Melihat wajahmu untuk yang terakhir kali dalam momen prom tujuh tahun silam membuatku ingin tertawa sekaligus menangis. Tertawa karena kau mengejutkan banyak orang dengan menembakku dengan tak wajar, menyatakan cintamu di hadapan semua teman SMA dan para guru dengan menggunakan kostum pahlawan bertopeng, itu membuatku malu dan tertawa terpingkal-pingkal sampai mataku berair. Lalu menangis karena sesaat setelah prom berakhir kau menyeretku ke belakang panggung, tiba-tiba mengecup bibirku dan menyematkan sebuah cincin di jari manisku, satunya di jari manismu, katamu itu adalah perwakilanmu, wujudmu jika kau tak ada di sampingku.
Sekarang aku berdiri di depan gerbang pintu sekolah kita. Katamu dulu, kau memintaku datang setiap tahunnya di sana. Sebab siapa tahu kau bakal muncul dengan tiba-tiba dan membawa seikat besar bunga lily putih seperti yang kau janjikan padaku. Aku melakukannya, ini tahun ke tujuh aku melakukannya, dan menurutku itu adalah tindakan terkonyol dan paling bodoh yang pernah aku lakukan. Menunggu seseorang yang tak pernah pasti kapan dia pulang. Aku tersenyum getir, mengasihani diriku sendiri sebab percaya pada lelaki yang jelas tak pernah memberi kabar apapun selama ini.
Aku mendongak untuk melihat langit yang hampir memerah jingga. Huf, aku mendengus kesal. Sudah hampir maghrib dan akhirnya memang berujung seperti tahun-tahun sebelumnya, sia-sia. Aku menendang-nendang udara di hadapanku tepat ketika aku melihat siluet jingga di ufuk barat, menyembul dan menyilaukan. Tas tanganku terjatuh saking terkejutnya. Di depan sana, di seberang jalan raya aku melihat lelakiku, mirip lelakiku. Berkacak pinggang menebar senyum, namun tidak menenteng seikat atau bahkan setangkai lily putih. Ah, mataku merabun. Sekali lagi ku picingkan mataku, memeriksa kembali kalau-kalau terjadi kesalahan penglihatan.
Tidak, aku tidak salah lihat. Itu lelakiku, dengan setelan celana panjang hitam dan kemeja biru muda. Aku tidak salah lihat, sebab tak ada yang berubah dari postur tubuhnya yang tinggi tegap, hanya berbeda pada gaya berpakaian yang dulunya berkaos dan kelihatan ABG sekarang seperti eksekutif muda.
Dan kali ini tidak seperti drama-drama Korea yang bertemu kekasihnya di seberang jalan lalu saling menghampiri, mengacuhkan kendaraan yang lalu-lalang di depannya dan bertemu di tengah zebra cross lalu berpelukan. Tidak. Dia yang menghampiri wanitanya.
Dengan jarak sedekat ini aku bisa memastikan bahwa lelaki itu adalah lelakiku. Wajahnya yang bulat telur masih sama, bersih tanpa jerawat. Senyum lesung pipinya masih kentara saat bibir tipis pinknya tersenyum. Yang berbeda hanyalah kumis tipis yang menghiasi celah antara bibir dan hidungnya. Juga jenggot yang mulai membuatnya semakin terlihat dewasa.
Dia mendekatiku sampai jarak sejengkal hingga napasnya yang memburu berhasil ku dengar, hingga aroma parfumnya menyeruak ke dalam hidungku. Tanpa aba-aba dia langsung menyeretku dalam pelukannya. Aku yang masih separuh tak sadar akan kedatangannya sedikit tersengal.
"Nita....." dia menyebut namaku, dia memanggilku sambil mengelus kepalaku, mengusap-usap rambut sepinggangku.
"Oki...." suaraku bergetar menahan tangis
"iya....maafkan aku Nit, aku ham..." belum sempat dia melanjutkan katanya aku telah memotongnya dengan berondongan pertanyaan, membuatnya mulutnya menganga...
"kau jahat Ki. kenapa kau membiarkanku menunggu sesuatu yang tak pasti begini ? kenapa kau membiarkanku menggantung selama tujuh tahun ? kau tidak merasa bahwa tujuh tahun itu begitu lama Ki? bagaimana kalau aku memutuskan untuk menikah dengan or...." air mataku menetes.
"kau sudah menikah Nit?" Oki melepaskan pelukannya tiba-tiba, menatapku dengan penuh selidik.
"menurutmu?" jawabku dengan masih sesenggukan.
Aku menurunkan tangannya dari pinggangku, mencari alasan dengan berpura-pura melihat ke arah yang lain.
"Nit, katakan padaku bahwa kau belum menikah. Katakan !" Oki mengguncang-guncang bahuku, suaranya yang lantang membuatnya terlihat serius dan sedikit menakutkan.
Lalu ku ulurkan tangan kiriku, di sana masih tersemat cincin pemberian Oki yang sudah mengarat, pudar warna peraknya, maklum itu cincin palsu.
"aku pikir, aku tidak akan pernah melihatmu lagi. Namun entah mengapa cincin ini memberiku kekuatan besar agar aku....."
Dan Oki membuang napas lega lalu mengerang hingga aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. Dia memegang keningnya lalu menyisir rambutnya dan mengacak-acak tatanan rapi rambutnya, lalu memelukku lagi, kali ini sangat erat.
"aku pikir kau sudah menikah, Nit. Sia-sia donk aku balik dari Jerman kalau kenyataannya seperti itu?"
"kau ini, belajar di luar negeri tapi masih saja dungu. Bodoh. Kau pikir untuk apa aku datang ke sini setiap tahun? ha?"
"hehehehhe, maaf....." Oki terkekeh dan aku tersenyum puas telah mengatainya dungu seperti tujuh tahun lalu.
"Aku jadi teringat bagaimana si dungu menembak si juara kelas dengan kostum panglima bertopeng waktu prom. Hahahahahaha" aku tergelak, tertawa dalam pelukannya.
"ih...aku sudah tidak sedungu dulu kali" Oki mencibir.
"masih"
"gak"
"masih"
"gak"
"meski masih dungu, tapi aku tetap cinta"
Oki tersenyum mendengar kata cinta itu, senyum tipiis yang sangat mempesona, yang membuatku tak berdaya dalam pelukannya.
"mana lily putihnya?" tanyaku tiba-tiba.
"oh iya....lupa" oki menepuk jidatnya sendiri
Aku mendelik seakan-akan marah lalu membuang muka.
"terus...mana cincinmu?" aku memeriksa jari-jari Oki dan tak ku temukan apa-apa. Dahiku mengerut, bibirku naik sebelah.
"besok kita beli yang asli ya, Emas dua puluh empat karat. Yang itu kan sudah tak berwujud lagi" goda Oki padaku sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya sebagai tanda damai. Dan aku mencubit pinggangnya.
Tiba-tiba Oki terdiam, aku ikut diam. Lalu direnggangkannya pelukannya dan perlahan memiringkan kepalanya, matanya menatap bibirku, dan setelah itu....dunia menjadi milik kami berdua.
Aku berpikir bahwa aku tak akan pernah bisa melihatmu lagi, namun aku salah....
Cincin kita bereaksi seperti apa yang telah kita perkirakan sebelumnya....
0 komentar:
Post a Comment