Aku mencintaimu sejak kamu di situ...
Kelas - kelas kampus telah sepi, hanya tersisa beberapa mahasiswa yang tengah duduk menekuri laptopnya di lantai dua, di dudukan santai yang menghadap ke jendela yang mengarah langsung ke gugusan senja yang menghampar di langit barat Surabaya.
Gadis itu masih bersedekap menyilangkan kedua tangannya di pinggiran jendela. Matanya sayu menatap langit. Kosong. Sesekali mengusap kulit tangannya sendiri untuk mengusir dingin yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Tubuhnya sedang tak bersahabat. Kepalanya pusing. Pandangan matanya sedikit mengabur, dan tak jarang dikucek-kuceknya matanya yang memang tampak baik-baik saja meskipun bagian lainnya sedang tidak.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka, terdobrak lengan kokoh seorang pria yang tak asing baginya. Bunyi debamnya bersahutan dalam ruang kelas yang hanya ditinggali gadis itu. Tubuhnya yang tinggi berisi membuat Lala tidak memerlukan waktu lama untuk mengenali siapa dia. Kafka. Lelaki itu menatapnya tajam. Rahangnya mengeras. Digigitnya bibir bawahnya. Tangannya mengepal. Dadanya kembang kempis. Pekat bola mata kecoklatan itu tampak menakutkan. Napasnya memburu langkah kakinya sendiri. Kafka menghampiri Lala dengan gemas. Lalu dicengkeramnya kerah leher gadis itu, dan tanpa disadarinya telah membuat gadis itu sedikit tersengal, sesak.
"Ka !!!! Lala terkejut dengan tindakan tiba-tiba Kafka yang membuatnya jantungnya hampir melompat dari tempatnya berada.
"Ka....kau mau membunuhku, lepaskan!" Lala berusaha melepaskan tangan kokoh Kafka dari kerah bajunya.
Kafak bergeming. Ditatapnya mata gadis itu dengan gusar.
"Ya, aku memang mau membunuhmu!"
"Apa salahku Ka?"
"Salahmu?? kau adalah wanita paling bodoh yang pernah aku temui. Itu adalah salahmu"
"Maksudmu?"
"hentikan mengejar laki-laki brengsek itu! Putuskan dia!"
"Ka?" Lala mengiba.
"aku bilang hentikan La! Dio itu laki-laki brengsek. Kamu tuh buta! rabun senja! cewek paling tolol yang pernah aku temui. Sudah berapa kali kau diselingkuhi Dio? Ha????" Kafka memukul tembok di samping kanan kepala Lala. Membuat mata gadis itu refleks terpejam. Kafka tak dapat menahan emosinya. Dicengkeramnya tangannya sendiri sampai buku-buku jarinya memutih.
Lala terdiam...dan tiba-tiba terisak. Bulir air mata menetes ke pipinya yang bersih. Dialihkanyya pandang matanya dari Kafka, mencoba berpaling ke arah lain yang membawanya jauh dari mata kesetanan laki-laki itu.
Saat menyadari Lala menangis, Kafka merenggangkan cengkeramannya. Dilihatnya mata gadis itu begitu merah, lingkaran matanya tampak menghitam. Wajahnya kusut. Senyumnya menghilang. Lalu diraihnya dagu runcing Lala.
"kamu terlalu banyak menangis La, aku kehilangan Lala yang dulu" Suara Kafka melirih, berubah lembut.
Ditundukkannya pandangannya ke arah lantai-lantai di bawah sana. Seperti sedang berbicara pada mereka.
"La, aku tuh cuma gamau kamu menangis kaya' gini gara-gara Dio. Penting ta La menangisi laki-laki yang tak pernah menangisimu? yang tak pernah menganggapmu ada? Percuma La"
Lala hanya terdiam. Dilihatnya mata Kafka yang telah berubah teduh, berubah hangat. Lalu berpaling lagi menghindari mata Kafka.
"lihat aku La" Kafka merintih.
"Aku mencintainya Ka" ucap Lala setengah berbisik. Kepala Kafka mendongak. Diaturnya napasnya sendiri yang memang sulit diatur.
"Cinta?" Kafka mengerutkan dahinya. Tersenyum getir. Dibuangnya wajahnya dari Lala. Menendang - nendang kursi di depannya hingga menimbulkan bunyi debam yang menakutkan.
"Ka!!! kamu kenapa sich?" Dilihatnya raut wajah Kafka berubah lagi, kesetanan. Matanya merah menahan amarahnya sendiri. Lalu dihampirinya lagi Lala. Lubang hidungnya bergerak mengembang kempis. Dipukulnya lagi tembok samping kepala Lala. Diacung-acungkannya jari telunjuknya mengarah pada hidung gadis yang tengah ketakutan itu.
"Kamu tuh....kamu tuh buta La. Kamu buta. Kamu tuh gak peka. Gak bisa melihatku. Gak bisa melihat bagaimana aku mencintaimu, bagaimana aku menunggumu, bagaimana aku sering memperhatikanmu, bagaimana aku jatuh bangun kesakitan saat melihatmu bermesraan dengan lelaki brengsek macam Dio, bagaimana...archhhh" Kafka sendiri tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya. Dipukulnya lagi tembok samping kepala Lala dengan gemas. Sedang Lala sendiri tak kalah terkejutnya, dibekapnya mulutnya sendiri. Matanya membelalak tak percaya dengan apa yang Kafka katakan.
"aku tuh mencintaimu sejak kamu di situ, sejak kita masih pakai seragam ospek...." mata Kafka merah, berair. Kafka menangis. Dadanya turun naik tak beraturan. Dilihatnya lelaki itu menyembunyikan wajahnya dari Lala, dari tatap mata gadis itu. Lalu disentuhnya pundak Kafka dengan lembut. Diusapnya dengan halus.
Entah darimana datangnya keberanian itu, tiba-tiba diraihnya secara paksa kepala Lala. Lalu dilumatnya dengan kasar bibir mungil gadis itu. Lala memberontak. Dipukul-pukulnya tangan Kafka yang tengah mencengkeram kuat kepalanya. Lala tersedak, napasnya satu-satu, matanya berkilat. Sementara Kafka semakin buas, tidak menggubris Lala yang hampir kehilangan napas. Dipagutnya tanpa henti bibir gadis itu sampai dia terpaksa menggigit bibir Kafka agar melepaskan ciumannya.
"Arch...." Kafka mengerang, memicingkan mata, disentuhnya ujung bibirnya yang sakit.
Plakkkkkkkk. Wajah Kafka terpelanting ke kiri. Gambar tangan membekas di sana. Merah.
Dilihatnya Lala telah menangis. Matanya merah marah. Napasnya masih satu-satu. Dicengkeramnya dengan kuat jari-jarinya sendiri.
"kalau kau mencintaiku, kau tak akan pernah melakukan tindakan gila seperti ini!"
Lala berlari keluar kelas. Meninggalkan Kafka yang masih berdiri di tempatnya...
"maaf La...aku tak menyangka bakal melakukan sejauh itu. aku mencintaimu" Kafka terjatuh, lutunya bersentuhan dengan lantai, sakit.
dan seharusnya cinta tak seperti ini....
Kelas - kelas kampus telah sepi, hanya tersisa beberapa mahasiswa yang tengah duduk menekuri laptopnya di lantai dua, di dudukan santai yang menghadap ke jendela yang mengarah langsung ke gugusan senja yang menghampar di langit barat Surabaya.
Gadis itu masih bersedekap menyilangkan kedua tangannya di pinggiran jendela. Matanya sayu menatap langit. Kosong. Sesekali mengusap kulit tangannya sendiri untuk mengusir dingin yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Tubuhnya sedang tak bersahabat. Kepalanya pusing. Pandangan matanya sedikit mengabur, dan tak jarang dikucek-kuceknya matanya yang memang tampak baik-baik saja meskipun bagian lainnya sedang tidak.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka, terdobrak lengan kokoh seorang pria yang tak asing baginya. Bunyi debamnya bersahutan dalam ruang kelas yang hanya ditinggali gadis itu. Tubuhnya yang tinggi berisi membuat Lala tidak memerlukan waktu lama untuk mengenali siapa dia. Kafka. Lelaki itu menatapnya tajam. Rahangnya mengeras. Digigitnya bibir bawahnya. Tangannya mengepal. Dadanya kembang kempis. Pekat bola mata kecoklatan itu tampak menakutkan. Napasnya memburu langkah kakinya sendiri. Kafka menghampiri Lala dengan gemas. Lalu dicengkeramnya kerah leher gadis itu, dan tanpa disadarinya telah membuat gadis itu sedikit tersengal, sesak.
"Ka !!!! Lala terkejut dengan tindakan tiba-tiba Kafka yang membuatnya jantungnya hampir melompat dari tempatnya berada.
"Ka....kau mau membunuhku, lepaskan!" Lala berusaha melepaskan tangan kokoh Kafka dari kerah bajunya.
Kafak bergeming. Ditatapnya mata gadis itu dengan gusar.
"Ya, aku memang mau membunuhmu!"
"Apa salahku Ka?"
"Salahmu?? kau adalah wanita paling bodoh yang pernah aku temui. Itu adalah salahmu"
"Maksudmu?"
"hentikan mengejar laki-laki brengsek itu! Putuskan dia!"
"Ka?" Lala mengiba.
"aku bilang hentikan La! Dio itu laki-laki brengsek. Kamu tuh buta! rabun senja! cewek paling tolol yang pernah aku temui. Sudah berapa kali kau diselingkuhi Dio? Ha????" Kafka memukul tembok di samping kanan kepala Lala. Membuat mata gadis itu refleks terpejam. Kafka tak dapat menahan emosinya. Dicengkeramnya tangannya sendiri sampai buku-buku jarinya memutih.
Lala terdiam...dan tiba-tiba terisak. Bulir air mata menetes ke pipinya yang bersih. Dialihkanyya pandang matanya dari Kafka, mencoba berpaling ke arah lain yang membawanya jauh dari mata kesetanan laki-laki itu.
Saat menyadari Lala menangis, Kafka merenggangkan cengkeramannya. Dilihatnya mata gadis itu begitu merah, lingkaran matanya tampak menghitam. Wajahnya kusut. Senyumnya menghilang. Lalu diraihnya dagu runcing Lala.
"kamu terlalu banyak menangis La, aku kehilangan Lala yang dulu" Suara Kafka melirih, berubah lembut.
Ditundukkannya pandangannya ke arah lantai-lantai di bawah sana. Seperti sedang berbicara pada mereka.
"La, aku tuh cuma gamau kamu menangis kaya' gini gara-gara Dio. Penting ta La menangisi laki-laki yang tak pernah menangisimu? yang tak pernah menganggapmu ada? Percuma La"
Lala hanya terdiam. Dilihatnya mata Kafka yang telah berubah teduh, berubah hangat. Lalu berpaling lagi menghindari mata Kafka.
"lihat aku La" Kafka merintih.
"Aku mencintainya Ka" ucap Lala setengah berbisik. Kepala Kafka mendongak. Diaturnya napasnya sendiri yang memang sulit diatur.
"Cinta?" Kafka mengerutkan dahinya. Tersenyum getir. Dibuangnya wajahnya dari Lala. Menendang - nendang kursi di depannya hingga menimbulkan bunyi debam yang menakutkan.
"Ka!!! kamu kenapa sich?" Dilihatnya raut wajah Kafka berubah lagi, kesetanan. Matanya merah menahan amarahnya sendiri. Lalu dihampirinya lagi Lala. Lubang hidungnya bergerak mengembang kempis. Dipukulnya lagi tembok samping kepala Lala. Diacung-acungkannya jari telunjuknya mengarah pada hidung gadis yang tengah ketakutan itu.
"Kamu tuh....kamu tuh buta La. Kamu buta. Kamu tuh gak peka. Gak bisa melihatku. Gak bisa melihat bagaimana aku mencintaimu, bagaimana aku menunggumu, bagaimana aku sering memperhatikanmu, bagaimana aku jatuh bangun kesakitan saat melihatmu bermesraan dengan lelaki brengsek macam Dio, bagaimana...archhhh" Kafka sendiri tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya. Dipukulnya lagi tembok samping kepala Lala dengan gemas. Sedang Lala sendiri tak kalah terkejutnya, dibekapnya mulutnya sendiri. Matanya membelalak tak percaya dengan apa yang Kafka katakan.
"aku tuh mencintaimu sejak kamu di situ, sejak kita masih pakai seragam ospek...." mata Kafka merah, berair. Kafka menangis. Dadanya turun naik tak beraturan. Dilihatnya lelaki itu menyembunyikan wajahnya dari Lala, dari tatap mata gadis itu. Lalu disentuhnya pundak Kafka dengan lembut. Diusapnya dengan halus.
Entah darimana datangnya keberanian itu, tiba-tiba diraihnya secara paksa kepala Lala. Lalu dilumatnya dengan kasar bibir mungil gadis itu. Lala memberontak. Dipukul-pukulnya tangan Kafka yang tengah mencengkeram kuat kepalanya. Lala tersedak, napasnya satu-satu, matanya berkilat. Sementara Kafka semakin buas, tidak menggubris Lala yang hampir kehilangan napas. Dipagutnya tanpa henti bibir gadis itu sampai dia terpaksa menggigit bibir Kafka agar melepaskan ciumannya.
"Arch...." Kafka mengerang, memicingkan mata, disentuhnya ujung bibirnya yang sakit.
Plakkkkkkkk. Wajah Kafka terpelanting ke kiri. Gambar tangan membekas di sana. Merah.
Dilihatnya Lala telah menangis. Matanya merah marah. Napasnya masih satu-satu. Dicengkeramnya dengan kuat jari-jarinya sendiri.
"kalau kau mencintaiku, kau tak akan pernah melakukan tindakan gila seperti ini!"
Lala berlari keluar kelas. Meninggalkan Kafka yang masih berdiri di tempatnya...
"maaf La...aku tak menyangka bakal melakukan sejauh itu. aku mencintaimu" Kafka terjatuh, lutunya bersentuhan dengan lantai, sakit.
dan seharusnya cinta tak seperti ini....
0 komentar:
Post a Comment