukan itu kepadanya?
Dan
aku menuliskan status di twitter bahwa aku menangis. Aku berpamitan
pada Jakarta di twitter. Namun tanpa kusangka, dia membaca isi status
twitterku. Kubuka profilnya, dan jantungku mendadak berdegup kencang
setelah membaca isi twitternya. Seketika aku naik ke atas kursi dan
mengambil tas jinjingku di bagasi.
Buka tas cokelat!
Bergegas
kubuka resleting tasku. Dan yang kutemukan di dalamnya adalah bungkusan
kertas kado batik berwarna cokelat. Aku mengambilnya dengan segera.
Buku?
Bungkusan cokelat itu kubuka dengan sangat hati-hati. AKu
tidak mau merobek kertas pembungkusnya. AKu ingin kertas itu tetap rapi.
Dan ketika aku berhasil membukanya, kutemukan sebuah novel berjudul
"Cloudy" dan buku motivasi tentang "Galau"
A: mbak..
L: (deg deg deg) hm...
A: bahasa Inggrisnya awan itu apa ya?
L: (fiuh...kirain tanya apaan) awan? cloud.
A: kalau berawan?
L: cloudy. kenapa?
A: nggak apa-apa, tanya doang.
L: (udah gitu doang?)..........
Di
hadapannya, aku benar-benar menjadi sangat bodoh dan konyol. AKu belum
mampu meng-upgrade kemampuanku untuk menjadi perempuan "cerdas" dalam
membaca situasi ketika bersamanya. Aku selalu konyol, selalu menjadi
perempuan lemah sampai detik terakhir ketika bertemu dengannya. Bahkan
untuk membaca kode itu pun aku tak mampu. Semua pemikiran rasional pun
berhenti ketika berada di dekatnya. Aku tak pernah bisa berpikir bahwa
dia akan melakukan hal sejauh itu. Dia yang luar biasa atau aku yang
memang tidak peka?
Sebagai teman di perjalanan. Sebenarnya nggak mau ngomong, tapi berhubung situ nangis ya gimana lagi.
Dan
ini bukan tangis patah hati lagi, ini tangisan haru, tangisan bahagia.
Sebuah kejutan tak terduga di awal bulan Februari yang kunamakan koma
membuatku menangis bahagia. Tidak tahu kenapa, tapi rasanya sungguh
bahagia. Jika saja aku memutuskan untuk tidak mau menemuinya, jika saja
aku berlagak jadi antagonis di hadapannya, dan jika saja aku
menghentikan semuanya tentu tidak akan pernah ada kejadian se-luar biasa
ini di stasiun tempat kami memisahkan diri. Ini bukanlah dongeng
seperti yang ada di layar kaca, bukan juga cerita fiktif yang dikarang
penulis-penulis muda. Ini nyata. Sebuah kejadian fenomenal nyata yang
seumur hidup baru kualami bersamanya. Terima kasih telah mendatangkan
mejikuhibiniu dalam waktu yang bersamaan.
Berpisah di stasiun
bukanlah perpisahan yang sebenarnya, semua tetap berlanjut sebab kami
belum menginginkan ini berakhir di satu titik. Kami masih nyaman dengan
"koma" yang selalu kami bubuhkan di setiap cerita. Jika kami memutuskan
untuk berhenti di titik, tidak akan pernah ada lagi cerita tak terduga
lainnya. Kami tetap membiarkan semua berjalan sesuka takdir. Kami tidak
menginginkan apapun selain rasa bahagia. Kami tidak membutuhkan
percekcokan seperti pasangan-pasangan lainnya. Kami bukan pasangan, kami
adalah duo sang pemberi dan penerima rindu. Kami adalah sepaket manusia
yang dengan senang hati mengikuti alur cerita yang Tuhan skenariokan.
Kami mempercayai takdir dan segala ketetapanNya, tidak peduli tentang
apapun itu. Saling memiliki bukanlah goal bagi kami sekarang ini. Tidakkah saling berbagi rasa bahagia saja sudah cukup? Ya, bagi kami itu lebih dari cukup.
....
....
Perempuan
itu berpamitan ke toilet dan aku diminta untuk menjaga tas jinjingnya.
Karena aku bingung bagaimana cara untuk memberikan sesuatu ini padanya,
maka sekarang adalah kesempatan bagiku untuk memberikannya diam-diam.
Sebuah bungkusan yang kubeli di toko buku kuambil dari dalam ransel dan
segera kumasukkan ke dalam tasnya. Tadi ketika mampir di toko buku, aku
tidak punya banyak waktu untuk memilih buku apa yang mungkin dia gemari.
Sebuah novel berjudul "Cloudy" dan buku motivasi tentang "Galau" ini
akhirnya kusambar begitu saja. Semoga dia menyukainya.
......
Dia
telah kembali dari toilet. Aku sangat takut jikalau nanti tiba-tiba dia
membuka tasnya dan kemudian menemukan bungkusan itu. Maka dengan sigap
aku menawarkan bantuan untuk membawakan tasnya agar dia tidak punya
kesempatan untuk menyentuhnya. Berhasil.
......
Aku
sangat gugup sekali ketika dia kembali dari minimart, dia meminum air
mineralnya dan ada tanda-tanda akan dimasukkan ke dalam tasnya.
Jangan.....Namun beruntungnya dia menaruh botol air mineral itu di sisi
depan tas. fiuh....lega.
Kemudian aku memergokinya lagi akan menaruh sesuatunya ke dalam tas jinjing. Dengan cekatan aku bilang:
A: ngapain di taruh situ? mending masukin tas kecil aja.
L: he? tapi kan nggak muat. segede ini (dia berargumen, dan jangan sampai aku kalah)
A: alah muat-muat, barang segitu doang (aku berpura-pura setenang mungkin, jangan sampai dia curiga)
L: emang kamu tau barang apaan? (dahinya berkerut)
A: tau lah, kan keliatan dari sini (kataku yakin, iya yakin karena aku melihat barangnya. hehehehe)
L: ish.....dasar (kataku malu) oh iya muat sih. hehehe
Akhirnya
dia memasukkan barangnya ke dalam tas kecilnya. Tas besarnya tetap aman
tak terbuka. Beruntung sekali logikanya main. Tapi tunggu, logikanya
main atau dia memang menurut saja apa yang aku katakan karena dia salah
tingkah. Hahahaha. Aku tahu kalau dia gugup.
.......
Aku
melihat punggungnya menghilang setelah melewati pemeriksaan tiket. Dia
tidak menoleh lagi, padahal aku ingin melihat wajahnya lagi. Dia tidak
melambaikan tangan lagi, padahal aku ingin melihat senyumnya. Dia
berjalan lurus tanpa memperhatikan sekelilingnya. Baik-baik sajakah dia?
Aku tahu kau tidak baik-baik saja, maafkan aku. Perasaanku rasanya
campur aduk. Aku bingung.
Berbaliklah agar aku tahu kau baik-baik saja. Tersenyumlah padaku!
........
Isi
status twitternya membuatku nelangsa. Dia menangis. Aku membuatnya
menangis. Aku berdosa. Kemudian aku menuliskan ini di twitterku:
Buka tas cokelat!
Sebagai teman di perjalanan. Sebenarnya nggak mau ngomong, tapi berhubung situ nangis ya gimana lagi.
Mungkin kalau aku nggak memberitahu sekarang, pasti ketahuannya kalau sudah sampai di Surabaya.
.....
Dia
sudah berhenti menangis karena telah menemukan bungkusan itu. Ya,
berhentilah menangis. Jangan menangis lagi. Aku tidak bisa melihatmu
seperti itu. Jangan membuatku semakin berasa berdosa karena kejujuranku
tadi. Aku bisa melihat dia terluka ketika tadi aku bilang seperti itu.
Ah sial, tidak jujur merasa dosa, jujur pun malah merasa bersalah. Tapi
bukankah lebih baik jujur? Beruntungnya tadi dia menanyakan hal itu. Aku
tahu dia pasti akan menanyakan hal itu dengan cara seperti itu.
Sekalipun dia berusaha menutupi perasaannya, aku tetap tahu kalau dia
terluka...
.....
Ah....stasiun adalah tempat yang
romantis. Pikirku, kali ini aku seperti seorang aktor yang sedang
bermain FTV. Kejadian-kejadian ajaib tadi sama sekali tidak pernah
tergambar di kepalaku sebelumnya. Skenario Tuhan benar-benar luar biasa.
Aku masih ingin di sini, aku belum ingin kembali.
.....
Tuhan menegaskan pada kita bahwa dengan 'koma' kita mampu membangun cerita yang luar biasa. Ya....aku juga memilih koma.