April 16, 2014

Yui - You (Ost Paradise Kiss)

Zutto matte ita no Ienakatta kedo
Tarinai hibi wo sotto
Umeru you ni Waratteta
Fureru dake de Kowareta
Yubisaki kara Hanarete Kieta

Sayonara Anata wo wasurerareru hodo
Suteki na yume wo mitai no
Konna ni Kirei na akari tomoshitara
Utsumuiterarenai desho?

Motto shiritai koto Ikutsu mo aru no
Nakushita wake ja nai
Moto no basho he Modoru dake
Chigau hito wo Aishita
Wakaru you na ki ga shite Naita

Sayonara Anata wo wasurerareru hodo
Suteki na yume nado nai wa
Donna ni Kirei na akari tomoshite mo
Kagami no mae tachidomaru

Jishin nante nai no Kitto dare mo onaji hazu…
Anata no yokogao Omoi dashite ita no

Itsumademo Anata wo wasurerarenai mama
Yume no tsudzuki wo sagashita
Kowai mono nante Nakunaranai’n da
Atashi ni mo wakatte kita wa
Utsumuiterarenai desho

Translate

Aku selalu menunggumu walau tak bisa kukatakan
Aku tertawa untuk menutupi secara perlahan
Hari-hari tak berharga yang kulalui
Dengan mengalaminya saja pun aku hancur
Berawal dari ujung jari, kita berpisah dan menghilang

Selamat tinggal, aku akan melupakanmu
Aku ingin melihat mimpi yang indah
Jika kunyalakan cahaya yang indah ini pun
Kamu tidak bisa menundukkan kepalamu, kan?

Banyak sekali hal-hal yang ingin lebih kuketahui
Ini bukanlah alasan kenapa aku menghilang
Aku hanya kembali ke tempat aku berasal
Aku telah mencintai orang yang berbeda
Aku rasa aku mengerti, karena itu aku pun menangis

Selamat tinggal, aku akan melupakanmu
Tak ada lagi mimpi yang indah
Seindah apapun cahaya yang kunyalakan
Aku hanya akan terhenti di depan cermin

Aku tak punya kepercayaan diri, setiap orang pun pasti merasakan hal yang sama
Tiba-tiba aku teringat sisi wajahmu

Sampai kapan pun tanpa melupakan dirimu
Aku mencari kelanjutan mimpi ini
Hal yang menakutkan tak akan menghilang
Aku pun telah mengerti
Kau tidak bisa menundukkan kepalamu, kan?
Read more »

April 15, 2014

Temani Aku!

aku tak menyanggah bahwa aku tergugah. merasa lemah dan kalah oleh segala kata yang tak bisa kubantah. tak kutahu kenapa secara otomatis aku mau berubah.

aku mau kau membimbingku, lagi. mengajakku untuk berdamai dengan nafsu dan keserakahan duniawi. kau menyadarkanku (?) secepat itu? tidak. bukan begitu. kau hanya perantara yang Allah utus untuk mengirimkan pesan cinta dari Dia. Allah menyayangiku sehingga Dia tunjuk kamu untuk menjadi seseorang yang bisa menamparku dengan cara halus seperti itu.

aku tak mau menerka apapun. yang bisa kubaca hanya saat kau melakukan itu, demi kebaikanku semata. benar begitu?

aku ingin bertanya banyak hal kepadamu, hanya saja lidah ini malu sekali. aku malu. apalagi saat mendapati dirimu berbohong padaku kemarin itu.
"janji nggak akan marah kalau ada orang berbohong ke kamu demi kebaikan kamu?"
"janji"
sebegitu mudahnyakah aku berjanji pada orang yang baru beberapa saat diajak bicara? luar biasa. kehendak Allah sungguh luar biasa.
kau berbohong demi kebaikanku (?). kau mendengarku menangis kemarin? aku tak bisa menjelaskan secara detail kenapa aku menangis saat mendengar segala omonganmu kemarin. hanya saja aku bisa mengatakan bahwa hatiku terasa sakit sekali. meskipun begitu tetap aku tidak bisa marah ke kamu. itu kenapa?

kamu baik sekali. aku terharu.

aku mau berubah. bukan demi kamu. bukan karena kamu. tapi demi kebaikanku. tapi jujur, karena kamu yang jadi jembatan perubahan itu aku mau berubah.

tetaplah di situ sampai kau tahu aku mampu mengubah semua itu. tetaplah di situ. tetaplah mengajakku bicara dan menamparku ketika aku melakukan kesalahan lagi. sebab aku membutuhkan orang seperti kamu di hidupku.

jangan pergi. jangan. temani aku!




Read more »

April 14, 2014

Langit Menangis

perempuan itu terlalu cepat mengambil keputusan. perempuan itu terlalu untuk menerka. perempuan itu melakukan kesalahan yang sama.

*

langit menangis. jeritannya terdengar sampai ke telinga manusia.

hujan. balkon lantai dua basah. muncul genangan kecil di bawah kaki kursi yang biasanya kugunakan untuk berhalusinasi dini hari. di dalam rumah gelap. listrik mendadak tak menyala. sedang di rumah kos yang hanya dihuni tujuh orang tidak ada batang hidungnya, hanya aku saja yangs edari pagi berdiam diri.

hujan turun dengan sangat deras disertai angin sekencang beliung. gorden kamarku berulang kali tersibak berantakan. hujan kali ini mengerikan saat ditambah dengan listrik yang mendadak pingsan. aku takut gelap. aku takut sendirian di rumah kosan.

lantai satu sunyi. anak tangga yang biasa kugunakan berlarian naik turun tak berani kuintip. akhirnya kuambil senter yang ternyata masih kusimpan di lemari perkakas kamarku. kemudian kugunakan untuk berlari menuju balkon yang punya lebih banyak sinar.

balkon basah. kursi yang biasa kududuki harus kulapisi handuk kecil yang biasa kugunakan ketika mandi. dingin menyergap pori-pori. tulang-tulangku rasanya mendadak tak bisa digerakkan. aku kedinginan.

kuambil salah satu handuk yang berjejer di jemuran untuk mengusir dingin. hujan kali ini menakutkan. langit seperti sedang bertengkar. angin dan hujan saling berseteru. gelegar guntur menyapa tanda dia tak mau kalah oleh rekannya. aku mengiba, tolong hentikan pertengkaran kalian.

rasanya seperti terjajah. aku begitu tunduk pada perasaan sesat yang baru sesaat kurasakan. aku hendak mengaduh namun terlalu gaduh.

aku salah meletakkan itu semua. tak seharusnya kujatuhkan begitu saja. benarkan aku menginginkannya? ah, rasanya aku tak cukup pantas untuk lelaki luar biasa sepertinya. baru beberapa jam yang lalu aku berhenti bicara dengannya dan...kenapa rasanya seperti ini?

aku diliputi rindu yang datang seperti hantu. tak seharusnya kujatuhkan perasaanku padanya. tidak tidak, aku tidak salah. dia terlalu perhatian. aku yang salah menangkap maksud segala apa yang dia katakan. sebagai teman, dia memberikan nasehat. sebagai teman...ya sebagai teman.

sial. di tengah hujan yang riuh, aku masih saja sempat mengaduh. aku tak bisa berseteru dengan perasaanku.









Read more »

Seperti itu...

"siapa yang mau hidup seperti ini?""kamu yang mau!"
"aku tidak mau!!"
"tapi kamu tetap melakukannya!?"
"aku butuh itu"
"dan karena itu kau tetap melakukannya"
"aku punya alasan"
"alasan apa??"
"......."
"kamu ini tidak ditakdirkan untuk seperti itu"


*

sunyi. hanya debur ombak yang bergolak beberapa meter sana yang terdengar riuh di kupingku. suasana masih gelap. langit belum memberi tanda bahwa matahari akan datang sebentar lagi. ya. ini masih jam tiga dini hari.

aku merasakan dingin yang mulai merasuk ke dalam tulang dalamku. ngilu menyertai. kupeluk sendiri kedua lututku untuk membunuh dingin yang mulai menggila. jari-jari tanganku gemetaran. bibirku mulai bergetar. gigi-gigiku mulai gemeretak. aku kedinginan.

lelaki yang tergolek lemah di sampingku hanya diam. tak mengacuhkan adaku di sebelahnya. tubuhnya yang menyatu dengan pasir membelakangiku. mulutnya dikunci rapat-rapat setelah beberapa saat lalu berargumen panjang denganku. marahkah dia?

bahkan dalam keadaan sedekat ini, aku tak mampu mengurai kalimat apapun padanya. lidahku menggulung lesu. mendadak mataku basah. nyeri menjalar ke dalam hati.

ada apa ini? kurasakan sakit yang amat sangat ketika mendapatinya bicara banyak hal tentangku. semua kebenaran yang dia ucapkan secara gamblang tak ubahnya membuat diriku seperti manusia tak berlidah. aku seperti dibungkam, tunduk seketika pada segala apa yang dia bicarakan. sebenarnya aku ingin membantah, tapi rasanya susah. lelaki ini membuatku tak bisa bertingkah.

"aku sedih kalau kamu begitu....
kamu lebih memilih jalan yang kamu mau :') seperti kamu yang sekarang ini..."

jantungku seperti ditinju. sakit menyertai dadaku.







dan di hadapan matahari yang mendadak menyembul dari ujung timur, aku telah hancur.

Read more »

April 9, 2014

Males

hai malam, suara gaduh sudah hilang. aku akan keluar dari kamar untuk menampakkan diri pada bumi. tanah tampak basah. hujan selebat tadi ternyata masih menampakkan sisa genangan di beberapa tempat yang mengharuskanku untuk berjingkat.



kaki telanjangku bersorak mendapati aspal sedingin es batu. jingkat-jingkat kecil kuhadiahkan sebagai persembahan rasa sayangku pada bumi yang kini kupijaki. rasanya seperti dilingkupi bahagia yang luar biasa. tidak hanya kaki yang bersorak, hatiku ikut bersorak gembira atas kebebasanku malam ini.



aku ingin bercerita padamu sekarang, tentang gelap yang menaungi hatiku, tentang perasaan yang tak kunjung hilang, tentang seorang pria yang membuat hidupku jatuh bangun berantakan.


















nggak jadi cerita ah, lagi males.


Read more »

April 8, 2014

Sore Ini...

Sore ini aku berbincang dengan langit kemerahan yang kutemui tepat di samping balkon kosku. Ditemani secangkir teh hangat dan headset, aku membatin...mencoba berkomunikasi dengannya. Awal mulanya aku hanya iseng bersiul dan mengedikkan sedikit senyum nakal ke arahnya, tapi tanpa ku sangka dia membalasnya seraya iseng menggelitiki pinggangku.

"neng, apa yang kau lakukan sesore ini sendirian?" langit merah menegurku.
aku tersenyum seperti biasanya. kemudian menggeser duduk agar dia merapat ke tubuhku. aroma mint khas bau tubuhnya menguar masuk ke dalam hidungku, wangi lelaki.
"aku sedang memperhatikanmu, bang" kataku penuh penjiwaan.
"ah, lebay..." katanya sambil mencolek pipiku.

sentuhan jarimu seperti itu membuat pipiku panas, tidakkah kau tahu itu? aku membatin diiringi cengiran kecil. kemudian memang kelihatannya wajahku berubah menjadi tomat rebus karena ku lihat senyumnya merekah.

aku kembali tersenyum mendengar jawabannya. itu adalah jawaban seperti yang biasa dia lontarkan ketika aku mulai menggombal.
"sumpah....langit merah di ujung barat sana adalah kamu"


Read more »

Never Let Go (A-Jax)

Because I only know you, because I can’t get over you
Woo hey yeah oh no
Listen

The sight of your trembling voice
I still can’t forget it, can’t forget
It’s still here
After losing my map
I can’t move anymore
Cause I don’t have a place to go back

(Ah)
The person who held your hand
That should have been me

(Ah)
How are you smiling
Oh tell me baby, that it’s a lie

Because I can’t get over you
My foolish heart and lips only search for you
Baby, I can’t get over you
Tell me why, tell me baby why
Without you, I don’t have tomorrow

Even if I missed you as if my heart was going to rip
I’ve endured it, I’ve endured it
Like you said

The obvious excuse and lie that you will miss me a lot
I believed it all

(Ah)
Baby, the person who hugged you
That should have been me, yeah

(Ah)
Oh yeah
Are you that happy
Oh tell me baby,
Cuz I can’t let you go
Because I can’t get over you
My foolish heart and lips only search for you
Baby, I can’t get over you
Tell me why, tell me baby why
Without you, I don’t have tomorrow
If I have one wish,
It is for you to come back, please
If it could come true
I will bet on my everything
Cuz you are my everything
(You’re my everything)
Better than anything
(Oh yeah yeah yeah)
Nobody can substitute you, baby yeah
Cause I only know you
My heart and memory that have been deteriorated
Keep hurting me, yeah
(Yeah, listen)
After a long night, the sun definitely rises
After the rain, we will definitely look for the rainbow
(Hey)
I won’t give up no matter how scarred I am
I can’t, never let go
(Oh baby no more, baby no)
Till death, to me, it’s you only
(To me, it’s you only) oh no
Tell me why, tell me baby why (tell me why)
Without you, to me (to me)
There is no tomorrow
Yeah I can’t believe we came to this,
It’s breaking my heart
Woo hey yeah, oh no

Read more »

Ingin Mencari Mereka

mungkin saya telah lupa dengan beberapa kisah mereka. namun hal itu tidak menyurutkan minat saya untuk berjumpa lagi dengan mereka. saya rindu. sungguh rindu berkunjung ke perpustakaan untuk menghampiri mereka, para karya sastra angkatan balai pustaka yang sudah saya baca ketika saya masih berseragam putih biru.

dan sekarang saya bertekad untuk mencari mereka kembali. saya ingin membangkitkan nostalgia zaman saya ingusan dulu, zaman ketika saya mulai jatuh cinta dengan karya sastra yang tidak menye-menye, yang penuh cerita perjuangan dan kehidupan normal orang pribumi di tahun-tahun pra dan pasca perang kemerdekaan. dan beberapa karya sastra yang pernah saya baca adalah ini:

1. Merari Siregar - Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)
2. Abdul Muis - Salah Asuhan (1928)
3. Marah Rusli - Siti Nurbaya (1922)
4. Tulis Sutan Sati - Sengsara Membawa Nikmat (1928)
5. Anak Agung Panji Tisna - Sukreni Gadis Bali (1936)
6. Idrus - Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, kumpulan cerpen (1948)
7. Mochtar Lubis - Jalan Tak Ada Ujung (1952)
8. Ajip Rosidi - Pertemuan Kembali (1961)
9. Ali Akbar Navis - Robohnya Surau Kami – 8 cerita pendek pilihan (1955)
10. Umar Kayam - Para Priyayi
11. Umar Kayam - Jalan Menikung
Read more »

Bleh

Yang selalu terang-terangan bilang kangen sama saya cuma si bleh, lelaki kosan gang sembilan yang aduhai menggoda. Yang tiap kali saya lihat selalu menimbulkan hasrat untuk memilikinya (ngemeng epeh). Dia tidak seperti si "ndasmu" gang sebelas yang pandai bikin orang sakit hati. Si bleh malah sebaliknya. Dia adalah lelaki yang bikin saya ketawa kalau lagi berdua dengannya. Meskipun kadang cuma ngoceh soal film-film Holliwood yang asing bagi saya dan film-film Korea yang asing bagi dia,

"ndut, nduwe film anyar opo?"
"gak nduwe bleh, eh onok sih tapi film korea. iku nang harddisk eksternal"
"Zzzzzz"
"ups. hehehe"
.....
"eh iku film judule opo bleh?" kataku sambil menunjuk layar laptopnya.
"Alice in Wonderland"
"owalah...ternyata iki tah film'e. aku durung nate nonton"
"Zzzzzz"
"hehehehe"

Sejak pertama kenal, dia sudah memanggil saya ndut. Hey, saya nggak gendut. Saya berisi, seksi. Tapi mungkin bagi dia yang berpostur tinggi dan badan kurus ideal (nggak kerempeng) dan sempurna (mata mulai jelalatan) dengan garis rahang yang aduhai kokoh serta rambut-rambut halus tertanam rapi di sekitarnya, kumis tipis yang dicukur tidak rapi, hidung yang jika saya ukur adalah tiga kali lipat mancung hidung saya dan sorot mata meneduhkan yang dilindungi bulu mata lentik dan alis yang hampir menyatu ujungnya, rambut ikal yang ketika saya jengkel dengan dia selalu jadi sasaran untuk dijambak, saya adalah tipikal perempuan yang "lebih" sedikit. Oleh karena itu dia memanggil saya ndut sejak awal. Dan bahkan dia sama sekali belum pernah memanggil nama saya. Iya, saya masih sangat ingat sampai sekarang dia selalu memanggil saya ndut. Dan lucunya lagi, saya ndak pernah menanyakan nama aslinya siapa. Yang saya tau cuma jojo saja dari nickname akun xxxxxxxnya. Apakah namanya Jonatan? Joshua? Johan? atau malah Jomblo? kekekeke.

"bleh itu artinya apa sih ndut?"
"nggak tau. hehehe"
"lha kok manggil bleh?"
"ya biarin. buat seru-seruan aja"

Setiap kali saya sama dia, yang kami lakukan adalah ngopi di kedai kopi langganannya sambil mainan laptop. Biasanya dia menyalakan laptop karena urusan pekerjaan. Sedang saya cuma ngegame atau paling banter ya donlot film dan drama korea kesukaan saya. Saya ndak tau kerjanya si bleh dimana. Tapi dia sering ke luar kota buat ketemu klien. Dan yang saya tau dia adalah sales representative perusahaan tempat dia bekerja.


Bleh adalah kakak angkatan saya di FEB Unair. Tapi dia bukan dari jurusan manajemen seperti saya, dia jurusan akuntansi angkatan 2005. Rumahnya Gresik. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara, sama seperti saya. Bleh kelahiran 1987. Jadi, umur dia sekarang menuju 27. Angka seksi versi saya, hehehehe.


Dulu, si bleh ini adalah orang yang paling rajin menanyakan kabar skripsi saya. Setiap kami bertemu, biasanya hal pertama yang dia tanyakan adalah "piye ndut skripsimu?" lalu saya akan menjawab "sebulan ndak ketemu kok yang ditanyain skripsi? kok ndak nanyain kabar orangnya?" kemudian dia membalas dengan santainya "orangnya udah keliatan baik-baik saja, kan?" dan saya cuma bisa nyengir. hehehe.


Bleh adalah orang pertama yang selalu saya telpon dan saya datangi ketika saya menangis karena "ndasmu" gang sebelas itu. Bahkan saat tengah malam pun dia akan mengangkat telpon saya. dengan sabar dia akan mendengarkan semua cerita saya sambil merem melek menahan kantuk. bleh selalu bilang "cari laki-laki lain saja. dia ndak baik buat kamu" dan dalam hati saya bilang, kalau laki-laki itu kamu boleh ndak? (dikeplak si bleh. hehehe)

Gang kos saya dengan Bleh cuma beda enam gang, kosnya berada di seberang jalan, jalan kakipun lima menit sampai. Sedangkan kosan Bleh dengan Ndasmu cuma beda dua gang, namun di seberang juga. Jadi, jika diurutkan adalah gang tujuh kos saya, gang sembilan kos si Bleh dan gang sebelah kosan si Ndasmu. Dulu saya selalu iseng buat maen ke kosnya si Bleh. Siapa tahu di jalan ketemu si Ndasmu. Ya niatnya sih membuat dia cemburu. Tapi sayangnya saya ndak pernah ketemu si Ndasmu kalau maen ke kosnya si Bleh.











Read more »

Hati

aku adalah aku. satu-satunya fakta yang akan kupegang. soal pandangan orang, mereka punya mata. bukan urusanku bagaimana mereka menggunakan panca inderanya untuk melihat atau bahkan mengintip sekalipun. siapa peduli?

*

lampu kamarnya remang. bohlam seukuran dua setengah watt berwarna keemasan menerangi sebagian ruang berukuran dua kali empat meter itu. lampu tidur yang seharusnya mengantarkannya pada waktu menunggu untuk lelap tidak kunjung juga membuat matanya berat. ada sisa kantuk yang tergantung di matanya, namun tak cukup mampu membuat otaknya berhenti bicara.

otaknya bicara. kepalanya sekarang penuh bebunyian asing yang sangat bising. jika saja dia berani menenggak obat tidur yang pernah dibelinya di apotek beberapa saat lalu karena insomnia parah, pasti sekarang ruhnya sudah berkeliaran di dunia mimpi.

namun tidak kali ini. meskipun tubuhnya telah telentang di atas kasur dan lelaguan sendu yang selalu mengantarnya tertidur samar-samar muncul dari balik ponsel bututnya, matanya tidak mau terpejam juga. padahal setengah jam sebelumnya rasa kantuk begitu mendera.

sebuah notifikasi komentar pada status facebook yang baru saja dia tulis muncul. dari orang asing. sebuah komentar yang sangat menyinggung muncul. orang asing yang tidak mengenalnya sok peduli. membaca komentar seperti itu membuat hatinya sakit. emosinya naik beberapa level. padahal dia baru saja menyelesaikan satu episode Running Man yang membuat perutnya sakit karena tidak berhenti tertawa. namun sekarang, dia ingin menangis karena menahan amarah yang bergejolak di dadanya.

pedih. perempuan itu merasakan sakit hati luar biasa. jiwanya memang sedang labil karena periode bulanan yang selalu menyiksa dinding rahimnya baru saja datang.

"di kepala saya isinya bisnis, bisnis, bisnis dan bisnis. trus kapan mikirin jodoh? kapan kapaaaaaaaaaaaaaaaan :v"

X: Gak bagus lau Cewe terlalu ngesampingkan jodoh. Harusnya jodoh dulu baru bisnis

Y: terimakasih
atas responnya. tidak usah sok menasehati saya. tolong anda tidak perlu
ikut campur urusan pribadi saya. saya pikir setiap orang punya target
sendiri dan berhak menentukan jalan hidupnya. bagi saya, jodoh sudah
diatur Allah. dia akan datang sendiri ketika saya sudah siap lahir dan
batin. kalau belum siap ngapain juga mikirn jodoh segala? aneh.

X: Karepmu

Y: shipal. ya saekkia, sok tau dan sok ikut campur padahal nggak kenal, BLOCKED!!!!


ya. tanpa pikir panjang, perempuan itu menekan tombol unfriend dan block. di akun orang asing itu perempuan itu tidak butuh orang asing yang sok peduli dengannya. orang asing yang tidak tahu bagaimana kondisinya memang seharusnya dimusnahkan dari jaringan pertemanannya. perempuan itu memang sangat tidak menyukai orang-orang yang tidak dikenalnya nyelonong masuk ke dalam urusannya.

mungkin tujuannya baik, menasehati. namun perempuan itu tidak mampu melihat dimana letak kata-kata ramahnya. orang asing itu perlu belajar bagaimana cara memberikan komentar yang baik dan benar di status orang yang tidak dikenalnya.

orang terdekatnya sekalipun tidak tahu alasan kenapa sampai sekarang perempuan itu masih betah menyendiri. dibiarkannya saja mereka beranggapan bahwa perempuan itu gagal move on. orang-orang yang mengenalnya dan melabeli dirinya dengan perempuan yang gonta-ganti pasangan yang tak tahu bagaimana keadaan dirinya diabaikan. dan bahkan keluarga terdekat pun tidak tahu bagaimana sebenarnya hatinya. kebenaran hanya dia dan Tuhannya yang tahu.

bukankah selalu ada privasi dalam diri setiap manusia? bukankah ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dibagi dengan orang terdekatnya sekalipun?

perempuan itu menyengaja diam. perempuan itu tidak ingin membagi apapun kepada siapapun. sebab, perempuan ini masih punya Tuhan untuk dijadikan tempat tujuan. tidak ada telinga sesabar Tuhannya dalam mendengarkan segala curhatan. dia masih punya Tuhan yang bisa andalkan. Tuhannya, Allah Yang Maha Mendengar.

pada hakekatnya setiap manusia nantinya juga akan menemukan pasangan yang sudah Tuhan gariskan di dalam sebuah hubungan pernikahan. namun untuk sampai pada satu titik pertemuan agung itu, setiap manusia punya cara sendiri dalam melaluinya, setiap manusia punya pilihan berbagai macam cara untuk sampai pada tujuan itu, setiap manusia diberikan waktu dan tempat berbeda untuk bertemu calon jodohnya.

setiap manusia punya alasan sendiri kenapa dia masih betah sendiri. hubungan yang penuh keberkahan itu belum bisa dia jadikan tujuan sekarang. bukan karena tidak ingin. perempuan mana yang tidak ingin menikah ketika melihat teman-teman perempuannya berbahagia bersama pasangan halalnya?

jodoh tidak akan lari kemana-mana nduk. jodoh akan datang ketika lahir dan batinmu telah siap. jodoh akan datang di waktu dan tempat yang tepat. Allah memang masih menyimpannya ketika melihatmu sedemikian tak siapnya untuk berjumpa. Allah membuatmu dan dia sama-sama menunggu saat dimana hati kalian benar-benar mengatakan "Ya Allah, hamba ingin menikah dengannya" ketika menemukan pandang secara bersamaan.

mereka. orang yang telah berpasang-pasangan adalah mereka yang sudah jatuh tempo untuk segera memulai kehidupan baru. kau belum siap untuk ke sana, nak. jiwamu masih menolak. banyak hal yang masih ingin kau cari, kau capai. bukankah kau bertekad bulat akan meninggalkan semua hal yang kau sukai ketika menikah nanti? bukankah kau ingin menghabiskan beberapa tahun untuk berkarir dahulu, menikmati apa yang kau suka seperti jalan-jalan bersama teman-temanmu, melakukan apa saja semaumu?

katamu kau ingin mengabdi dengan sepenuh hati. bukankah kau bilang jika nanti menikah, kau tidak akan bekerja di luar rumah dan membangun bisnis sendiri? kau ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk anak dan suamimu kan? kau ingin mengurus anakmu dengan kedua tanganmu, dengan segenap jiwa ragamu siang malam. kau ingin mengajari mereka lewat lisanmu dan segala ilmu yang telah kau dapat ketika belajar selama ini. kau ingin patuh pada suamimu dengan bersedia di rumah, mengurus segala keperluannya, dan menjadi istri yang baik untuknya, yang menghormatinya dan menjaga martabatnya. kau ingin menjadi ratu di rumahmu. kau ingin menjadi perempuan yang sukses mendidik anak dan menjadi istri yang dibanggakan oleh suami.

oleh karena itu, kau memang masih membutuhkan waktu untuk menata semua satu per satu. untuk menuju ke sana, kau harus fokus. dan sekarang fokusmu belum di situ. jadi bersabarlah wahai hati....kau masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri menjadi perempuan yang pantas untuk berdiri di sampingnya dan berdiri di belakang shaf sholatnya.

lakukan saja apa yang hatimu katakan. jangan hiraukan mereka. percayalah bahwa jodoh tidak akan lari kemana-mana. rantai pengikat yang Allah ciptakan dari kau belum lahir di ujung jari manismu dan lelaki itu begitu kuat. percayalah...percayalah bahwa segala sesuatunya adalah atas kehendakNya. tidak ada yang tahu jika suatu saat nanti hatimu dan hatinya klik hanya dengan satu pertemuan saja, kan? Wallahu'alam.

gunakan waktumu sebaik mungkin. kau bukan remaja SMP atau SMP lagi yang begitu menggandrungi masa pacaran. ingat kau sudah dewasa. kau tahu bagaimana gaya bahasa cinta orang dewasa. saling mendoakan dalam diam. ya. saling mendoakan.













dan perempuan itu akhirnya tertidur setelah tasbih yang ibunya berikan tergenggam di tangannya. satu putaran penuh menyebut nama Allah mempermudah rasa kantuknya datang. namun sebelum benar-benar terpejam, dalam hatinya sempat menyebutkan satu nama yang sering datang ke mimpinya. ya. nama itu. nama yang masih sangat kuat mengakar di dalam hatinya. lelaki yang hanya bisa dia temui di alam mimpi.

Read more »

Jera

dia suka bermain dengan langit, bermain dengan malam, bermain dengan
kegelapan. perempuan itu menyukai takdirnya tak terpejam di tengah malam.





tanpa rasa takut, dibukanya pintu lantai dua rumah kosnya. di luar sana ada
balkon yang biasa digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. tepat di depan
balkon ada atap rumah yang melindungi lantai satu dari panas dan hujan. atap
yang sering mereka sebut genteng itu sangat mudah untuk dinaiki dalam sekali
percobaan. biasanya ketika suntuk tiba, perempuan itu tanpa ragu naik ke atas
genteng. dia duduk santai di atasnya sambil menikmati angin malam yang
membelai.

tubuhnya rebah di atas genteng. kedua tangannya dijadikan bantal. kedua kakinya disilangkan.

di atasnya bintang bertaburan. langit malam menunjukkan kemagisan. ada beberapa bintang yang berkelip manja padanya. ada beberapa pula yang mengajaknya untuk menari bersama. ada sorakan di atas sana. ada lambaian untuk bergabung dalam pesta. ilusi. itu ilusi.

matanya mengerjap resah. ujung hidungnya mulai merah. tenggorokanya rasanya seperti disumpal. rahangnya mengeras menahan diri untuk tidak marah pada kenyataan.

mendapati lagi tentang bayangan kejadian-kejadian yang sempat membuat
uratnya menegang sebelum-sebelumnya, matanya mendadak berair. ada
begitu banyak kesalahan yang telah dia buat, kecurangan, penipuan,
kebohongan, menyakiti orang lain yang ternyata terbalas juga oleh yang
lainnya.

pernah mendzalimi orang, maka akan didzalimi orang lain
lagi. bukankah seringkali kita mendengar tentang apa yang kau tanam,
itulah
yang akan kau petik? dan dia tak pernah lupa pepatah itu.

"ini adalah pembalasan. ini hukuman" serunya lirih.






"Tuhan, ampun. ini rasanya sakit sekali. Tolong aku" katanya lagi.

sesenggukan dia. meringkuk diselimuti angin di atas atap rumah. tubuhnya tidak merasa kedinginan, namun hatinya beku. beku hingga tak ada apapun yang bisa dirasakan. tangan dan kakinya gemetaran. dia takut jika tiba-tiba saja Tuhan mengambil nyawanya sedang dia belum sempat melakukan pengakuan dosa pada orang-orang yang telah dia dzalimi.

kebenaran yang dia sembunyikan nyatanya memang menjadi borok menakutkan, yang setiap saat bisa menghukum hatinya, yang mampu menghempaskan kebahagiaan duniawi yang dia bangga-banggakan.

"aku salah arah, Tuhaaaaan! beri aku jalan. aku takut. di sini gelap sekali. aku sendirian"

dia ingin meraung. mengerang. berteriak lepas. dia ingin semua telinga orang ditulikan sepuluh detik saja. dia ingin jejeritan di atas sana. dia ingin membunuh jenuh dan rasa sakit yang menelan mentah - mentah kebahagiaan yang dia dambakan.

telah dia rendahkan dirinya di hadapan mereka, telah dia tekan egonya, telah dihilangkannya rasa malu, telah dia usir kesombongan yang menjadi bedaknya setiap hari. dan kemudian dia merangkak bak seorang budak untuk meminta pertolongan, meminta sedikit air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

perempuan itu merasakan bahwa dirinya begitu hina. rasa jijik hinggap di hatinya. dirinya sendiri merasakan bahwa tak akan ada seorang manusia berhati iblis sekalipun yang akan mengajaknya bicara. dia merasa telah terusir dari golongannya. haruskah dia pergi ke tengah belantara hutan agar merasakan ketenangan? jauh dari rumah dan orang-orang yang dikenalnya? apakah mengasingkan diri adalah pilihan yang tepat?

rasanya dia hanya akan sendiri sampai hutangnya terlunasi. dia hanya akan ditemani penyesalan sampai penyakit mematikan itu menghilang dan sisa umur yang Tuhan berikan benar-benar dibuat untuk menebus segala kesalahan.

"jangan ambil nyawaku sebelum segalanya kembali seperti semula"








tetes-tetes hujan mendadak jatuh di atas wajahnya. matanya yang sedari tadi terpejam, perlahan mengerjap. dirasakannya tubuhnya mulai basah setelah hujan benar-benar jatuh tanpa jeda. akhirnya dia bangun. kedua kakinya ditekuk. dipeluknya sendiri lututnya. sisa-sisa air matanya melebur jadi satu bersama hujan. kemudian dia teruskan.







"ku sudah jera. Tuhan, ku sudah jera" jeritnya dalam hati.

Read more »

Hehehe

"kok baunya begini?" hidung kucingku membau sesuatu yang tak lazim ada di ruang makan.

setelah membukakan pintu rumah dan membereskan tas serta sepatu suamiku, aku mendekati meja makan.
"mas, ini apa?" separo berteriak aku bertanya kepada lelakiku yang baru pulang dari kantor sambil mengamati bungkusan plastik hitam yang tergeletak malas di atas meja.

"mie pangsit, sayang..." seru suamiku dari dalam kamar.
pangsit? mie pangsit? tapi baunya kok kaya'....dengan cekatan kututup hidungku. suamiku sepertinya salah beli, pikirku.


suara sandal suamiku mendekat. seret kaki yang sering ku eluhkan di setiap kesempatan itu sampai di belakangku setelah berhasil membersihkan dirinya di kamar mandi. mas, kalau jalan jangan diseret dong, saru, nggak elok...mas, kalau jalan jangan bungkuk dong. nggak baik buat kesehatan tulangmu.

sambil merangkul bahuku, dikecupnya puncak kepalaku, kemudian dia membimbingku untuk duduk di kursi makan.

"katanya pengen mie ayam? itu tadi ketemu di perempatan komplek. keinget kemarin kamu ngoceh kepengen makan mie ayam di WTC. weekend kan masih lama, jadi daripada anakku nanti lahir ngiler ya aku belikan seadanya. hehehe" ujar suamiku santai, sambil menebar guyon. tapi mas...ini baunya...anu.....
"yee.....yang hamil siapa? kan cuma pengen mas..."
"ya siapa tau aja kalau hamil tanpa sepengetahuan? kan kita belum ke dokter" goda suamiku.
"orang lagi menstruasi kok hamil?" kataku sambil mengacak-acak rambutnya yang mulai panjang. lalu mencubit pinggangnya yang ramping.
"sudah...ambil mangkok sana, dimakan mienya. nanti keburu dingin jadi nggak enak lho"


krik...krik...krik....


aku menatap bungkusan kresek hitam dan wajah suamiku secara bergantian. seribu persen aku mengenali bau ini. ini bukan bau mie ayam, ini bau....bakso. hiks. aku nggak suka bau bakso. aku nggak doyan bakso.... suamiku sayang....masa iya kamu lupa hal ini? batinku ngeluh.
"tapi mas....anu...."

"kenapa dek?" tanya suamiku setelah mengetahui perubahan air mukaku.
"anu mas....itu...kok bau bakso ya?" tanyaku hati-hati.
"bau bakso? enggak lah, kan aku belinya mie ayam sayang..." jawab suamiku sambil mencubit kedua pipiku.

tapi mie ayam yang kuahnya pake kuah bakso ya mas? yang jualannya jadi satu sama bakso ya mas? bibirku mengerucut menahan sebal.

mengetahui diriku masih tetap diam di kursi, suamiku akhirnya berdiri menuju rak piring. diambilnya mangkok berserta sendok dan garpunya. sepertinya dia tidak peduli meliat ekspresi wajahku yang mulai eneg. dia tidak tahu bagaimana sulitnya bernapas lewat mulut seperti ini. hidungku sensitif sekali ketika membau hal beginian. perutku mulai mual. baunya sumpah....bikin mau muntah.

suamiku membuka kresek hitam di atas meja. di dalamnya ada bungkusan plastik warna bening yang isinya adalah kuah dan bungkusan kertas minyak yang isinya mie. dengan cekatan suamiku menyiapkan mie dan kuah. dicampurkannya juga kecap manis, saos, dan sambel serta acar dan sawi ke dalam mangkok. kemudian mengaduknya dengan sumringah.

suamiku sedang sakit ingatan kah?

bau di depan mataku sungguh membuatku ingin meluncur ke kamar mandi. ini bau bakso. bukan bau mie ayam. suamiku....lupa kalau aku tidak menyukainya. dalam hati rasanya mau nangis.

"ini....ayo dimakan" disodorkannya mangkok yang katanya mie ayam itu ke depan mataku. bau yang muncul sangat menyengat. ini bau kuah bakso. perutku mendadak mual.

aku mengamati mie ayam dengan enggan. aku tidak bisa memakannya, mas. aku mau muntah. ekspresi "tidak mau" sudah kutunjukkan. namun lelaki yang duduk manis sambil menebar senyum mautnya sama sekali tak peduli. malah dia menawarkan diri untuk menyuapiku.
"nggak usah mas...biar aku makan sendiri. hehehe" kataku sambil cengengesan.

masa iya aku kudu nolak pembelian suamiku, aku jadi istri durhaka nanti. maka dengan sepertiga hati, kupaksakan menyendok mie itu dan memasukkannya ke dalam mulutku

kerongkonganku sepertinya melakukan penolakan. telah terjadi sinkronisasi antara hidung, kerongkongan, dan perutku secara bersamaan. eneg seketika muncul dengan sangat cepat. sangat eneg. satu suapan yang kupaksa masuk ke dalam mulutku tak tersentuh oleh kerongkongan. gigiku gemeretak memaksa mengunyah. lidahku merasakan janggal. kerongkonganku tidak mau dimasuki. dan perutku akhirnya mengaduh.

"huoooookkkkkk............." satu suapan itu keluar lagi. jatuh di atas tangan kananku. dengan sigap tangan kiriku melambai pada suami untuk mengambilkan tisu yang berada tidak jauh dari jangakaunnya.
"dek!" suamiku kaget. secepat kilat dia mengambil tisu dan terduduk di sampingku.
"dek, kamu nggak apa-apa?" tanyanya panik.
"nggak apa-apa apanya?" seruku menahan mual yang masih sangat. aku menangis karena muntah, seperti biasanya. aku selalu menangis ketika gagal melahap sesuatu yang memang tidak kuinginkan. aku menangis histeris kali ini. suamiku jahat sekali.

suamiku bergegas menuangkan air putih. memintaku untuk segera minum.
"kamu jahat mas" kataku setelah berhasil meneguk satu gelas penuh air putih yang diambilkannya.
"maaf dek maaf"
"mas lupa ya kalau aku nggak bisa makan sembarang mie ayam? mas pasti beli mie ayam di tempat yang juga jualan bakso kan? itu kuah bakso mas. aku kan nggak bisa makan itu" ujar berapi-api sambil sesunggukan di depannya.

melihatku menangis sehisteris itu, suamiku mendekat. kedua tanganya menangkup wajahku, diusapnya air mataku yang meleleh.
"mas minta maaf...."








"mas nggak pernah lupa kalau adek nggak bisa makan sembarangan mie ayam. mas juga nggak lupa kalau adek ini nggak bisa makan daging selain ayam. mas nggak lupa kalau adek nggak bisa makan rawon, sate, masakan western, masakan jepang, bal bla bla. adek ini nggak makan daging. adek ini nggak mau makan mie ayam di tempat yang ada baksonya. mas nggak lupa tentang apa aja yang adek nggak bisa dan nggak mau makan"

"trus kenapa mas beliin aku mie ayam kaya' gitu tadi? seharusnya mas tahu ketika beli!!!"










"mas sengaja"

aku mengerutkan dahi.













"mas sengaja bikin kamu nangis di hari ke seratus kita menikah"
Read more »

Aku Tidak Segila Tiara

sekiranya aku hanyalah angin yang meniup sebentar saja, boleh lah aku mencium wangi cinta yang pernah menguar bebas di relung hatimu, untukku dulu? 
aku baru menyadari bahwa cinta begitu sangat kuat terasa ketika semua telah tiada. memilikimu kala itu tak kubantah bahagianya. dan itu surga dunia.
hatiku dibalut rindu sampai rasanya mau kuregang sadarku, aku ingin berlalu dari duniaku dan menemukanmu. haruskah kumelutut membunuh angkuh untuk memohon belas kasihanmu?
rasanya urat maluku menghilang setelah kau hilang, akal sehatku tak lagi bekerja sebagaimana mestinya. bisa kau tidak pergi dan tetap berdiri di samping perempuan ini?
lalu ketika kenangan menerbangkan kenyataan, haruskah aku bersembunyi di bawah kolong langit dan berseru seolah tidak terjadi apa-apa?

aku berdusta pada perasaku...sebuah tempat tak terjamah mengaduh resah...tangisku pecah.



***

pintu kamarnya akhirnya terbuka. balkon yang sudah tiga hari ditinggalkan akhirnya ditemui juga. di balkon selebar satu setengah meter itu angin menerbangkan rambutnya yang sudah tiga hari tak terawat. tali rambut yang sekarang tergantung bebas di ujung rambutnya hampir merosot. anakan rambut yang tak teratur melambai-lambai di sekitar wajahnya yang tampak murung. sambil memegangi sweater tipis berbahan rajut yang telah membungkus tubuhnya selama hampir tiga hari tiga malam, perempuan itu meraih kursi di belakangnya dan menyeretnya mendekati beton pelindung balkon.

malam tampak bersahabat rupanya. keinginan perempuan itu untuk menikmati awan malam serta gugusan bintang tercapai juga. bahkan bulan meskipun tampak malu mau juga menampakkan sedikit wajahnya di hadapan perempuan yang yang kini tengah duduk atas pagar beton. kedua kakinya menjuntai ke udara. kedua tangannya menumpu tubuhnya. matanya mulai mengamati langit malam ketiga setelah semua tiada. di hadapannya berjajar perumahan yang tingginya tidak rata. lampu-lampu yang datang dari gedung apartemen dan bangunan setinggi langit yang tidak jauh berdiri kokoh dari tempatnya menambah hangat malam. andai saja ada gitar, kopi, dan selinting kretek pastinya malam akan nampak sempurna.

"jangan merokok lagi. kau perempuan. tak elok" kata-kata itu terlintas begitu saja ketika membayangkan kretek. tak heran jika selama tiga hari dia memenjarakan tubuhnya di kamar, tidak ada selinting kretek pun yang keluar dari bungkusnya.

baru tiga hari, tapi rasanya seperti tiga bulan.

sejenak dibuangnya napas panjang. sekalipun sudah diusahakannya untuk membuang jauh-jauh kenangan tentang lanang itu, hati dan otaknya memberontak, menolak. rasa sakit pun sepertinya tak cukup kuat untuk menyuruh lanang itu pergi dari benaknya. sebegitu kuatnya kah cinta yang sudah mengakar di hatinya sampai rasanya nalar tak pernah sampai bisa bicara.

"lebih menderita tanpa kretek atau tanpaku?" mendadak Adhitya bertanya setelah berhasil melucuti kretek dari bibir perempuannya. sebelah tangannya telah bersiap untuk merampas kreteknya dari tangan Adhitya, namun gagal. gerak sigap Adhitya berhasil menangkap tidak hanya tangan namun juga tubuh perempuannya.

di dalam rengkuhan lengan Adhitya, perempuan itu dengan entengnya bicara, "kamu itu candu. kamu adalah kretekku. mana mungkin aku bisa hidup jika tak ada kalian berdua? aku akan sangat menderita. aku bisa mati. atau jika mati terlalu menjijikkan maka aku akan gila saja"
"kematian adalah pamungkas, penutup sayang. saat kau mati, itulah saat terakhir untuk berhenti mencintai. dan kalau kau gila itu lebih parah lagi, seluruh memori lamamu akan terhapus begitu saja. kau tidak punya kenangan apapun untuk dibanggakan"

dia meninggalkan perempuan itu sendirian. tapi tidak mati. lanang itu pergi ke rumah yang lain, kepada perempuan yang hampir mati karena bunuh diri. keluarga Adhitya marah besar ketika mendapati Adhitya membuat sakit hati dan jiwa perempuan anak anggota seorang pejabat terkemuka di kota asalnya. perempuan bernama Tiara itu sedang terkulai lemas dengan selang bantuan pernapasan menancap di hidungnya ketika Adhitya mendatanginya. iba dan rasa bersalah berkecamuk jadi satu di dadanya.

Namun Adhitya akhirnya membuat pilihan. Adhitya memilih perempuan gila bernama Tiara. berat memang. tapi Adhitya tidak mungkin membangkang keluarganya dan membuat Tiara, anak satu-satunya itu mati sia-sia karena cinta. dan Adhitya mengalah. bukan. bukan Adhitya yang mengalah. tapi perempuan yang mencintai Adhitya sama seperti Tiara itulah yang mengalah, yang berkorban. yang rela membunuh rasanya demi satu nyawa yang hampir hilang. perempuan itu mundur teratur.

perempuan itu juga ingin mati saja sebenarnya. bagaimana bisa dia hidup tanpa Adhitya. separuh jiwanya itu pergi. tubuhnya sudah tak lagi seimbang. lalu mau apalagi kalau bukan mati?

perempuan itu menangis. mengiba dalam diam agar Adhitya tidak pergi begitu saja. lewat matanya yang basah, dia bicara. namun Adhitya bergeming. rahangnya mengatup rapat saat perempuan itu meninju-ninju dadanya. perempuan itu meraung sampai tetangga kamarnya bingung. Adhitya memeluknya. ditenangkannya perempuan itu dalam keadaan linglung.

dan tiga hari yang lalu adalah pernikahan Adhitya dengan Tiara. perempuan itu memutuskan untuk mengurung dirinya di kamar. mematikan saluran telepon dan tidak membuka semua ketukan. dibiarkannya tubuhnya terkulai di atas kasur. dia tidur dan hanya bangun ketika harus ke kamar mandi. tidak diacuhkannya lapar yang mencengkeram lambungnya. dia rasa lambungnya lebih kuat dibanding hatinya.

dan kini setelah dirasanya cukup, perempuan itu membuka pintu belakang kamarnya, tempat dimana balkon yang biasa dia tempati bersama Adhitya ketika melepas rindu.

sakit memang, namun bukankah akan lebih sakit lagi jika sakit itu terus dimanjakan? bukankah masih ada kehidupan yang harus dijalankan sekalipun Adhitya telah meninggalkannya?

"Dhit....hatiku remuk redam seperti dipalu. seluruh dayaku rasanya terlolosi satu per satu. aku tak lagi punya gairah untuk melanjutkan hidup. bagaimana bisa kuhadapi matahari esok pagi jika matahariku saja sudah sirna?" perempuan itu mulai meracau.

"tapi aku harus kuat, aku kuat, daya tahan tubuhku kuat. sebenarnya aku ingin mati karena kelaparan. tapi Tuhan tidak mengizinkan demikian" perempuan itu menyeringai.

"Dhit, ternyata aku harus bersyukur karena aku tidak memilih gila ataupun mati seperti apa yang dulu aku katakan padamu. Tuhan memilihkanku jalan. aku lebih memilih hidup dan menjaga napasku tetap ada agar aku bisa selalu mengingatmu ketika aku rindu"

"sekarang, aku bisa bersyukur karena kita tidak dipisahkan oleh kematian. itu saja"








****

seorang perempuan menangis. memegangi jantungnya yang nyeri ketika menuliskan ini. sebuah ilusi yang didasarkan pada pengalaman pribadi membuat jiwanya agak terguncang. adakah rindu tertanam di hatinya? adakah sedetik dua detik lelaki itu merindukan perempuan yang hampir gila karena memendam rasa? sakit hati nyatanya tidak secanggih kata orang untuk dapat melupakan kenangan. rasa benci tidak serta merta membuat segalanya bertambah mudah untuk meninggalkan. malah yang ada selalu datang kesempatan untuk merindukan.

pernikahan (berpacaran) tidak akan pernah menghalangi seseorang mencintai orang lain. namun tetaplah dalam diam dan mendoakan agar dia dilimpahi kebahagian. kau akan benar-benar sadar bahwa memang terkadang cinta tidak harus memiliki. kalau mereka bilang jika cinta tanpa memiliki adalah omong kosong, biarkan saja. tidak sedikit orang yang telah menikah masih mendambakan cinta pertamanya. di dalam hatinya yang terdalam, ada cinta yang tak bisa padam begitu saja. begitu pun cinta perempuan ini kepada seseorang yang lama telah lama dipendamnya. baginya, dengan bisa melihatnya baik-baik saja adalah kecukupan materi yang luar biasa.







"melihatnya berdua dengan perempuannya memang membuatku patah hati. tapi tenang, aku tidak akan melompat dari balkon sekalipun aku sedang tidak baik-baik saja. aku tidak segila Tiara!"
Read more »

Koma

late post.


Akhinya aku berhasil menemukan peron 3 (bukan peron 3/4 di serial film Harry Potter) setelah sebelumnya sempat hampir salah naik eskalator menuju peron 1 dan 2. Ya, eskalator penghubung ruang tunggu di lantai satu itu memang terhubung ke empat peron stasiun Gambir. Eskalatornya ada dua, satu penghubung ke jalur 1 dan 2, satunya lagi penghubung ke jalur 3 dan 4. Karena kedatanganku tadi masuk melewati pintu utara, maka eskalator yang terpampang di hadapanku adalah eskalator jalur 1 dan 2, bukan 3 dan 4. Oleh karena itu aku hampir salah naik jika saja tadi tidak mendengarkan instruksi petugas stasiun. Ya untungnya telingaku cukup cermat mendengarkan petugas berkoar-koar dari balik...tempat kerjanya, yang mengatakan bahwa kereta Bangunkarta telah "mandek" di jalur 3.

Bergegas kulangkahkan kaki menuju eskalator tanpa menoleh ke belakang -eskalator yang berhadapan dengan pintu selatan pemeriksaan tiket. Sebelum naik,kusempatkan bertanya -untuk memastikan bahwa telingaku tidak salah dengar- pada petugas berseragam yang berdiri didekat eskalator soal jalur kereta yang akan membawaku kembali ke Surabaya.

Kunaiki eskalator dengan kaki gemetar. Rasanya di dadaku mulai ada gejolak yang membahayakan. Kubuang napas panjang. Ini sudah berakhir...

Kereta Bangunkarta berada di depan mataku sekarang. Aku berdiri di peron dalam keadaan tangan gemetaran. Rasanya ingin cepat masuk gerbong dan duduk untuk menenangkan diri. Aku akan pulang. Ya aku akan pulang, batinku sambil menggigit bibir, menahan sesuatu yang hendak erupsi.

Dengan berbekal tiket yang belum kukantongi aku bertanya pada mbak-mas pramu...petugas kereta yang selalu berdiri di depan pintu kereta eksekutif, tentang gerbong keretaku. Dia kemudian menunjuk beberapa gerbong dibelakangnya. Sebelum bertanya, sebenarnya aku sudah tahu dimana gerbong tempatku duduk. Aku hanya basa-basi saja. Eksekutif 6 ada di belakang,tentunya. Tapi, demi memastikan kebenaran apa salahnya bertanya. Kata orang, malu bertanya sesat di jalan kan? Ya, malu bertanya, bisa salah naek gerbong kereta.

Gerbong 6 masih sepi, hanya empat atau lima orang yang telah duduk dikursinya masing-masing.
Kulihat Eksekutif 6 kursi 3B masih kosong. Beruntungnya diriku jika kepulanganku nanti aku sendiri lagi, seperti pada saat aku berangkat satuminggu yang lalu. Aku bisa menguasai kursi. Bisa seenaknya gerak kesana-kemari.Dan juga bisa....itu.

Duduk di dekat jendela adalah surga dan neraka. Surga adalah ketika bisa menatap langit Jakarta yang mulai gelap dan beberapa gedung pencakar langit beserta keramaian yang minta dilambaikan tangan. Neraka adalah kursi di pinggir jendela merupakan tempat terkutuk bagi mereka yang keadaan jiwa dan hatinya sedang nelangsa. Bisa dipastikan galau selalu datang ketika duduk di pinggir jendela. Dan aku mengalaminya.

Setelah berhasil menaruh tas jinjing ke bagasi di atas kepala, aku duduk dengan...dengan kaki dan tangan yang gemetarnya masih tidak wajar, dengan keadaan jantung seperti kena tikam, dengan segala perasaan campur aduk.  Dan, sesuatu yang kutahan mendadak ingin tumpah ketika kupandang kaca jendela. Di sana terpampang sebagian kecil Jakarta yang seperti memelas minta jangan ditinggalkan. Hal itu semakin membuatku resah, gelisah. Ada rasa sesal yang mendadak datang ketika kunikmati menit-menit terakhir di sini. Namun aku masih belum tahu penyesalan apa itu. Hei aku akan pulang, batinku.

Jam belum menunjuk angka 17.45 dimana kereta ini akan beranjak dari Gambir menuju Surabaya Gubeng. Setelah cukup bercengkerama dengan jendela dan pemandangan beton-beton raksasa di luar sana, aku baru menyadari bahwa lelaguan yang meluncur dari balik layar televisi kereta adalah backsound yang tepat bagi jiwa-jiwa yang sedang galau apalagi jika posisi duduknya berada di dekat jendela. Suram. Inilah neraka yang kukatakan sebelumnya. Dan karena lagu itu, hati mendadak terasa sangat nyeri. Mungkin salah satu penyebab air mataku tumpah dengan sangat mudah adalah lagu itu. Di samping karena sesuatu yang baru beberapa menit lalu telah berlalu, lagu ini berkontribusi cukup banyak untuk membuat hatiku menjadi ngilu. Ini seperti adegan di layar kaca, semua terlihat seperti terskenario dengan apik. Adegan pisah, adegan berlalu, adegan naik kereta, adegan duduk di pinggir jendela, dan adegan....ini.

Aku menangis. Kugigit bibir bawahku, kututupi wajahku dengan syal untuk menyembunyikan tangisku yang memalukan ini. Aku tahu, akan ada banyak orang yang menggapku sebagai seorang perempuan gila karena menangis di dalam kereta. Mungkin mereka menerka kalau perempuan yang tengah duduk di pinggir jendela itu sedang galau maksimal, patah hati, atau berpisah dengan.....Ah seperti itulah. Aku tidak peduli, lha wong nangis datang sendiri kok mau ditahan, mana bisa.

Aku terus saja sesenggukan tanpa suara. Dadaku nyeri sekali. Hidungku sakit. Tenggorokanku tak ubahnya seperti disumpal durian. Rasanya hati mendadak sangat sakit karena suatu penyesalan terhadap sesuatu yang tidak aku tahu. AKu tidak tahu menyesal karena apa, tapi aku merasa ada sesuatu yang belum tersampaikan, yang belum kulakukan.

Air mataku terus saja keluar. Dia seperti minta dimanjakan, tidak mau mandek barang sebentar. Boleh lah kesedihan ini kumanjakan beberapa menit. Biarkanlah semua rasa tumpah ruah dengan menangis. Barangkali dengan menangis semua terselesaikan. Jika ada beberapa hal yang tak sanggup kusampaikan padanya, semoga dengan menangis membuatku lega. Namun, tangisku malah semakin menjadi ketika kudapati sebuah pesan singkat yang muncul di HP yang sedari tadi kukantongi.

"hati-hati ya mbak :)"


Satu setengah jam sebelumnya adalah pertemuan tak terdugaku dengannya.Seseorang yang sebenarnya sangat tidak ingin aku temui mendadak menghubungiku dan meminta bertemu. Ketika aku menginjakkan kaki di Jakarta seminggu yang lalu, aku memang tidak menghubunginya. Aku sengaja tidak mengabarinya. Aku menyengaja melakukan itu agar dia tahu bahwa keberadaannya tidak lagi berarti untukku. Entah darimana dia tahu aku sedang di Jakarta, mungkin karena beberapa status facebook dan twitterku, pasti. Sebodo amat lah, aku tidak merasa tertarik untuk mengetahuinya, aku tidak peduli. Dan ketika mendadak di malam sebelum aku pulang kudapati dia mengirim pesan singkat untukku, aku mulai ragu, harus kuiyakan atau kutolak mentah-mentah ajakannya untuk bertemu.

Harus kuiyakan karena aku tidak mau menjadi seseorang yang kejam di matanya sekalipun dia sudah melakukan sesuatu yang berdampak besar padaku. Aku tidak mau memutus tali silaturahim begitu saja. Namun di sisi lain, masih ada nyeri yang tertinggal di hati setelah satu bulan sebelumnya kutemukan fakta yang menyebabkanku kecewa, sakit hati, dan mendadak benci, yang membuatku sangat enggan untuk melihat dirinya lagi.

Aku tidak lupa, sama sekali. Tentang peristiwa itu...Ah betapa kecewa dan marahnya diriku kala itu sampai sebuah postingan kasar di dalam blogku dibacanya dengan...ah seperti itulah. Seharusnya wajar bagiku memberikan respon yang sangat...ya seperti itu. Wajarlah, seorang perempuan yang merasa....terdzalimi memberikan respon luar biasa sampai dia pun terkejut membaca umpatan kasarnya. Tapi ya sudahlah, toh aku juga berniat melupakan dan mengusirnya jauh-jauh dari hidupku. Tak kupedulikan lagi komentar yang muncul darinya tentang umpatan dan kata-kata kasarku padanya. Dan benar saja setelah itu kuacuhkan dia, tak kusapa dia, kubiarkan dia, aku mendiamkannya. Tentu saja aku tidak ingin berkomunikasi soal apapun dengannya, aku tidak mau.

Namun, aku tidak bisa mengacuhkannya kali ini. Aku tidak bisa. Naluri perempuanku mengatakan untuk tidak membuatnya kecewa. Sudah hampir setahun tidak berjumpa, mana boleh menolak ajakan untuk bersua barang sebentar saja. Mungkin dia punya itikad baik untuk...sekedar minta maaf mungkin atau ingin menyambung lagi pertemanan kami. Bah, pertemanan? aku tidak mau menjadi temannya. Namun dengan gaya sok jutek akhirnya kubalas juga pesan singkatnya, kuiyakan permintaannya untuk bertemu. Kuiyakan, ya kuiyakan. Aku memang tidak cocok untuk berlakon antagonis di setiap cerita cinta, tidak pernah bisa.

Dengan diantar oleh keluarga teman yang kuinapi selama hampir seminggu, aku berhasil sampai di Gambir sebelum jam untuk penukaran reservasi tiket online berakhir. Sebenarnya ketika di perjalanan tadi aku juga sempat meminta bantuan pada lelaki itu untuk mencetak tiketku di tempat print-out yang telah tersedia di stasiun Gambir. Itu harus dilakukan jika dia yang lebih dulu sampai di sana. Namun aku sedikit khawatir tentang permintaan bantuan itu. Pikiran konyol terlintas di kepala. Aku rasa, jika dia berhasil menolongku untuk mencetak tiket, hal yang kukhawatirkan pasti terjadi. Pasti nanti akan menjadi bahan lelucon darinya ketika akhirnya dia tahu nama lengkapku. Oh tidak bisa. Tidak bisa. Selama ini dia tidak tahu namaku yang sebenanya. Aku tidak menginginkan itu terjadi. Aku tidak mau dia tahu. Tidak.

Dan untungnya, ketika aku sampai di stasiun ternyata dia juga sampai disana. Hanya saja sepertinya aku yang lebih dulu masuk ke dalam ruang tunggu. Jadi tidak ada waktu baginya untuk menolongku, toh aku juga sudah berdiri antri di tempat print-out tiket dengan ditemani temanku. Oh bahagianya.

Beberapa menit kemudian mendadak HP bunyi. Lelaki itu menelepon. Bunyi percakapan kami seperti ini kira-kira:

L: Halo...
A: Mbak dimana?
L: Aku di tempat cetak tiket. Kamu dimana?
A: Aku di sana juga, mbak.
L: Loh masa'? dimana? (tanyaku sambil celingkukan kiri-kanan mencarinya)
A: Mbak pake kerudung ijo kan?
L: Lho kok tau? (aku celingukan lagi, mencarinya, namun nihil)
A: Tau lah..
L: Kamu dimana?
A: Ada deh..
L: ishh dasar....Sek bentar ya, aku mau nyetak tiket dulu.

Ternyata aku tidak bisa melakukan akting sok jutek ketika mendengar suaranya. Tidak bisa. Aku tidak bisa jahat padanya. Kepribadianku kembali seperti semula. Ini musibah. Dan sebaiknya aku berlaku biasa ketika nanti bertemu dengannya. Semoga bisa.

Terkadang Tuhan memberikan kita mata bukan untuk melihat hal yang nyata nampak di sekitar kita, selalu ada sesuatu yang terabaikan atau terlupakan keberadaannya. Aku punya mata untuk bisa melihat banyak orang berlalu-lalang di sekitarku, di belakangku, namun aku tidak bisa menemukan orang itu. Justru dia yang dengan mudahnya menemukan keberadaanku di tengah kerumunan orang. Mataku yang aneh atau matanya yang hebat?

Merasa diperhatikan seperti itu aku mendadak gugup, salah tingkah, meskipun aku tidak tahu tepat dimana dia berada. Apakah dia sedang duduk santai sambil menertawakan gestur tubuhku yang aneh karena celingukan tak mendapati keberadaannya. Atau apakah dia tengah berdiri sambil senyum penuh kemenangan karena berhasil membuatku merasa sangat bodoh padahal dirinya sedang berada di dekatku. Entahlah. Di tengah kerumunan orang - orang itu aku tidak bisa mencarinya. Dalam hati bertanya-tanya, bagaimana bisa dia melihatku. Dari sebelah mana dia memandangku. Ah sial. Aku merasa sangat bodoh.

Tiket telah tercetak dan aku berbalik untuk mencari ayah temanku. Namun kakiku mendadak terhenti. Mataku tertuju pada titik tepat dua meter di pojok kananku. Di sana berdiri seseorang yang sudah hampir setahun tidak kutemui. Seseorang dengan keeksotisan kulitnya yang mampu menarik perhatian banyak orang. Gaya berdirinya yang sok cool membuatku...ah sialan nih orang. Aku menelan ludah. Harus kuakui kalau dia masih sekeren tahun lalu ketika pertama bertemu. Lelaki yang membuatku menjerit dalam hati dan gelinjangan seperti cacing kepanasan di balik kaca ketika menunggunya di depan mesin ATM di dalam Tunjungan Plaza. Bagaimana bisa aku bertemu lagi dengan lelaki macam ini? Batinku. Ini musibah.

Sok cool. Gayanya benar-benar membuatku menggelengkan kepala. Punggungnya menyandar di dinding. Sebelah kakinya ditekuk ke belakang. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. Dan ekspresi wajahnya menggambarkan kemenangan. Tuhan...lelaki ini benar-benar.....Dan aku cuma bisa memberikan lelaki sok cool itu sedikit senyum "malu" dan pasrah sambil memintanya untuk menunggu sebentar karena aku harus berpamitan dengan teman dan keluarga yang mengantarku.

Oke. Aku mulai salah tingkah.

Awkward. Seperti momen-momen pertemuan kami tahun lalu. Hell, mendadak aku merasa garing sendiri. Namun, aku berusaha bersikap sewajarnya saja. Sok basa-basi bertanya: sudah lama? kok nggak lihat kamu? bla bla bla yang jika didengar memang cukup garing di telinganya.

Sejujurnya dari tengah perjalanan aku sudah menahannya, sudah di ujung tanduk. Jadi ketika temanku berpamitan untuk pulang, aku meminta lelaki ini untuk menjaga tas jinjingku. Aku harus ke toilet. Harus segera. Dan sesampainya di sana, aku berkaca sambil berteriak dalam hati: ini gila, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak.

Tidak bisa kupungkiri kalau ternyata ada baiknya kami bertemu. Paling tidak kami bisa bercakap-cakap lagi. Sekalipun cuma sekedar say hello dan mengobrol ringan saja untuk menutupi menutupi awkward moment ini, tak jadi masalah, yang terpenting adalah aku merasa kewajibanku untuk menemui lelaki ini telah gugur di situ.

Sebenarnya aku tidak lapar, hanya saja aku harus membeli makan untuk di kereta nanti malam. Makanan di kereta mahal, jadi lebih baik aku membawanya dari luar saja. Oleh karena itu aku putuskan untuk mengajaknya duduk di salah satu restoran cepat saji di dalam ruang tunggu. Satu paket makan, ice cream, cola, dan burger berhasil kupesan.

Taukah kamu tanda untuk membaca gerak-gerik orang di hadapanmu yang sedang bingung, gugup, atau malu? Seperti ini tandanya.

L: (sambil mengobrol, nggak melihat matanya. malah makan ice cream dengan lahapnya)
A: (santai, tenang menikmati burger dan cola di hadapannya)
L: kamu kok tahu kalau aku lagi di Jakarta? (tanyaku basa-basi sambil terus melahap ice cream yang dingin)
A: tau lah, aku kok (sok banget nih orang, batinku)
L: yeeee....palingan juga tahu dari update twitter dan facebookku. ya kan?
A: dibilangin enggak kok nggak percaya
L: halah, palingan juga dari situ
A:.......
L: lho...kok gelas ice cream-nya robek? (kataku tiba-tiba setelah memperhatikan gelas plastik wadah ice cream)
A: ih.....gelas bekas itu mbak
L: masa' sih?
A: iya gelas bekas. minta tukar sana
L: nggak usah ah, udah mau abis juga
A: ih....pakai gelas bekas masih aja dimakan
L: biarin, namanya juga laper

....

Rasanya ketika bertatapan muka dengannya seperti itu membuatku heran dan takjub. Tahun lalu, beranikah diriku melakukan hal semacam itu? aku cuma menyembunyikan tawa tanpa berani menatap matanya. Sekarang malah duduk berhadapan dengannya dan berani menatap ke dalam matanya sekalipun agak...canggung dan malu, menikmati gari-garis wajah dan kumis yang terkadang membuatku senyum-senyum geli di dalam hati, berani melempar lelucon dan cibiran, berani....ah berani melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan bakal melakukannya. Ya, ini kemajuan.

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bakal bertemu lagi dengannya dalam keadaan sesempit ini. Tidak pernah. Kesempatan terakhir yang kupunya adalah ketika dia diwisuda Oktober lalu. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuknya, aku hendak ke Malang untuk menghampirinya namun gagal karena mendadak kena sakit. Ya itulah kehendak Tuhan. Takdir menentukanku dan dia tidak bertemu kala itu. Dan takdir juga yang membawaku kembali bertemu dengannya dalam keadaan yang tak terduga seperti ini.

Kali ini, ketika benar-benar bisa duduk di hadapannya seperti ini aku mulai ragu. Perasaan itu timbul tenggelam. Semua mulai terasa aneh. Kami seperti teman lama yang baru bisa berjumpa, ada rindu yang rasanya terobati. Namun kami juga seperti orang asing yang bingung mencari topik untuk dibicarakan, ada gap yang membentang di antara kami yang membuat kami tidak bisa leluasa berbicara. Adakah sesuatu yang salah di sini? Mungkin, seharusnya tidak pernah ada sesuatu itu. Seharusnya kita bisa berteman baik-baik. Seharusnya tidak pernah ada permulaan yang mengakibatkan koma berkepanjangan. Seharusnya tidak pernah ada teka-teki yang selalu membuat kita berpikir tentang ada dan tiadanya sesuatu itu. Ya, kita memang tidak pernah bisa melafalkan apalagi menuliskannya secara gamblang. Dan kita sebenarnya sama-sama tahu kalau itu menyakitkan, namun kita mengabaikan dan terus melanjutkan tanpa ada batas waktu pengakhiran.

Di tengah-tengah pikiran yang carut - marut itu aku memulai percakapan lagi. Sungguh, aku sangat tidak menyukai awkward moment, aku tidak menyukai sepi, aku tidak menyukai pertemuan tanpa banyak obrolan.

L: loh kamu nggak kerja toh? katanya setiap hari masuk?
A: tadi kerja kok mbak, lha ini masih pake sepatu lapangan (jawabnya sambil menunjukkan sepatunya yang belepotan tanah)
L: lha kerja kok bisa ke sini?
A: kan minta izin dua jam buat keluar
L: emang boleh?
A: boleh lah. lha ini buktinya aku di sini
L: oh iya sih. hehehhe.
A: ke jakarta kok nggak ngomong-ngomong sih mbak?
L: lha ngapain? ngomong sekalipun belum tentu bisa ketemu kan? (padahal di dalam hati aku bilang: aku memang sengaja nggak ngomong aku nggak mau ketemu kamu)
A: lha ini buktinya bisa ketemu
L:........

Karena ada sesuatu yang harus kubawa di kereta maka aku harus membelinya dengan segera di minimart terdekat. Aku tidak mengajaknya, tentu saja. Tidak mungkin aku mengajaknya dengan membawa tas jinjing yang merepotkan -harusnya bawa koper, bodoh- itu kesana-kemari. Lebih baik kutinggal dia sebentar.

Aku tidak tahu bagaimana reaksinya ketika bertemu denganku, bagaimana komentarnya terhadapku. Ekspresi wajahnya biasa saja. Tidak ada tanda-tanda mejikuhibiniu di sana. Dia terlalu biasa saja untuk ukuran seorang lelaki yang meminta bertemu perempuan yang dikenalnya. ah...pikiran itu berkecamuk di dalam kepalaku ketika dari jauh kuperhatikan dia. Tuhan begitu luar biasa sampai menetapkan takdir seperti ini. Aku tidak pernah berkhayal untuk bisa menemuinya lagi, pun mengobrol seperti tadi. RencanaNya sungguh luar biasa.

Mungkin di matanya aku benar-benar konyol, terlihat salah tingkah. Saking salah tingkahnya aku sampai menenggak air mineral dengan cara yang sangat aneh, semua yang kulakukan terlihat aneh dan konyol di matanya. Pun bahkan ketika diam-diam aku mau memasukkan sesuatu ke dalam tas jinjingku, dia memergokiku...

A: ngapain ditaruh situ? mending masukin tas kecil aja.
L: he? tapi kan nggak muat. segede ini.
A: alah muat-muat, barang segitu doang
L: emang kamu tau barang apaan?
A: tau lah, kan keliatan dari sini.
L: he keliatan? (tanyaku malu)
A: kalau ditaruh situ kan lebih gampang ngambilnya.
L: oh iya muat sih. hehehe (Tapi memang ada benarnya, kalau sesuatu ini aku taruh di tas jinjing pasti akan sangat sulit untuk mengambilnya, bagaimana kalau dilihat orang, kan malu juga. Mending dimasukin tas kecil saja. Ya, logikaku main)

Jam sudah mau menunjuk angka 17.30 dan di saat seperti itu dengan beberapa obrolan yang mulai santai meskipun tetap terasa tegang, mendadak dia bertanya di tengah percakapan ringan kami:

A: mbak..
L: (deg deg deg) hm...
A: bahasa Inggrisnya awan itu apa ya?
L: (fiuh...kirain tanya apaan) awan? cloud.
A: kalau berawan?
L: cloudy. kenapa?
A: nggak apa-apa, tanya doang.
L: (udah gitu doang? hmmmm)..........

Dan akhirnya terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang akan membawaku pulang ke Surabaya sudah akan datang. Aku kembali melihat jam besar di dinding stasiun. Ini sudah saatnya aku mau pergi, kenapa bocah ini tidak mengatakan apapun. Niatnya bertemu untuk apa coba. Tidak ada permintaan maafkah? Aku mulai mendengus. Tak sabar. Dan akhirnya kuberanikan diri menggodanya:

L: eh keretanya udah mau dateng nih, kamu...nggak ada sesuatu yang mau disampaikan? (tanyaku separo tertawa demi menutupi kegugupan. kulihat matanya. tidak ada tanda-tanda apapun. matanya terlalu santai. aku tidak bisa menebak sesuatu yang tersembunyi di sana)
A: apa mbak? nggak ada ah..
L: serius nggak ada? (tanyaku lagi)
A: apa ya? nggak ada mbak...(jawabnya sambil tersenyum)
L: serius? kesempatan terakhir lohh...ntar nyesel lho
A: haha, serius nggak ada mbak
L: (bohong. aku tahu kamu sedang berbohong. aku tahu kalau kamu gugup. aku tahu kalau kamu tidak berani mengatakan itu. yay, aku sok tahu.)

Sejujurnya, aku enggan mengatakan ini. Namun dilihat dari gelagaknya yang adem ayem namun penuh tanda tanya itu aku menyimpulkan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadaku namun tertahan di tenggorokan. Oleh karena itu mau tidak mau akhirnya aku mengatakan ini:

L: sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu...hehehe (kata-kataku tertahan di tenggorokan. Sumpah aku harus berusaha menutupi keresahan yang mulai muncul dengan tertawa garing seperti ini) aku mau minta maaf....

Akhirnya aku yang meminta maaf duluan. Sial. Siapa yang salah, siapa yang minta maaf. Aku emang edan. Khayalan yang menyatakan bahwa laki-laki ini bakal meminta maaf padaku sirna sudah. Ya, dia tidak merasa salah sama sekali. Lanang edan. Tapi biarlah, daripada tidak ada yang membuka mulut di saat-saat genting seperti ini lebih baik mengorbankan keegoisan demi kejelasan. Kapan lagi ada kesempatan untuk bertemu dan mengatakan ini.

L: aku minta maaf buat yang kemarin itu...nanti yang di blog akan aku hapus, anggap saja aku tidak pernah mengatakan itu padamu, aku minta maaf.... hehehehe (jujur aku mulai sangat gugup ketika mengatakan ini)
A: (akhirnya dia membuka suara) aku juga minta maaf mbak, maaf kalau ada salah...
L: (salahmu banyak sekali, nak) iya nggak apa-apa udah dimaafkan kok...(semudah itu memaafkannya, nggak sebanding dengan yang kemarin. tapi sudahlah)

Kemana perginya benci itu? kemana hilangnya perasaan sakit dan kecewa itu? kenapa semua terlihat baik-baik saja sekalipun dia tidak meminta maaf dulu dan hanya mengatakan kalimat sependek itu? aku yang tidak waras atau dia yang kelewatan tidak peka?

Dan semua hilang. Perasaan benci itu menguap. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal. Dan untuk dapat mengungkapkan pertanyaan itu, dengan sekuat tenaga aku harus menekan ego dengan menanyakannya sesantai mungkin, sambil guyon...

L: oh iya, pacarmu siapa sih? (tanyaku pura-pura excited)
aku sebenarnya berharap dia bilang, aku nggak punya pacar kok mbak.
A: temenku SMP, mbak...

Jederrrrr. Ada kilat di atas kepalaku.

L: owalah....(kataku sambil berdiri, bersiap-siap untuk pergi karena keretaku sudah sampai di atas)
A: gak apa-apa tah mbak?
L: halah biasa ae...(jawabku sambil menebar senyum palsu. nggak apa-apa gundulmu!)

Berusaha menyembunyikan perasaan yang jelas-jelas sudah bisa dia baca adalah sebuah kebodohan. Sekuat apapun diriku menahan perasaan itu, dia tahu. Gerakan tubuh dan caraku bicara sepertinya khatam baginya. Tentu saja dia tidak sebodoh diriku, hanya dengan mendengar suara dan tingkahku yang aneh dan konyol pasti sudah tahu kalau aku tidak baik-baik saja. Namun untuk diriku yang tidak pandai membaca gerakan orang, aku pasrah saja ketika melihatnya terdiam saja. Gerakannya terlalu luwes, terlalu tenang, untuk ukuran seseorang yang mungkin merasa sangat bersalah pada orang di hadapannya.

Kami berdiri di depan pemeriksaan tiket. Aku berbalik ke arahnya kemudian mengangsurkan tangan sambil menyunggingkan senyum. Kami bersalaman. Semoga dosa-dosa yang telah kami lakukan termaafkan. Semoga semua kembali seperti semula. Semoga tidak ada yang menyakiti atau tersakiti lagi. Semoga semua baik-baik saja. Semoga aku cepat melupakan ini, semoga. Semoga aku lupa dengan apa yang baru saja dia bilang. Namun, yang dia bilang barusan terngiang-ngiang terus di telinga. Dan ini adalah musibah.

Kemudian aku mulai mengantre di tempat pemeriksaan tiket. Sebelum tiba giliranku, aku menoleh ke arahnya lagi dengan melambaikan tangan dan memberikan senyuman perpisahan. Ini adalah pengakhiran, kataku dalam hati.
Dan setelah melewati pemeriksaan tiket, aku berjalan lurus ke depan. Aku tidak menoleh lagi. Aku tidak mau menoleh. Aku tidak mau melihatnya berdiri seperti itu. Aku tidak mau dia tahu kalau air mukaku telah berubah. AKu tidak mau dia tahu ada mendung yang tergambar jelas di wajahku. Aku tidak mau dia tahu kalau aku merasa sakit dan ingin menangis.

AKu pikir akan baik-baik saja. Namun ternyata setelah melewati pintu pemeriksaa tiket, perasaanku mulai carut-marut. Dadaku mendadak sesak. Sesuatu tertahan di tenggorokan. Mataku mulai berkaca-kaca. Demi Tuhan aku tidak ingin berbalik melihatnya, aku tidak mau ada kejadian seperti di film yang tiba-tiba aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Bah, pikiran macam apa itu. Tentu saja aku tidak sekonyol itu. Bahkan ketika tadi aku punya niatan untuk memberikan kecupan di pipinya kuurungkan. Aku takut, bukan takut dimarahi olehnya karena dengan gilanya mencium pipinya. Tapi takut karena jika aku melakukannya, aku akan menangis saat itu juga.

 ....

Setelah membaca pesan singkatnya, tangisku pecah, tangisku semakin menjadi. Bahkan ketika beberapa petugas kereta melewatiku dan memergokiku menangispun aku tidak peduli. Ketika petugas pemeriksa tiket memintaku untuk menunjukkan tiket dan mengetahuiku menangis pun aku juga tidak peduli. AKu cuma mau menangis dan melampiskan semuanya saat itu juga. Persetan jika dikatakan memalukan.

Tuhan, kenapa rasa sakitnya seperti ini? Kenapa aku tidak bisa baik-baik saja? Patah hati kah diriku? Menyesalkah diriku karena tidak melakukan itu kepadanya?

Dan aku menuliskan status di twitter bahwa aku menangis. Aku berpamitan pada Jakarta di twitter. Namun tanpa kusangka, dia membaca isi status twitterku. Kubuka profilnya, dan jantungku mendadak berdegup kencang setelah membaca isi twitternya. Seketika aku naik ke atas kursi dan mengambil tas jinjingku di bagasi.

Buka tas cokelat!

Bergegas kubuka resleting tasku. Dan yang kutemukan di dalamnya adalah bungkusan kertas kado batik berwarna cokelat. Aku mengambilnya dengan segera. Buku?

Bungkusan cokelat itu kubuka dengan sangat hati-hati. AKu tidak mau merobek kertas pembungkusnya. AKu ingin kertas itu tetap rapi. Dan ketika aku berhasil membukanya, kutemukan sebuah novel berjudul "Cloudy" dan buku motivasi tentang "Galau"

A: mbak..
L: (deg deg deg) hm...
A: bahasa Inggrisnya awan itu apa ya?
L: (fiuh...kirain tanya apaan) awan? cloud.
A: kalau berawan?
L: cloudy. kenapa?
A: nggak apa-apa, tanya doang.
L: (udah gitu doang?)..........

Di hadapannya, aku benar-benar menjadi sangat bodoh dan konyol. AKu belum mampu meng-upgrade kemampuanku untuk menjadi perempuan "cerdas" dalam membaca situasi ketika bersamanya. Aku selalu konyol, selalu menjadi perempuan lemah sampai detik terakhir ketika bertemu dengannya. Bahkan untuk membaca kode itu pun aku tak mampu. Semua pemikiran rasional pun berhenti ketika berada di dekatnya. Aku tak pernah bisa berpikir bahwa dia akan melakukan hal sejauh itu. Dia yang luar biasa atau aku yang memang tidak peka?

Sebagai teman di perjalanan. Sebenarnya nggak mau ngomong, tapi berhubung situ nangis ya gimana lagi.

Dan ini bukan tangis patah hati lagi, ini tangisan haru, tangisan bahagia. Sebuah kejutan tak terduga di awal bulan Februari yang kunamakan koma membuatku menangis bahagia. Tidak tahu kenapa, tapi rasanya sungguh bahagia. Jika saja aku memutuskan untuk tidak mau menemuinya, jika saja aku berlagak jadi antagonis di hadapannya, dan jika saja aku menghentikan semuanya tentu tidak akan pernah ada kejadian se-luar biasa ini di stasiun tempat kami memisahkan diri. Ini bukanlah dongeng seperti yang ada di layar kaca, bukan juga cerita fiktif yang dikarang penulis-penulis muda. Ini nyata. Sebuah kejadian fenomenal nyata yang seumur hidup baru kualami bersamanya. Terima kasih telah mendatangkan mejikuhibiniu dalam waktu yang bersamaan.

Berpisah di stasiun bukanlah perpisahan yang sebenarnya, semua tetap berlanjut sebab kami belum menginginkan ini berakhir di satu titik. Kami masih nyaman dengan "koma" yang selalu kami bubuhkan di setiap cerita. Jika kami memutuskan untuk berhenti di titik, tidak akan pernah ada lagi cerita tak terduga lainnya. Kami tetap membiarkan semua berjalan sesuka takdir. Kami tidak menginginkan apapun selain rasa bahagia. Kami tidak membutuhkan percekcokan seperti pasangan-pasangan lainnya. Kami bukan pasangan, kami adalah duo sang pemberi dan penerima rindu. Kami adalah sepaket manusia yang dengan senang hati mengikuti alur cerita yang Tuhan skenariokan. Kami mempercayai takdir dan segala ketetapanNya, tidak peduli tentang apapun itu. Saling memiliki bukanlah goal bagi kami sekarang ini. Tidakkah saling berbagi rasa bahagia saja sudah cukup? Ya, bagi kami itu lebih dari cukup.

....
....

Perempuan itu berpamitan ke toilet dan aku diminta untuk menjaga tas jinjingnya. Karena aku bingung bagaimana cara untuk memberikan sesuatu ini padanya, maka sekarang adalah kesempatan bagiku untuk memberikannya diam-diam. Sebuah bungkusan yang kubeli di toko buku kuambil dari dalam ransel dan segera kumasukkan ke dalam tasnya. Tadi ketika mampir di toko buku, aku tidak punya banyak waktu untuk memilih buku apa yang mungkin dia gemari. Sebuah novel berjudul "Cloudy" dan buku motivasi tentang "Galau" ini akhirnya kusambar begitu saja. Semoga dia menyukainya.

......

Dia telah kembali dari toilet. Aku sangat takut jikalau nanti tiba-tiba dia membuka tasnya dan kemudian menemukan bungkusan itu. Maka dengan sigap aku menawarkan bantuan untuk membawakan tasnya agar dia tidak punya kesempatan untuk menyentuhnya. Berhasil.

......

Aku sangat gugup sekali ketika dia kembali dari minimart, dia meminum air mineralnya dan ada tanda-tanda akan dimasukkan ke dalam tasnya. Jangan.....Namun beruntungnya dia menaruh botol air mineral itu di sisi depan tas. fiuh....lega.
Kemudian aku memergokinya lagi akan menaruh sesuatunya ke dalam tas jinjing. Dengan cekatan aku bilang:

A: ngapain di taruh situ? mending masukin tas kecil aja.
L: he? tapi kan nggak muat. segede ini (dia berargumen, dan jangan sampai aku kalah)
A: alah muat-muat, barang segitu doang (aku berpura-pura setenang mungkin, jangan sampai dia curiga)
L: emang kamu tau barang apaan? (dahinya berkerut)
A: tau lah, kan keliatan dari sini (kataku yakin, iya yakin karena aku melihat barangnya. hehehehe)
L: ish.....dasar (kataku malu) oh iya muat sih. hehehe
Akhirnya dia memasukkan barangnya ke dalam tas kecilnya. Tas besarnya tetap aman tak terbuka. Beruntung sekali logikanya main. Tapi tunggu, logikanya main atau dia memang menurut saja apa yang aku katakan karena dia salah tingkah. Hahahaha. Aku tahu kalau dia gugup.

.......

Aku melihat punggungnya menghilang setelah melewati pemeriksaan tiket. Dia tidak menoleh lagi, padahal aku ingin melihat wajahnya lagi. Dia tidak melambaikan tangan lagi, padahal aku ingin melihat senyumnya. Dia berjalan lurus tanpa memperhatikan sekelilingnya. Baik-baik sajakah dia? Aku tahu kau tidak baik-baik saja, maafkan aku. Perasaanku rasanya campur aduk. Aku bingung.

Berbaliklah agar aku tahu kau baik-baik saja. Tersenyumlah padaku!

........

Isi status twitternya membuatku nelangsa. Dia menangis. Aku membuatnya menangis. Aku berdosa. Kemudian aku menuliskan ini di twitterku:

Buka tas cokelat!

Sebagai teman di perjalanan. Sebenarnya nggak mau ngomong, tapi berhubung situ nangis ya gimana lagi.

Mungkin kalau aku nggak memberitahu sekarang, pasti ketahuannya kalau sudah sampai di Surabaya.

.....

Dia sudah berhenti menangis karena telah menemukan bungkusan itu. Ya, berhentilah menangis. Jangan menangis lagi. Aku tidak bisa melihatmu seperti itu. Jangan membuatku semakin berasa berdosa karena kejujuranku tadi. Aku bisa melihat dia terluka ketika tadi aku bilang seperti itu. Ah sial, tidak jujur merasa dosa, jujur pun malah merasa bersalah. Tapi bukankah lebih baik jujur? Beruntungnya tadi dia menanyakan hal itu. Aku tahu dia pasti akan menanyakan hal itu dengan cara seperti itu. Sekalipun dia berusaha menutupi perasaannya, aku tetap tahu kalau dia terluka...

.....

Ah....stasiun adalah tempat yang romantis. Pikirku, kali ini aku seperti seorang aktor yang sedang bermain FTV. Kejadian-kejadian ajaib tadi sama sekali tidak pernah tergambar di kepalaku sebelumnya. Skenario Tuhan benar-benar luar biasa.

Aku masih ingin di sini, aku belum ingin kembali.

.....

Tuhan menegaskan pada kita bahwa dengan 'koma' kita mampu membangun cerita yang luar biasa. Ya....aku juga memilih koma.
Read more »