Pagi sudah menyapa dunia ketika Karenina masih sibuk dalam tidurnya. Tidak ada resah sama sekali ketika didapatinya mentari telah menyembul dari celah – celah dinding kayu rumahnya. Yang ada malah semakin dirapatkannya selimut rumah sakit -garis hitam putih- untuk menutupi kepalanya yang terus berdenyut tanpa kompromi sejak semalam tadi. Didengarnya suara ibunya di belakang sana memanggil – manggil namanya namun Karenina tetap bergeming, meringkuk tanpa gerak. “Ninaaaaaaaaa”.
Dia hanya mau menenangkan diri sebentar saja, melepaskan penat yang sehari kemarin benar – benar menguras tenaganya. Namun suara ibunya sayup – sayup mulai mendekat ke ujung pintu kamar tidurnya yang hanya ditutupi kelambu.
“Ya Allah….anak perawan jam segini belum bangun ? Subuh nak, sholat subuh. Matahari sudah naik tuh” ibunya kini telah berdiri di ambang pintu sambil membawa panci sayurnya, didekatinya anak semata wayangnya itu. ditaruhnya panci di atas meja belajar Nina.
“sakit nduk ?” ibunya berusaha mengintip wajah Nina, disibakkannya sedikit ujung selimutnya. Lalu diperiksanya kening anaknya itu.
Nina melenguh “iya bu, pusing.” Melihat wajah anaknya yang memang sedikit pucat, ibu Nina segera berdiri dan tidak melanjutkan pertanyaan lain.
“ya sudah, sholat dulu ya nduk. Habis itu tidur lagi” Lalu ditinggalkannya anak gadisnya yang tak bergerak sama sekali namun ternyata sudut mata bulatnya telah mengembun, basah.
***
Dilihatnya jam dinding kamarnya menunjuk angka 05.20 dan Nina belum sholat subuh. Apa Kau mau menerima shalatku, Tuhan ? Nina bertanya sendiri dalam hatinya. Mendengus pelan.
Lalu diseretnya kaki yang masih kaku itu keluar kamar, melewati ruang tengah, dapur, dan berhenti pada kamar mandi. Dibukanya penutup padasan –tempat air wudlu yang terbuat dari gentong- itu dengan lemah. Ditariknya tiba – tiba ujung jarinya yang telah menyentuh air. Tubuhnya menegang ketika air yang menyentuh kulitnya ternyata sangat dingin.
Dimulainya ritual wudlu itu dengan kilat, dia tak tahan harus lama – lama bersentuhan dengan air es itu. Dan sehabis wudlu tubuhnya memang bereaksi negatif, dia menggigil sampai giginya mengeluarkan bunyi gemeretak. Tidak biasanya air ini begitu dingin, padahal ini juga matahari sudah agak naik, sudah tidak gelap, dan rasanya embun juga sudah menghilang dan hanya menyisakan tetesan di atas dedaunan saja.
Ruang shalat itu kecil, hanya berukuran 3x2 namun bersih. Terletak di antara kamar tidur ibu dan dia. Ruang shalat yang kadang dijadikannya tempat curhat bersama ibu sehabis shalat berjama’ah, tapi itu dulu sebelum Nina bersekolah di kota yang mengharuskannya kos. Maklum, jarak antara rumah dan kosnya begitu jauh. Jadi, mau tidak mau dia harus kos.
Di sisi kanan terdapat gantungan mukena, di kirinya berjejer Al – Qur’an dan kitab – kitab kuning yang pernah dipelajarinya semasa SMP dulu di masjid dekat rumahnya. Dipandanginya sejenak kitab – kitab itu, perasaan sedih menyerang ketika jemarinya berhasil menyentuh mereka. Apakah semua yang aku pelajari sia – sia, Tuhan ? lalu segera disambarnya mukena miliknya dan mulai menunaikan dua rakaat subuhnya sebelum matahari benar – benar memperingatkan paginya.
Nina masih bersujud. Tenggorokannya sakit menahan tangisnya sendiri. Dia tidak mau tangisnya sampai terdengar oleh telinga ibunya yang sedang berada di luar sana. Digenggamnya kuat jemari mungilnya sampai memutih, dipukul – pukulkan ke lantai tanah yang terdiam di bawahnya.
Nina mengutuk dirinya sendiri, juga mengutuk hidupnya, yang tidak punya ayah, yang tidak punya apa – apa, yang tidak punya…uang. Masih jelas diingatannya ketika siang tadi dia mendatangi ruang BK untuk melihat hasil pengumuman PMDK beasiswanya di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Tubuhnya lemas ketika dilihatnya tak ada nama Karenina Wijaya di sana. Harapan satu – satunya melayang begitu saja. Tak ada uang, tak ada masa depan. Pikirnya. Dia ingin menangis saat itu juga. Di sana. Namun, rasa gengsi yang tinggi menghalanginya. Karenina Wijaya yang lincah, ceria, pemberani, angkuh menangis di hadapan orang ? tidak. Tak semudah itu aku akan menangis.
Andai saja aku punya ayah, tidak akan mungkin aku hidup seperti ini. paling tidak, dialah yang akan berjuang keras menyekolahkanku, membiayai semua kebutuhanku, bukan ibu yang lemah itu, wanita super yang tak pernah memperlihatkan kelemahan di hadapan putri tunggalnya itu.
Namun, pertanyaan ini sering bergelut dalam otak Nina. Kemana sebenarnya ayahnya ? ibu bilang meninggal, namun dia tak pernah tahu dimana dia dimakamkan. Setiap Nina membuka pertanyaan tentang ayah, ibu selalu menjawab dengan senyum “ayah kamu meninggal di laut, kapal yang dia tumpangi terguling dan jasadnya tidak pernah ditemukan”
Nina tersenyum kecut pada dirinya sendiri. Namun, malam tadi tangisnya memuncak sampai kepalanya sakit dan berlanjut subuh ini. Setelah itu dia tertidur di sana sampai matahari tengah dalam perjalanannya.
Bersambung...
Dia hanya mau menenangkan diri sebentar saja, melepaskan penat yang sehari kemarin benar – benar menguras tenaganya. Namun suara ibunya sayup – sayup mulai mendekat ke ujung pintu kamar tidurnya yang hanya ditutupi kelambu.
“Ya Allah….anak perawan jam segini belum bangun ? Subuh nak, sholat subuh. Matahari sudah naik tuh” ibunya kini telah berdiri di ambang pintu sambil membawa panci sayurnya, didekatinya anak semata wayangnya itu. ditaruhnya panci di atas meja belajar Nina.
“sakit nduk ?” ibunya berusaha mengintip wajah Nina, disibakkannya sedikit ujung selimutnya. Lalu diperiksanya kening anaknya itu.
Nina melenguh “iya bu, pusing.” Melihat wajah anaknya yang memang sedikit pucat, ibu Nina segera berdiri dan tidak melanjutkan pertanyaan lain.
“ya sudah, sholat dulu ya nduk. Habis itu tidur lagi” Lalu ditinggalkannya anak gadisnya yang tak bergerak sama sekali namun ternyata sudut mata bulatnya telah mengembun, basah.
***
Dilihatnya jam dinding kamarnya menunjuk angka 05.20 dan Nina belum sholat subuh. Apa Kau mau menerima shalatku, Tuhan ? Nina bertanya sendiri dalam hatinya. Mendengus pelan.
Lalu diseretnya kaki yang masih kaku itu keluar kamar, melewati ruang tengah, dapur, dan berhenti pada kamar mandi. Dibukanya penutup padasan –tempat air wudlu yang terbuat dari gentong- itu dengan lemah. Ditariknya tiba – tiba ujung jarinya yang telah menyentuh air. Tubuhnya menegang ketika air yang menyentuh kulitnya ternyata sangat dingin.
Dimulainya ritual wudlu itu dengan kilat, dia tak tahan harus lama – lama bersentuhan dengan air es itu. Dan sehabis wudlu tubuhnya memang bereaksi negatif, dia menggigil sampai giginya mengeluarkan bunyi gemeretak. Tidak biasanya air ini begitu dingin, padahal ini juga matahari sudah agak naik, sudah tidak gelap, dan rasanya embun juga sudah menghilang dan hanya menyisakan tetesan di atas dedaunan saja.
Ruang shalat itu kecil, hanya berukuran 3x2 namun bersih. Terletak di antara kamar tidur ibu dan dia. Ruang shalat yang kadang dijadikannya tempat curhat bersama ibu sehabis shalat berjama’ah, tapi itu dulu sebelum Nina bersekolah di kota yang mengharuskannya kos. Maklum, jarak antara rumah dan kosnya begitu jauh. Jadi, mau tidak mau dia harus kos.
Di sisi kanan terdapat gantungan mukena, di kirinya berjejer Al – Qur’an dan kitab – kitab kuning yang pernah dipelajarinya semasa SMP dulu di masjid dekat rumahnya. Dipandanginya sejenak kitab – kitab itu, perasaan sedih menyerang ketika jemarinya berhasil menyentuh mereka. Apakah semua yang aku pelajari sia – sia, Tuhan ? lalu segera disambarnya mukena miliknya dan mulai menunaikan dua rakaat subuhnya sebelum matahari benar – benar memperingatkan paginya.
Nina masih bersujud. Tenggorokannya sakit menahan tangisnya sendiri. Dia tidak mau tangisnya sampai terdengar oleh telinga ibunya yang sedang berada di luar sana. Digenggamnya kuat jemari mungilnya sampai memutih, dipukul – pukulkan ke lantai tanah yang terdiam di bawahnya.
Nina mengutuk dirinya sendiri, juga mengutuk hidupnya, yang tidak punya ayah, yang tidak punya apa – apa, yang tidak punya…uang. Masih jelas diingatannya ketika siang tadi dia mendatangi ruang BK untuk melihat hasil pengumuman PMDK beasiswanya di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Tubuhnya lemas ketika dilihatnya tak ada nama Karenina Wijaya di sana. Harapan satu – satunya melayang begitu saja. Tak ada uang, tak ada masa depan. Pikirnya. Dia ingin menangis saat itu juga. Di sana. Namun, rasa gengsi yang tinggi menghalanginya. Karenina Wijaya yang lincah, ceria, pemberani, angkuh menangis di hadapan orang ? tidak. Tak semudah itu aku akan menangis.
Andai saja aku punya ayah, tidak akan mungkin aku hidup seperti ini. paling tidak, dialah yang akan berjuang keras menyekolahkanku, membiayai semua kebutuhanku, bukan ibu yang lemah itu, wanita super yang tak pernah memperlihatkan kelemahan di hadapan putri tunggalnya itu.
Namun, pertanyaan ini sering bergelut dalam otak Nina. Kemana sebenarnya ayahnya ? ibu bilang meninggal, namun dia tak pernah tahu dimana dia dimakamkan. Setiap Nina membuka pertanyaan tentang ayah, ibu selalu menjawab dengan senyum “ayah kamu meninggal di laut, kapal yang dia tumpangi terguling dan jasadnya tidak pernah ditemukan”
Nina tersenyum kecut pada dirinya sendiri. Namun, malam tadi tangisnya memuncak sampai kepalanya sakit dan berlanjut subuh ini. Setelah itu dia tertidur di sana sampai matahari tengah dalam perjalanannya.
Bersambung...
0 komentar:
Post a Comment