"kok baunya begini?" hidung kucingku membau sesuatu yang tak lazim ada di ruang makan.
setelah membukakan pintu rumah dan membereskan tas serta sepatu suamiku, aku mendekati meja makan.
"mas, ini apa?" separo berteriak aku bertanya kepada lelakiku yang baru pulang dari kantor sambil mengamati bungkusan plastik hitam yang tergeletak malas di atas meja.
"mie pangsit, sayang..." seru suamiku dari dalam kamar.
pangsit? mie pangsit? tapi baunya kok kaya'....dengan cekatan kututup hidungku. suamiku sepertinya salah beli, pikirku.
suara sandal suamiku mendekat. seret kaki yang sering ku eluhkan di setiap kesempatan itu sampai di belakangku setelah berhasil membersihkan dirinya di kamar mandi. mas, kalau jalan jangan diseret dong, saru, nggak elok...mas, kalau jalan jangan bungkuk dong. nggak baik buat kesehatan tulangmu.
sambil merangkul bahuku, dikecupnya puncak kepalaku, kemudian dia membimbingku untuk duduk di kursi makan.
"katanya pengen mie ayam? itu tadi ketemu di perempatan komplek. keinget kemarin kamu ngoceh kepengen makan mie ayam di WTC. weekend kan masih lama, jadi daripada anakku nanti lahir ngiler ya aku belikan seadanya. hehehe" ujar suamiku santai, sambil menebar guyon. tapi mas...ini baunya...anu.....
"yee.....yang hamil siapa? kan cuma pengen mas..."
"ya siapa tau aja kalau hamil tanpa sepengetahuan? kan kita belum ke dokter" goda suamiku.
"orang lagi menstruasi kok hamil?" kataku sambil mengacak-acak rambutnya yang mulai panjang. lalu mencubit pinggangnya yang ramping.
"sudah...ambil mangkok sana, dimakan mienya. nanti keburu dingin jadi nggak enak lho"
krik...krik...krik....
aku menatap bungkusan kresek hitam dan wajah suamiku secara bergantian. seribu persen aku mengenali bau ini. ini bukan bau mie ayam, ini bau....bakso. hiks. aku nggak suka bau bakso. aku nggak doyan bakso.... suamiku sayang....masa iya kamu lupa hal ini? batinku ngeluh.
"tapi mas....anu...."
"kenapa dek?" tanya suamiku setelah mengetahui perubahan air mukaku.
"anu mas....itu...kok bau bakso ya?" tanyaku hati-hati.
"bau bakso? enggak lah, kan aku belinya mie ayam sayang..." jawab suamiku sambil mencubit kedua pipiku.
tapi mie ayam yang kuahnya pake kuah bakso ya mas? yang jualannya jadi satu sama bakso ya mas? bibirku mengerucut menahan sebal.
mengetahui diriku masih tetap diam di kursi, suamiku akhirnya berdiri menuju rak piring. diambilnya mangkok berserta sendok dan garpunya. sepertinya dia tidak peduli meliat ekspresi wajahku yang mulai eneg. dia tidak tahu bagaimana sulitnya bernapas lewat mulut seperti ini. hidungku sensitif sekali ketika membau hal beginian. perutku mulai mual. baunya sumpah....bikin mau muntah.
suamiku membuka kresek hitam di atas meja. di dalamnya ada bungkusan plastik warna bening yang isinya adalah kuah dan bungkusan kertas minyak yang isinya mie. dengan cekatan suamiku menyiapkan mie dan kuah. dicampurkannya juga kecap manis, saos, dan sambel serta acar dan sawi ke dalam mangkok. kemudian mengaduknya dengan sumringah.
suamiku sedang sakit ingatan kah?
bau di depan mataku sungguh membuatku ingin meluncur ke kamar mandi. ini bau bakso. bukan bau mie ayam. suamiku....lupa kalau aku tidak menyukainya. dalam hati rasanya mau nangis.
"ini....ayo dimakan" disodorkannya mangkok yang katanya mie ayam itu ke depan mataku. bau yang muncul sangat menyengat. ini bau kuah bakso. perutku mendadak mual.
aku mengamati mie ayam dengan enggan. aku tidak bisa memakannya, mas. aku mau muntah. ekspresi "tidak mau" sudah kutunjukkan. namun lelaki yang duduk manis sambil menebar senyum mautnya sama sekali tak peduli. malah dia menawarkan diri untuk menyuapiku.
"nggak usah mas...biar aku makan sendiri. hehehe" kataku sambil cengengesan.
masa iya aku kudu nolak pembelian suamiku, aku jadi istri durhaka nanti. maka dengan sepertiga hati, kupaksakan menyendok mie itu dan memasukkannya ke dalam mulutku
kerongkonganku sepertinya melakukan penolakan. telah terjadi sinkronisasi antara hidung, kerongkongan, dan perutku secara bersamaan. eneg seketika muncul dengan sangat cepat. sangat eneg. satu suapan yang kupaksa masuk ke dalam mulutku tak tersentuh oleh kerongkongan. gigiku gemeretak memaksa mengunyah. lidahku merasakan janggal. kerongkonganku tidak mau dimasuki. dan perutku akhirnya mengaduh.
"huoooookkkkkk............." satu suapan itu keluar lagi. jatuh di atas tangan kananku. dengan sigap tangan kiriku melambai pada suami untuk mengambilkan tisu yang berada tidak jauh dari jangakaunnya.
"dek!" suamiku kaget. secepat kilat dia mengambil tisu dan terduduk di sampingku.
"dek, kamu nggak apa-apa?" tanyanya panik.
"nggak apa-apa apanya?" seruku menahan mual yang masih sangat. aku menangis karena muntah, seperti biasanya. aku selalu menangis ketika gagal melahap sesuatu yang memang tidak kuinginkan. aku menangis histeris kali ini. suamiku jahat sekali.
suamiku bergegas menuangkan air putih. memintaku untuk segera minum.
"kamu jahat mas" kataku setelah berhasil meneguk satu gelas penuh air putih yang diambilkannya.
"maaf dek maaf"
"mas lupa ya kalau aku nggak bisa makan sembarang mie ayam? mas pasti beli mie ayam di tempat yang juga jualan bakso kan? itu kuah bakso mas. aku kan nggak bisa makan itu" ujar berapi-api sambil sesunggukan di depannya.
melihatku menangis sehisteris itu, suamiku mendekat. kedua tanganya menangkup wajahku, diusapnya air mataku yang meleleh.
"mas minta maaf...."
"mas nggak pernah lupa kalau adek nggak bisa makan sembarangan mie ayam. mas juga nggak lupa kalau adek ini nggak bisa makan daging selain ayam. mas nggak lupa kalau adek nggak bisa makan rawon, sate, masakan western, masakan jepang, bal bla bla. adek ini nggak makan daging. adek ini nggak mau makan mie ayam di tempat yang ada baksonya. mas nggak lupa tentang apa aja yang adek nggak bisa dan nggak mau makan"
"trus kenapa mas beliin aku mie ayam kaya' gitu tadi? seharusnya mas tahu ketika beli!!!"
"mas sengaja"
aku mengerutkan dahi.
"mas sengaja bikin kamu nangis di hari ke seratus kita menikah"
setelah membukakan pintu rumah dan membereskan tas serta sepatu suamiku, aku mendekati meja makan.
"mas, ini apa?" separo berteriak aku bertanya kepada lelakiku yang baru pulang dari kantor sambil mengamati bungkusan plastik hitam yang tergeletak malas di atas meja.
"mie pangsit, sayang..." seru suamiku dari dalam kamar.
pangsit? mie pangsit? tapi baunya kok kaya'....dengan cekatan kututup hidungku. suamiku sepertinya salah beli, pikirku.
suara sandal suamiku mendekat. seret kaki yang sering ku eluhkan di setiap kesempatan itu sampai di belakangku setelah berhasil membersihkan dirinya di kamar mandi. mas, kalau jalan jangan diseret dong, saru, nggak elok...mas, kalau jalan jangan bungkuk dong. nggak baik buat kesehatan tulangmu.
sambil merangkul bahuku, dikecupnya puncak kepalaku, kemudian dia membimbingku untuk duduk di kursi makan.
"katanya pengen mie ayam? itu tadi ketemu di perempatan komplek. keinget kemarin kamu ngoceh kepengen makan mie ayam di WTC. weekend kan masih lama, jadi daripada anakku nanti lahir ngiler ya aku belikan seadanya. hehehe" ujar suamiku santai, sambil menebar guyon. tapi mas...ini baunya...anu.....
"yee.....yang hamil siapa? kan cuma pengen mas..."
"ya siapa tau aja kalau hamil tanpa sepengetahuan? kan kita belum ke dokter" goda suamiku.
"orang lagi menstruasi kok hamil?" kataku sambil mengacak-acak rambutnya yang mulai panjang. lalu mencubit pinggangnya yang ramping.
"sudah...ambil mangkok sana, dimakan mienya. nanti keburu dingin jadi nggak enak lho"
krik...krik...krik....
aku menatap bungkusan kresek hitam dan wajah suamiku secara bergantian. seribu persen aku mengenali bau ini. ini bukan bau mie ayam, ini bau....bakso. hiks. aku nggak suka bau bakso. aku nggak doyan bakso.... suamiku sayang....masa iya kamu lupa hal ini? batinku ngeluh.
"tapi mas....anu...."
"kenapa dek?" tanya suamiku setelah mengetahui perubahan air mukaku.
"anu mas....itu...kok bau bakso ya?" tanyaku hati-hati.
"bau bakso? enggak lah, kan aku belinya mie ayam sayang..." jawab suamiku sambil mencubit kedua pipiku.
tapi mie ayam yang kuahnya pake kuah bakso ya mas? yang jualannya jadi satu sama bakso ya mas? bibirku mengerucut menahan sebal.
mengetahui diriku masih tetap diam di kursi, suamiku akhirnya berdiri menuju rak piring. diambilnya mangkok berserta sendok dan garpunya. sepertinya dia tidak peduli meliat ekspresi wajahku yang mulai eneg. dia tidak tahu bagaimana sulitnya bernapas lewat mulut seperti ini. hidungku sensitif sekali ketika membau hal beginian. perutku mulai mual. baunya sumpah....bikin mau muntah.
suamiku membuka kresek hitam di atas meja. di dalamnya ada bungkusan plastik warna bening yang isinya adalah kuah dan bungkusan kertas minyak yang isinya mie. dengan cekatan suamiku menyiapkan mie dan kuah. dicampurkannya juga kecap manis, saos, dan sambel serta acar dan sawi ke dalam mangkok. kemudian mengaduknya dengan sumringah.
suamiku sedang sakit ingatan kah?
bau di depan mataku sungguh membuatku ingin meluncur ke kamar mandi. ini bau bakso. bukan bau mie ayam. suamiku....lupa kalau aku tidak menyukainya. dalam hati rasanya mau nangis.
"ini....ayo dimakan" disodorkannya mangkok yang katanya mie ayam itu ke depan mataku. bau yang muncul sangat menyengat. ini bau kuah bakso. perutku mendadak mual.
aku mengamati mie ayam dengan enggan. aku tidak bisa memakannya, mas. aku mau muntah. ekspresi "tidak mau" sudah kutunjukkan. namun lelaki yang duduk manis sambil menebar senyum mautnya sama sekali tak peduli. malah dia menawarkan diri untuk menyuapiku.
"nggak usah mas...biar aku makan sendiri. hehehe" kataku sambil cengengesan.
masa iya aku kudu nolak pembelian suamiku, aku jadi istri durhaka nanti. maka dengan sepertiga hati, kupaksakan menyendok mie itu dan memasukkannya ke dalam mulutku
kerongkonganku sepertinya melakukan penolakan. telah terjadi sinkronisasi antara hidung, kerongkongan, dan perutku secara bersamaan. eneg seketika muncul dengan sangat cepat. sangat eneg. satu suapan yang kupaksa masuk ke dalam mulutku tak tersentuh oleh kerongkongan. gigiku gemeretak memaksa mengunyah. lidahku merasakan janggal. kerongkonganku tidak mau dimasuki. dan perutku akhirnya mengaduh.
"huoooookkkkkk............." satu suapan itu keluar lagi. jatuh di atas tangan kananku. dengan sigap tangan kiriku melambai pada suami untuk mengambilkan tisu yang berada tidak jauh dari jangakaunnya.
"dek!" suamiku kaget. secepat kilat dia mengambil tisu dan terduduk di sampingku.
"dek, kamu nggak apa-apa?" tanyanya panik.
"nggak apa-apa apanya?" seruku menahan mual yang masih sangat. aku menangis karena muntah, seperti biasanya. aku selalu menangis ketika gagal melahap sesuatu yang memang tidak kuinginkan. aku menangis histeris kali ini. suamiku jahat sekali.
suamiku bergegas menuangkan air putih. memintaku untuk segera minum.
"kamu jahat mas" kataku setelah berhasil meneguk satu gelas penuh air putih yang diambilkannya.
"maaf dek maaf"
"mas lupa ya kalau aku nggak bisa makan sembarang mie ayam? mas pasti beli mie ayam di tempat yang juga jualan bakso kan? itu kuah bakso mas. aku kan nggak bisa makan itu" ujar berapi-api sambil sesunggukan di depannya.
melihatku menangis sehisteris itu, suamiku mendekat. kedua tanganya menangkup wajahku, diusapnya air mataku yang meleleh.
"mas minta maaf...."
"mas nggak pernah lupa kalau adek nggak bisa makan sembarangan mie ayam. mas juga nggak lupa kalau adek ini nggak bisa makan daging selain ayam. mas nggak lupa kalau adek nggak bisa makan rawon, sate, masakan western, masakan jepang, bal bla bla. adek ini nggak makan daging. adek ini nggak mau makan mie ayam di tempat yang ada baksonya. mas nggak lupa tentang apa aja yang adek nggak bisa dan nggak mau makan"
"trus kenapa mas beliin aku mie ayam kaya' gitu tadi? seharusnya mas tahu ketika beli!!!"
"mas sengaja"
aku mengerutkan dahi.
"mas sengaja bikin kamu nangis di hari ke seratus kita menikah"
0 komentar:
Post a Comment