suatu saat, cinta itu pernah ada. Dan aku melihatnya pergi tanpa sempat ku cegah sama sekali....
Dulu, sering ku dapati bayangku sendiri dalam pekat bola mata kecoklatan itu. Di sana, terhampar luas padang masa depan yang kau janjikan padaku. Bersama kita bisa. Berdua kita lakukan segalanya. Tentang mimpi, harapan, dan semua cita yang kita inginkan, yang kita tuliskan dalam masing-masing lembar kertas lusuh dan kita kubur bersama kotak kecil di bawah pohon akasia belakang rumahku. Masih ingat ?
Lalu sekarang, ku jelajahi bola mata indah itu lagi. Aku tak menemukan sejumput bayangku menggantung di sana. Tak lagi terlukis diriku dan mimpi-mimpi kita di sana. Yang aku lihat hanya binar keraguan dan ketakutan di sana. Ada apa ?
Dan kau hanya menggeleng, berusaha menyembunyikan kilat matamu dariku.
Dan diam menjadi satu-satunya jalan di antara kita. Geming. Canggung. Semua menjadi kaku. Tak ada lagi gurau dan sapaan manja yang biasa terlontar dari bibir tipismu. Tak ada lagi senyum yang melenggang bebas di hadapanku seperti enam bulan lalu. Aku melihat perubahanmu sejak sejam lalu. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan.
Hatiku mencelos, dadaku naik turun bergemuruh. Mataku memburam. Genang air mata menutupi penglihatanku saat undangan pernikahan itu kau sodorkan padaku. Di bawah sinar lampu minyak yang agak remang aku masih bisa melihatnya, Sekilas, aku mampu menangkap namamu tertulis di sana. Rio Dewanta..... aku menggeser undangan itu segera menjauhi mataku, sebab aku tak mau melihatnya. Aku membuang muka. Berusaha menyembunyikan lelehan tangisku yang telah menetes di pipi. Sebuah penghianatan memang benar terjadi.
"maafkan aku Bel...." Rio berusaha meraih tanganku, namun segera aku menepisnya.
"jangan menyentuhku !" bentakku, aku menatapmu tajam, aku merasakaan aroma kebencian menyeruak di dalam dadaku, tiba-tiba aku muak berada di hadapanmu.
"laki-laki brengsek! kau menipuku! selama ini jadinya aku sia-sia saja menunggumu?" napasku memburu...."aku telah menutup mataku dari pria lain dan membiarkan diriku sendiri hanyut dalam penantian, pengharapan akan dirimu kembali padaku dan....meminangku dengan segera. Namun ternyata....." air mataku meleleh lagi.
"dia hamil...." Rio menunduk, menyembunyikan matanya, lagi.
Seperti ada palu besar yang tiba-tiba jatuh di depan matamu, menghantam seluruh benda apapun yang ada di sana, menghancurkan dan tidak menyisakan wujud aslinya sama sekali.
Jantungku hampir melompat turun, entah mau terjungkal dan jatuh ke dalam perutku, kalau mampu. atau mau melompat ke luar dari rongga dadaku, kalau bisa. Ini di luar kendaliku.
Plakkkkkkkkkkk
"bajingan!" aku menampar keras wajahnya, sampai terlihat tulang pipinya memerah.
"dengarkan dulu penjelasanku Bel...." Rio mengiba, berusaha meraih tanganku. Tapi, aku menepisnya dengan segera.
"penjelasan apa lagi Ri? kau tahu, betapa susah dan membosankannya menunggu? ha?" aku membentaknya
"aku tahu...maafkan aku Bel, ini juga di luar kehendakku..."
"tidur dengan wanita lain sampai hamil begitu di luar kehendakmu? lalu kehendak siapa?" aku berteriak di hadapannya. Meremas-remas jariku sendiri. Mengepalkannya sampai buku-bukunya memutih.
"aku tidak sadar Bel....saat itu aku berada di bawah pengaruh alkohol"
"apa? alkohol? kamu minum Ri? sejak kapan? Ya Tuhan....." aku meremas kerah bajuku sendiri, menahan getir yang melanda dadaku, menahan sakit yang menusuk-nusuk, membuat nyeri.
"aku stres Bel..."
"stres? kamu stres dan lari ke alkohol dan wanita? kau tidak mengingatku sama sekali Ri, kau tidak mengingat Tuhan?" aku menggigit bibir bawahku, berusaha tak percaya pada apa yang baru saja aku katakan.
"maafkan aku Bel...sudah ku katakan itu di luar kehendakku, aku tidak sadar. Teman kerjaku itu hamil, dan dia memintaku untuk menikahinya. Dia mendatangi orang tuaku. Jadi aku tak bisa menolaknya Bel....aku bingung, sedang aku masih mencintaimu" Cinta? Shit.
Kami terdiam. Terdiam beberapa saat. Aku berusaha menenangkan pikiranku. Berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang dia katakan. Aku hanya bisa menggeleng saat pening mendera kepalaku. Ini sangat menyakitkan. Aku mencintainya, sampai rela menunggu, menunggu, menunggu dia datang kembali padaku dan meyakinkan lagi cintanya. Gadis bodoh, umpatku dalam hati.
Kembali ku putar memori enam bulan lalu saat Rio datang menemui orang tuaku dan berjanji untuk menikahiku. Lalu tiga bulan berikutnya aku kehilangan kontak dengannya, aku tak bisa menghubunginya. Jakarta-Bogor kenapa jadi begitu jauh? Dan yang aku pikirkan hanyalah tentang dia dan pekerjaannya yang menumpuk, sibuk. Aku berpikiran positif. Namun, naluri seorang wanita tak pernah salah. Ada yang berubah di sini. Dan ada kebohongan di sana, aku tahu.
Tiba-tiba saja kau berdiri dan terduduk di bawah lututku. Kau menarik tanganku. Menciumnya sambil menangis.
"aku minta maaf Bella...sebenarnya aku tak punya niat untuk mneyakitimu, hanya saja...."
"kau mencintainya Ri?" tanyaku sambil sesenggukan. Rio mendongak, menangkap mataku yang basah.
"jujur Ri....."
Aku melihat kegusaran di matanya.
"yang pasti, aku tak bisa meninggalkannya Bel...." sahut Rio dengan sesenggukan. Plakkkkk. Kenyataan itu menampar wajahku sendiri. Panas. Sakit. Aku tahu, ada affair di antara Rio dan wanita itu meskipun Rio tak mengatakannya. Tak bisa meninggalkannya adalah pemaknaan dari cinta. Bukan seperti itu Ri? Kalau kau mencintaiku, kau tidak akan melakukan ini padaku Ri......Kau mencintainya Ri, aku tahu...matamu tak bisa berbohong. Di matamu sudah tak lagi ku temukan gambarku. Sudah tak ada ruang di sana untukku. Aku ingin berkata jangan, tidak Ri, jangan menikahi dia, aku mencintaimu, aku tak bisa hidup tanpamu. Aku ingin menolak ini dengan keras. Ini tidak adil. Kau bayar kesetiaanku dengan ini?
Namun...segalanya telah terjadi dan semua kisah cinta kita dulu tak berarti lagi, di matamu. Aku tak bisa mencegah ini....Tuhan.
"pergilah......" aku membuang muka, menatap kemerlap lampu-lampu di bawah sana yang berkedip seperti bintang di angkasa. Dan membiarkan air mataku menetes tanpa suara. Tenggorokanku sakit, tercekat menahan isak tangisku sendiri.
"Bel....." rio mengusap punggung tanganku.
"pergi!" aku melepas paksa tanganku dari genggamannya.
"maafkan aku...." katanya sebelum beringsut dari duduknya dan melangkah keluar teras rumahku
Dan akhirnya kamu pergi, perlahan punggungmu mengecil dan mulai menghilang dari pandanganku. Aku tak bisa berpikir apa-apa. Ini terlalu mengejutkan. Ini di luar kendaliku, di luar perkiraanku. Ini jauh dari jangkauanku.
Kau tahu bagaimana rasanya dihianati ? rasanya bagaimana jika proses penantianmu sia-sia saja? dan yang sangat menyakitkan adalah saat kau tahu lelaki pilihanmu telah berkencan dengan wanita lain dan yang parah adalah membuatnya hamil dan harus menikahinya. Aku tidak mampu berpikir lagi sebab ini sangat menyakitkan, sampai aku tak bisa berkata-kata lagi.
dan akhirnya, aku melihat cinta itu pergi tanpa sempat ku cegah sama sekali....
Dulu, sering ku dapati bayangku sendiri dalam pekat bola mata kecoklatan itu. Di sana, terhampar luas padang masa depan yang kau janjikan padaku. Bersama kita bisa. Berdua kita lakukan segalanya. Tentang mimpi, harapan, dan semua cita yang kita inginkan, yang kita tuliskan dalam masing-masing lembar kertas lusuh dan kita kubur bersama kotak kecil di bawah pohon akasia belakang rumahku. Masih ingat ?
Lalu sekarang, ku jelajahi bola mata indah itu lagi. Aku tak menemukan sejumput bayangku menggantung di sana. Tak lagi terlukis diriku dan mimpi-mimpi kita di sana. Yang aku lihat hanya binar keraguan dan ketakutan di sana. Ada apa ?
Dan kau hanya menggeleng, berusaha menyembunyikan kilat matamu dariku.
Dan diam menjadi satu-satunya jalan di antara kita. Geming. Canggung. Semua menjadi kaku. Tak ada lagi gurau dan sapaan manja yang biasa terlontar dari bibir tipismu. Tak ada lagi senyum yang melenggang bebas di hadapanku seperti enam bulan lalu. Aku melihat perubahanmu sejak sejam lalu. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan.
Hatiku mencelos, dadaku naik turun bergemuruh. Mataku memburam. Genang air mata menutupi penglihatanku saat undangan pernikahan itu kau sodorkan padaku. Di bawah sinar lampu minyak yang agak remang aku masih bisa melihatnya, Sekilas, aku mampu menangkap namamu tertulis di sana. Rio Dewanta..... aku menggeser undangan itu segera menjauhi mataku, sebab aku tak mau melihatnya. Aku membuang muka. Berusaha menyembunyikan lelehan tangisku yang telah menetes di pipi. Sebuah penghianatan memang benar terjadi.
"maafkan aku Bel...." Rio berusaha meraih tanganku, namun segera aku menepisnya.
"jangan menyentuhku !" bentakku, aku menatapmu tajam, aku merasakaan aroma kebencian menyeruak di dalam dadaku, tiba-tiba aku muak berada di hadapanmu.
"laki-laki brengsek! kau menipuku! selama ini jadinya aku sia-sia saja menunggumu?" napasku memburu...."aku telah menutup mataku dari pria lain dan membiarkan diriku sendiri hanyut dalam penantian, pengharapan akan dirimu kembali padaku dan....meminangku dengan segera. Namun ternyata....." air mataku meleleh lagi.
"dia hamil...." Rio menunduk, menyembunyikan matanya, lagi.
Seperti ada palu besar yang tiba-tiba jatuh di depan matamu, menghantam seluruh benda apapun yang ada di sana, menghancurkan dan tidak menyisakan wujud aslinya sama sekali.
Jantungku hampir melompat turun, entah mau terjungkal dan jatuh ke dalam perutku, kalau mampu. atau mau melompat ke luar dari rongga dadaku, kalau bisa. Ini di luar kendaliku.
Plakkkkkkkkkkk
"bajingan!" aku menampar keras wajahnya, sampai terlihat tulang pipinya memerah.
"dengarkan dulu penjelasanku Bel...." Rio mengiba, berusaha meraih tanganku. Tapi, aku menepisnya dengan segera.
"penjelasan apa lagi Ri? kau tahu, betapa susah dan membosankannya menunggu? ha?" aku membentaknya
"aku tahu...maafkan aku Bel, ini juga di luar kehendakku..."
"tidur dengan wanita lain sampai hamil begitu di luar kehendakmu? lalu kehendak siapa?" aku berteriak di hadapannya. Meremas-remas jariku sendiri. Mengepalkannya sampai buku-bukunya memutih.
"aku tidak sadar Bel....saat itu aku berada di bawah pengaruh alkohol"
"apa? alkohol? kamu minum Ri? sejak kapan? Ya Tuhan....." aku meremas kerah bajuku sendiri, menahan getir yang melanda dadaku, menahan sakit yang menusuk-nusuk, membuat nyeri.
"aku stres Bel..."
"stres? kamu stres dan lari ke alkohol dan wanita? kau tidak mengingatku sama sekali Ri, kau tidak mengingat Tuhan?" aku menggigit bibir bawahku, berusaha tak percaya pada apa yang baru saja aku katakan.
"maafkan aku Bel...sudah ku katakan itu di luar kehendakku, aku tidak sadar. Teman kerjaku itu hamil, dan dia memintaku untuk menikahinya. Dia mendatangi orang tuaku. Jadi aku tak bisa menolaknya Bel....aku bingung, sedang aku masih mencintaimu" Cinta? Shit.
Kami terdiam. Terdiam beberapa saat. Aku berusaha menenangkan pikiranku. Berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang dia katakan. Aku hanya bisa menggeleng saat pening mendera kepalaku. Ini sangat menyakitkan. Aku mencintainya, sampai rela menunggu, menunggu, menunggu dia datang kembali padaku dan meyakinkan lagi cintanya. Gadis bodoh, umpatku dalam hati.
Kembali ku putar memori enam bulan lalu saat Rio datang menemui orang tuaku dan berjanji untuk menikahiku. Lalu tiga bulan berikutnya aku kehilangan kontak dengannya, aku tak bisa menghubunginya. Jakarta-Bogor kenapa jadi begitu jauh? Dan yang aku pikirkan hanyalah tentang dia dan pekerjaannya yang menumpuk, sibuk. Aku berpikiran positif. Namun, naluri seorang wanita tak pernah salah. Ada yang berubah di sini. Dan ada kebohongan di sana, aku tahu.
Tiba-tiba saja kau berdiri dan terduduk di bawah lututku. Kau menarik tanganku. Menciumnya sambil menangis.
"aku minta maaf Bella...sebenarnya aku tak punya niat untuk mneyakitimu, hanya saja...."
"kau mencintainya Ri?" tanyaku sambil sesenggukan. Rio mendongak, menangkap mataku yang basah.
"jujur Ri....."
Aku melihat kegusaran di matanya.
"yang pasti, aku tak bisa meninggalkannya Bel...." sahut Rio dengan sesenggukan. Plakkkkk. Kenyataan itu menampar wajahku sendiri. Panas. Sakit. Aku tahu, ada affair di antara Rio dan wanita itu meskipun Rio tak mengatakannya. Tak bisa meninggalkannya adalah pemaknaan dari cinta. Bukan seperti itu Ri? Kalau kau mencintaiku, kau tidak akan melakukan ini padaku Ri......Kau mencintainya Ri, aku tahu...matamu tak bisa berbohong. Di matamu sudah tak lagi ku temukan gambarku. Sudah tak ada ruang di sana untukku. Aku ingin berkata jangan, tidak Ri, jangan menikahi dia, aku mencintaimu, aku tak bisa hidup tanpamu. Aku ingin menolak ini dengan keras. Ini tidak adil. Kau bayar kesetiaanku dengan ini?
Namun...segalanya telah terjadi dan semua kisah cinta kita dulu tak berarti lagi, di matamu. Aku tak bisa mencegah ini....Tuhan.
"pergilah......" aku membuang muka, menatap kemerlap lampu-lampu di bawah sana yang berkedip seperti bintang di angkasa. Dan membiarkan air mataku menetes tanpa suara. Tenggorokanku sakit, tercekat menahan isak tangisku sendiri.
"Bel....." rio mengusap punggung tanganku.
"pergi!" aku melepas paksa tanganku dari genggamannya.
"maafkan aku...." katanya sebelum beringsut dari duduknya dan melangkah keluar teras rumahku
Dan akhirnya kamu pergi, perlahan punggungmu mengecil dan mulai menghilang dari pandanganku. Aku tak bisa berpikir apa-apa. Ini terlalu mengejutkan. Ini di luar kendaliku, di luar perkiraanku. Ini jauh dari jangkauanku.
Kau tahu bagaimana rasanya dihianati ? rasanya bagaimana jika proses penantianmu sia-sia saja? dan yang sangat menyakitkan adalah saat kau tahu lelaki pilihanmu telah berkencan dengan wanita lain dan yang parah adalah membuatnya hamil dan harus menikahinya. Aku tidak mampu berpikir lagi sebab ini sangat menyakitkan, sampai aku tak bisa berkata-kata lagi.
dan akhirnya, aku melihat cinta itu pergi tanpa sempat ku cegah sama sekali....
2 komentar:
bulshiiit,,,Cinta bulshit. cinta itu bak wanita jalang, begitu cepat datang dan pergi. benar kata maqius de sade. jika kau mengenal cinta, becara langsung kau meenjalangkan dirimu. fuck.
eitz, kenapa aku jadi bahas cinta? hmm,,,ya emng itu mata pelajaranku, gtu kok repot
anjing we. keterlaluan !
Post a Comment