November 25, 2012

Seperti Seharusnya

Luna terperanjat melihat Nathan mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Mulutnya menganga karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya mengerjap – ngerjap pelan. Ia tidak pernah berpikir bahwa lelaki itu bakal menepati perkataannya. Dikiranya, Nathan hanya membual. Ia hanya mengancam seperti biasanya. Namun tanpa disangkanya Nathan bakal senekat ini. Api cemburu membara di matanya. Kemarahan terpasung di dalam napasnya yang berkejaran.

Luna berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah. Ia bersikeras untuk tetap berdiri tegar melihat Nathan dengan kasar melempar semua pakaiannya ke atas kasur dan menjejalkannya sembarangan ke dalam koper. Dada Luna mendadak diliputi nyeri. Ia ingin sekali berlari memeluk lelaki itu dari belakang, melingkarkan kedua tangannya ke pinggang seraya berkata “jangan pergi.” Namun lidahnya diam dengan sempurnanya. Mendadak bisu, seperti ada benang jahit yang membelit.

Benarkah lelaki ini bakalan pergi dari hidupnya? Bisa apa dia tanpa Nathan di sampingnya? Langit sepertinya mau runtuh. Bumi sepertinya mau terbelah. Dan dirinya sendiri sepertinya mau jatuh ke dalam jurang terdalam. Bisa dia berdiri kembali tanpa lelaki itu? Luna tak yakin tahu apa jawabannya. Ia menyangsikan bahwa hidupnya bakal baik – baik saja tanpa Nathan. Ingin ia menolak menikah dengan Daniel dan mengatakan padanya bahwa dia mencintai lelaki lain. Ia mencintai lelaki di hadapannya ini, cinta pertamanya. Namun Lullaby? Bagaimana dengan anak semata wayangnya itu? Gadis kecil itu membutuhkan ayahnya. Ia tidak tega memisahkan anak dan ayahnya di saat hidup ayahnya sedang di ujung persimpangan, antara hidup dan mati.

Masih tetap berdiri, perlahan ia mundur sampai menyentuh punggung meja. Tubuhnya gemetar. Matanya berkedip - kedip merah. Jantungnya berlarian begitu cepatnya. Tenggorokannya seperti dihantam martil. Sakit berjejalan memenuhi rongga hati. Ia berpaling untuk menyembunyikan air mata yang telah meleleh di pipinya. Kedua tangannya menyentuh meja. Jari - jarinya bergetar menahan emosi yang menggebu.

Luna ingin ambruk saat itu juga. Ia ingin menjerit dan menangis sekerasnya. Ia ingin bilang bahwa dirinya tidak menginginkan lelaki itu pergi. Ia menginginkannya berada di sampingnya, selamanya. Seperti dulu, dua belas tahun lalu ketika masa putih biru membuat hidupnya bagai langit siang yang cemerlang. Seperti dulu ketika ia dihadiahi tawa yang mengudara di setiap harinya. Seperti dulu saat binar - binar cinta remaja mulai tumbuh dan memasung harinya dengan sempurna. Surat cinta.

Nathan telah berhasil mengemasi semua barangnya. Ia berdiri di belakang Luna yang masih memunggunginya. Kakinya ingin bergerak menghampiri Luna. Namun rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang mencengkeram kakinya agar tetap berdiri di tempat.

Nathan bisa melihat tubuh Luna yang lunglai. Ia bisa merasakan tubuh wanita itu melemah dan hampir ambruk. Napasnya tak beraturan. Bahunya naik – turun. Ia ingin mendekap wanita itu dari belakang dan berbisik bahwa dia begitu mencintainya. Ia tidak ingin meninggalkan dia lagi. Air mata Nathan mengambang dan hampir jatuh. Tapi kemudian dia menarik kepalanya ke atas dan mengedipkan matanya dengan kasar agar air matanya segera lenyap. Ia segera mengusapnya dengan punggung tangannya.

Luna berbalik. Meskipun air mata telah hilang, namun mata dan hidungnya yang merah kentara di mata Nathan. Luna membuang muka. Berusaha untuk tidak menatap mata yang selalu dia rindukan. Ia takut kalau ia sempat menatapnya, ia bakalan berteriak dan memintanya untuk tetap tinggal.

Jarak mereka semeter. Nathan bisa melihat dengan jelas wajah wanitanya yang pucat. Bibirnya bergetar. Nathan kemudian membuang muka. Ia tidak tega melihat Luna seperti itu. diletakkannya dengan kasar koper yang ia tergantung di tangannya. Ia bergerak mendekati Luna.
"aku pamit" Nathan mendekati Luna.
Luna diam. Hatinya hancur. Ia tak kuasa menahan air matanya untuk tidak jatuh di hadapan Nathan. Segera Nathan meraih tangan Luna. Ia meremasnya dengan lembut. “ikutlah bersamaku. Mari kita mulai segalanya dari awal. Mari kita bangun kehidupan baru. Aku, kamu, dan Lullaby”

Luna menarik tangannya dengan halus. Nathan melihatnya getir. Sakit. dadanya sakit.
"aku nggak bisa ninggalin Daniel dalam keadaan seperti ini, Nat...."

Nathan melirik Luna yang tengah bersimbah air mata. Ia tidak tega. Sesegera mungkin ia ingin menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Ia ingin menenangkannya segera. Mendekapnya ke dalam pelukan dan mengusir semua kegundahan yang ada dalam hatinya. Namun pilihan Luna untuk tetap tinggal bersama lelaki itu membuat dadanya bertambah sakit. Itu adalah sebuah penjelasan bahwa Luna tidak menginginkannya lagi.
“kamu milih Daniel”
Luna ambruk.
"bukan...bukannya aku milih Daniel. aku hanya..."
"hanya?"
"Daniel adalah ayah dari anakku...."
"lalu aku?"
"anakku butuh Daniel"
"lalu aku?"
"aku nggak mungkin misahin mereka"
"lalu aku?"
“Daniel sedang sekarat, aku nggak mungkin ninggalin dia”
“lalu aku?”
Nathan mencengkeram lengan Luna dengan gemas. Ditatapnya dengan nanar kekasihnya yang kini bersimbah air mata di bawah kakinya.

"anakku butuh ayah"
“memangnya aku tidak becus jadi ayah buatnya?”
“anakku butuh ayah kandungnya”
"tapi kau butuh aku"
Luna menggigit bibir bawahnya. Ia tidak munafik jika dirinya memang membutuhkan Nathan. Tapi Lullaby? Akankah dia seegois itu membiarkan anaknya jauh dari ayah kandungnya sendiri?

“sebegitu mudahnyakah kau mengorbankan cinta pertamamu?” hati Nathan diliputi lara mendalam ketika menyebut cinta pertama. Seharusnya ia tak kembali. Seharusnya ia tak berusaha untuk merebut Luna lagi. Seharusnya ia puas diri dengan hidupnya yang sekarang ini. Seharusnya ia sadar bahwa cinta pertama hanya milik dongeng semata. Tidak ada cinta pertama baginya. Semua sudah ditakdirkan untuk saling berpisah dan menjalani hidup sendiri - sendiri.
“cinta adalah pengorbanan”kata Luna, bibirnya bergetar. Ditatapnya nanar mata Nathan.
“bukan. Cinta adalah apa yang dulu pernah aku berikan padamu. Cinta adalah aku, rumahmu”
Luna tidak bergerak. Hanya air matanya yang meleleh jatuh ke satu – satu ke lantai. Dadanya seperti dihantam ribuan ton besi. Sakit dan hampir kehilangan detak teraturnya.

Perlahan Nathan melepaskan cengkeramannya di lengan Luna. Ia melepasnya dengan getir. Ia pasrah dengan pilihan Luna. Keadaan memang tidak pernah berpihak pada mereka. Seperti dulu ketika mereka berpisah tanpa tahu alasan kenapa harus berpisah.

Kemudian ia menyeret kakinya menjauhi Luna yang terduduk di lantai. Hatinya sakit jika harus berlama - lama di hadapan Luna. dadanya bergemuruh keras. Air matanya meleleh. Ia masih saja mengharapkan bahwa Luna bakal memilih dirinya. ia masih saja bermimpi bakal mendapatkan kembali cinta pertamanya itu. Nathan berbalik, ia masih melihat Luna yang terdiam. Kali ini ia harus mengatakan selamat tinggal padanya, bukan lagi sampai jumpa seperti biasanya.

Nathan hendak meraih gagang pintu, namun ia menyentuhnya dengan ragu. Ia berbalik lagi namun masih menemui Luna yang diam menyeribu bahasa. kali ini ia harus benar – benar pergi. "aku terbang ke Milan sore ini"

Luna menggerakkan kepalanya. Nathan ke Milan?
Ia ingin berdiri. Bangkit dan berlari ke arahnya. Namun kakinya seperti kehilangan tulang juga sendi. Ia tidak bisa bergerak. Bunyi pintu yang ditutup berhasil ditangkap oleh telinga normal Luna. Ia menoleh. Nathan sudah tidak ada. Ia telah pergi. Benar – benar pergi. Luna mengerang Ia ingin bilang bahwa ia sangat mencintainya, ia tidak ingin cinta pertamanya itu kembali pergi.

Ia bangkit dan menyeret kakinya ke arah pintu. Ia ingin membukanya. Ia ingin mengejar Nathan. Namun keraguan meraung - raung di sekujur tubuhnya. Kemudian ia lemas. Terduduk kembali di lantai sambil menjerit. Ia remas kepalanya yang hampir pecah. Ia meraung. Menangis.

Nathan masih di depan pintu. Tangannya masih menggantung di udara, ia hendak meraih gagang pintu itu lagi namun tak cukup mampu. Ia tidak mungkin menghalangi keputusan Luna untuk tetap bersama Daniel. Kemudian ia mendengar suara Luna menjerit. Dan setelahnya ia jatuh ke lantai.
 

0 komentar:

Post a Comment