Diawali dari dalam sebuah jejaring sosial, dalam sebuah page berwarna hijau muda anggun itu kau temukan aku yang bernick name Lililalala sedang check-in di area ITS. Sesaat setelahnya ku buka jendela browserku pada sebuah page berwarna biru muda, dan ku dapati friend request dari orang yang sama. Ku baca semua profilmu dan entah mengapa ada sesuatu di dalam diriku yang ingin lebih mengenalmu.
Ini cerita bermula dari message yang kau kirimkan padaku yang kemudian ku balas, kau balas, ku balas, dan selalu berbalas tanpa henti sampai waktu yang membuat kita lelah dan jengah dengan inbox. Namun, dari sanalah semua tumbuh dan mulai mengembang. Dari hanya sekedar inbox sampai ketika kau sodorkan nomor HP karena kau takutkan di kampung halamanmu tak mendeteksi sinyal internet. Kau waktu itu masih ku anggap sebagai teman sekaligus seorang kakak yang setia memberikan nasehat pada adiknya, seorang kawan yang selalu menghibur dengan khas guyonannya, seorang sahabat yang menemani setiap hariku dengan inbox-inbox yang ternyata selalu ku rindukan dan membuat jantungku melompat kegirangan.
Dan sampai sebuah pertemuan terjadi di antara kita. Suatu malam berbekal alamat seadanya kau mencari kosku yang agak rumit jalannya. Pertemuan pertama yang membuatku tak mau menegakkan pandang padamu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama dibonceng oleh laki – laki. Jujur, aku memalu sampai tak mampu melihat mata indah yang baru ku ketahui beberapa bulan lalu itu. Jujur, ada rasa sungkan yang begitu dalam yang terseret di kedua kakiku. Dan penyet di pinggir jalan Karangmenjangan itu adalah saksi bisu memerahnya wajahku karenamu, untuk pertama kalinya.
Suatu malam minggu dalam gerimis, sebuah kejutan datang menghentak – hentak dadaku. Membuatku terharu melihatnya. Katamu dalam sms tak bisa menemani malamku karena hujan terlalu deras mengguyur tempatmu. Tapi tiba – tiba saja kau bilang telah berada di depan kosku. Tanpa komando ku buka tirai jendelaku untuk memastikan kedatanganmu itu. tak ada siapapun berdiri di sana. Lalu aku keluar dan lagi – lagi tak ku lihat sosok yang selalu berpakaian hitam itu, aku tak mendapati siapapun di sana, namun tiba – tiba saja mataku menyipit telah menemukanng sosok yang sedang terduduk di atas motor, kedinginan, menelungkupkan kedua tangannya di dada di bawah pohon seberang kosku. Ya Allah. Deg. Jantungku berlarian. Satu kejutan manis. Kau datang di bawah guyur gerimis yang mulai menghujan. Itu membuat hatiku melayang, membuat makhluk kecil itu menari – nari riang. Dan dari situlah mimpi - mimpiku mulai ku rangkai sendiri.
Suatu siang di taman kota. Kita bertemu kembali bersama angin yang meliuk – liuk hendak membawa pesan hujan akan tiba. Dan di bawah guyur hujan kau membuatku tertawa, membuatku tanpa henti mengurai senyum, membuat jangtungku lagi – lagi berlarian tanpa henti. Lalu kita habiskan sisa siang itu di bawah teduhan mainan anak – anak. Berdua di dalam sana. Hatiku girang sekaligus malu. Dan lagi – lagi makhluk kecil itu menari – nari bersama kita.
Berkali – kali kita bertemu untuk makan penyet di pinggir jalan, makan mie ayam, kau menemaniku ke toko buku, jalan – jalan di taman atau sekedar muter – muter di jalanan tanpa tujuan, dan bahkan makan ice cream di pelataran parkir sebuah toserba dekat tempatmu. Lucu. Geli juga aku mengingat momen – momen itu. Momen yang tanpa sengaja mulai membuatku merasa lain. Ada getar aneh yang seringkali ku rasakan tiap bertemu denganmu. Tiap kali ku coba menatap matamu. Ada getar rindu yang tersemat di dada ketika sehari aku tak menemukanmu dalam halaman sebuah jejaring social itu atau aku tak menerima sms itu. ada badai cemburu yang mengobrak –abrik hatiku ketika ku lihat kau asyik bercengkrama dengan teman – teman wanitamu. Ah, aku jadi ketergantungan padamu. Sampai suatu ketika kau membuatku menangis. Membuatku merasa perih karena merasakan sesuatu yang sulit untuk aku ungkap apa namanya. Kau menjauhiku. Kau tak mempedulikanku lagi. Kau cuek. Kau berubah kasar. Kau jahat. Hingga aku memutuskan untuk tidak menghubungimu lagi. Dan itu membuatku sakit sesakit – sakitnya. Setelah beberapa minggu kau sms aku lagi dan meminta maaf sekaligus memintaku untuk tidak terlalu bergantung padamu. Setelah itu, kau berpamitan untuk tes kerja. Jakarta….
Kisah tak bernama ini terus berlanjut selama hampir empat bulan. Sebuah hati kini terpaut pada hati yang lain. Aku merasakannya. Ada sebuah roman yang nyata ku impikan datangnya kelak terlukis jelas di otakku, terbingkai rapi, dan takkan ku jamah sampai segalanya pasti. Ada harapan. Ada mimpi yang bergelayut di langit – langit hatiku. Aku menginginkanmu dan berharap kau terakhirku, dan bukan tidak mungkin aku menginginkanmu menjadi pendamping hidupku. Aku masih ingat ketika suatu malam kau berkata padaku “senangnya jika bangun tidur bisa ku lihat wajah bidadari di sampingku. Namun jikalau bukan aku yang bisa menikmati senyum manismu itu, maka orang lain itulah yang akan sangat beruntung”. Dan setelah itu aku mulai melukis mimpiku lebih jelas. Bukan lagi hanya sekedar sketsa.
Malam itu seperti awal dan sekaligus akhir bagi mimpi yang selama ini aku lukis indah di hatiku. Sehari setelah ulang tahunmu. Sengaja ku minta kau untuk menemuiku. Aku menyiapkan kue ulang tahun kecil dan kado mungil yang begitu sederhana untukmu, saking sedehananya sampai aku malu untuk memberikannya. Di sebuah taman. Suatu malam penuh bintang. Cerah. Dan aku bersyukur hujan tak mengguyur kota. Di atas ayunan. Berhadapan. Ah tidak, aku memalingkan wajahku sebab aku malu menatap matamu itu. Namun, sesekali aku curi pandang ke arahmu hingga akhirnya kau tahu. Dan waktu itu ku beranikan diriku mempersembahkan kado special untukmu, sebuah lagu, sebuah curahan yang benar dari hati. Aku nyanyikan bait demi bait lagu itu dengan penuh perasaan. Ku tutup kedua mataku sebab aku tak mampu menatapmu dan aku memang tak mau malihat ekspresi wajahmu mendengar dengung suaraku di taman itu. aku tak peduli orang lain mendengarnya, yang aku pedulikan hanyalah bagaimana aku memberikan sesuatu yang akan kau ingat selamanya. Tanpa ku tahu kau merekamnya. Dan yang ku tahu rekaman itu masih kau simpan sampai sekarang.
Kue ulang tahun itu adalah pengawal dari segala awal. Pertama kalinya kita bersentuhan setelah beberapa bulan kita dekat. Kau menyuapiku, begitu juga aku. “Duch, jadi so sweet gini?” pekikku dalam hati. Setelah itu kita berjalan mengelilingi tiap jengkal taman yang lumayan sepi itu. Tanpa suara, tanpa bicara, tanpa ku duga sebelumnya, tanpa ku tahu bagaimana mulanya kau meraih tanganku dan menyembunyikan dalam dekap hangat tanganmu. Demi Tuhan, jantungku berlarian. Aku terkejut mendapati perlakuanmu yang tiba – tiba saja menggandeng erat tanganku, meremas- remas jemariku. Kau tahu, aliran darahku berdesir – desir. Wajahku memerah. Memanas. Aku bingung sampai tak tahu lagi harus berkata apa. Kau menggandengku ? mimpikah ? lalu hati pun merespon dengan cepat, segera bertindak tanpa komando, segera mendeskripsi bahwa kau adalah separuh hatiku, bahwa kau memiliki rasa itu. ya, setelah malam itu aku mulai lebih jauh mengurai mimpiku bersamamu, berharap bahwa kau adalah sebenarnya hatiku. Namun, suatu malam di penghujung Februari semuanya berbalik. Semua tersapu ombak, tergilas badai yang tiba – tiba datang tanpa permisi itu. Dan akhirnya segalanya berubah. Kemesraan yang tiga hari ku rasakan musnah tanpa ku tahu sebabnya. Permintaan maafmu itu membuatku menangis hebat. Membuat seluruh mimpiku beruraian menjadi puing – puing puzzle yang berserakan. Aku terjatuh dengan bunyi debam keras di tanah. Aku kesakitan karena kau berubah. Sesuatu yang sangat berharga darimu menghilang. Aku tahu itu dari serangkain status di page FBmu. Dan aku tahu perubahan itu bukan datang dariku. Bukan dari sebabku. Namun, aku pun segera takut untuk mengurai mimpi – mimpiku itu lagi. Takut malukai hatimu sayang. Tapi, aku tetap berharap ada keajaiban yang datang darimu dan membawamu kembali menjadi hatiku yang hilang itu.
Ini cerita bermula dari message yang kau kirimkan padaku yang kemudian ku balas, kau balas, ku balas, dan selalu berbalas tanpa henti sampai waktu yang membuat kita lelah dan jengah dengan inbox. Namun, dari sanalah semua tumbuh dan mulai mengembang. Dari hanya sekedar inbox sampai ketika kau sodorkan nomor HP karena kau takutkan di kampung halamanmu tak mendeteksi sinyal internet. Kau waktu itu masih ku anggap sebagai teman sekaligus seorang kakak yang setia memberikan nasehat pada adiknya, seorang kawan yang selalu menghibur dengan khas guyonannya, seorang sahabat yang menemani setiap hariku dengan inbox-inbox yang ternyata selalu ku rindukan dan membuat jantungku melompat kegirangan.
Dan sampai sebuah pertemuan terjadi di antara kita. Suatu malam berbekal alamat seadanya kau mencari kosku yang agak rumit jalannya. Pertemuan pertama yang membuatku tak mau menegakkan pandang padamu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama dibonceng oleh laki – laki. Jujur, aku memalu sampai tak mampu melihat mata indah yang baru ku ketahui beberapa bulan lalu itu. Jujur, ada rasa sungkan yang begitu dalam yang terseret di kedua kakiku. Dan penyet di pinggir jalan Karangmenjangan itu adalah saksi bisu memerahnya wajahku karenamu, untuk pertama kalinya.
Suatu malam minggu dalam gerimis, sebuah kejutan datang menghentak – hentak dadaku. Membuatku terharu melihatnya. Katamu dalam sms tak bisa menemani malamku karena hujan terlalu deras mengguyur tempatmu. Tapi tiba – tiba saja kau bilang telah berada di depan kosku. Tanpa komando ku buka tirai jendelaku untuk memastikan kedatanganmu itu. tak ada siapapun berdiri di sana. Lalu aku keluar dan lagi – lagi tak ku lihat sosok yang selalu berpakaian hitam itu, aku tak mendapati siapapun di sana, namun tiba – tiba saja mataku menyipit telah menemukanng sosok yang sedang terduduk di atas motor, kedinginan, menelungkupkan kedua tangannya di dada di bawah pohon seberang kosku. Ya Allah. Deg. Jantungku berlarian. Satu kejutan manis. Kau datang di bawah guyur gerimis yang mulai menghujan. Itu membuat hatiku melayang, membuat makhluk kecil itu menari – nari riang. Dan dari situlah mimpi - mimpiku mulai ku rangkai sendiri.
Suatu siang di taman kota. Kita bertemu kembali bersama angin yang meliuk – liuk hendak membawa pesan hujan akan tiba. Dan di bawah guyur hujan kau membuatku tertawa, membuatku tanpa henti mengurai senyum, membuat jangtungku lagi – lagi berlarian tanpa henti. Lalu kita habiskan sisa siang itu di bawah teduhan mainan anak – anak. Berdua di dalam sana. Hatiku girang sekaligus malu. Dan lagi – lagi makhluk kecil itu menari – nari bersama kita.
Berkali – kali kita bertemu untuk makan penyet di pinggir jalan, makan mie ayam, kau menemaniku ke toko buku, jalan – jalan di taman atau sekedar muter – muter di jalanan tanpa tujuan, dan bahkan makan ice cream di pelataran parkir sebuah toserba dekat tempatmu. Lucu. Geli juga aku mengingat momen – momen itu. Momen yang tanpa sengaja mulai membuatku merasa lain. Ada getar aneh yang seringkali ku rasakan tiap bertemu denganmu. Tiap kali ku coba menatap matamu. Ada getar rindu yang tersemat di dada ketika sehari aku tak menemukanmu dalam halaman sebuah jejaring social itu atau aku tak menerima sms itu. ada badai cemburu yang mengobrak –abrik hatiku ketika ku lihat kau asyik bercengkrama dengan teman – teman wanitamu. Ah, aku jadi ketergantungan padamu. Sampai suatu ketika kau membuatku menangis. Membuatku merasa perih karena merasakan sesuatu yang sulit untuk aku ungkap apa namanya. Kau menjauhiku. Kau tak mempedulikanku lagi. Kau cuek. Kau berubah kasar. Kau jahat. Hingga aku memutuskan untuk tidak menghubungimu lagi. Dan itu membuatku sakit sesakit – sakitnya. Setelah beberapa minggu kau sms aku lagi dan meminta maaf sekaligus memintaku untuk tidak terlalu bergantung padamu. Setelah itu, kau berpamitan untuk tes kerja. Jakarta….
Kisah tak bernama ini terus berlanjut selama hampir empat bulan. Sebuah hati kini terpaut pada hati yang lain. Aku merasakannya. Ada sebuah roman yang nyata ku impikan datangnya kelak terlukis jelas di otakku, terbingkai rapi, dan takkan ku jamah sampai segalanya pasti. Ada harapan. Ada mimpi yang bergelayut di langit – langit hatiku. Aku menginginkanmu dan berharap kau terakhirku, dan bukan tidak mungkin aku menginginkanmu menjadi pendamping hidupku. Aku masih ingat ketika suatu malam kau berkata padaku “senangnya jika bangun tidur bisa ku lihat wajah bidadari di sampingku. Namun jikalau bukan aku yang bisa menikmati senyum manismu itu, maka orang lain itulah yang akan sangat beruntung”. Dan setelah itu aku mulai melukis mimpiku lebih jelas. Bukan lagi hanya sekedar sketsa.
Malam itu seperti awal dan sekaligus akhir bagi mimpi yang selama ini aku lukis indah di hatiku. Sehari setelah ulang tahunmu. Sengaja ku minta kau untuk menemuiku. Aku menyiapkan kue ulang tahun kecil dan kado mungil yang begitu sederhana untukmu, saking sedehananya sampai aku malu untuk memberikannya. Di sebuah taman. Suatu malam penuh bintang. Cerah. Dan aku bersyukur hujan tak mengguyur kota. Di atas ayunan. Berhadapan. Ah tidak, aku memalingkan wajahku sebab aku malu menatap matamu itu. Namun, sesekali aku curi pandang ke arahmu hingga akhirnya kau tahu. Dan waktu itu ku beranikan diriku mempersembahkan kado special untukmu, sebuah lagu, sebuah curahan yang benar dari hati. Aku nyanyikan bait demi bait lagu itu dengan penuh perasaan. Ku tutup kedua mataku sebab aku tak mampu menatapmu dan aku memang tak mau malihat ekspresi wajahmu mendengar dengung suaraku di taman itu. aku tak peduli orang lain mendengarnya, yang aku pedulikan hanyalah bagaimana aku memberikan sesuatu yang akan kau ingat selamanya. Tanpa ku tahu kau merekamnya. Dan yang ku tahu rekaman itu masih kau simpan sampai sekarang.
Kue ulang tahun itu adalah pengawal dari segala awal. Pertama kalinya kita bersentuhan setelah beberapa bulan kita dekat. Kau menyuapiku, begitu juga aku. “Duch, jadi so sweet gini?” pekikku dalam hati. Setelah itu kita berjalan mengelilingi tiap jengkal taman yang lumayan sepi itu. Tanpa suara, tanpa bicara, tanpa ku duga sebelumnya, tanpa ku tahu bagaimana mulanya kau meraih tanganku dan menyembunyikan dalam dekap hangat tanganmu. Demi Tuhan, jantungku berlarian. Aku terkejut mendapati perlakuanmu yang tiba – tiba saja menggandeng erat tanganku, meremas- remas jemariku. Kau tahu, aliran darahku berdesir – desir. Wajahku memerah. Memanas. Aku bingung sampai tak tahu lagi harus berkata apa. Kau menggandengku ? mimpikah ? lalu hati pun merespon dengan cepat, segera bertindak tanpa komando, segera mendeskripsi bahwa kau adalah separuh hatiku, bahwa kau memiliki rasa itu. ya, setelah malam itu aku mulai lebih jauh mengurai mimpiku bersamamu, berharap bahwa kau adalah sebenarnya hatiku. Namun, suatu malam di penghujung Februari semuanya berbalik. Semua tersapu ombak, tergilas badai yang tiba – tiba datang tanpa permisi itu. Dan akhirnya segalanya berubah. Kemesraan yang tiga hari ku rasakan musnah tanpa ku tahu sebabnya. Permintaan maafmu itu membuatku menangis hebat. Membuat seluruh mimpiku beruraian menjadi puing – puing puzzle yang berserakan. Aku terjatuh dengan bunyi debam keras di tanah. Aku kesakitan karena kau berubah. Sesuatu yang sangat berharga darimu menghilang. Aku tahu itu dari serangkain status di page FBmu. Dan aku tahu perubahan itu bukan datang dariku. Bukan dari sebabku. Namun, aku pun segera takut untuk mengurai mimpi – mimpiku itu lagi. Takut malukai hatimu sayang. Tapi, aku tetap berharap ada keajaiban yang datang darimu dan membawamu kembali menjadi hatiku yang hilang itu.
0 komentar:
Post a Comment