February 13, 2013

First Time


Mecca sudah di sana. Sebuah tempat yang tidak asing baginya ketika sedang kebigungan mencari referensi untuk tugas akhirnya –skripsi- sekaligus tempat favoritnya ketika tidak ada jadwal kuliah. Sekali lagi ia pandang bangunan megah yang terletak di sisi timur area kampusnya yang terletak tepat di depan danau –yang banyak orang menyebutnya danau cinta- itu dengan takjub. Bangunan bergaya Belanda yang seringkali menjadi obyek fotografi itu memang memiliki nilai seni yang tinggi. Jenis ukiran dan ornamen yang menghiasi dinding membuat siapapun yang melihat dan bahkan masuk ke dalamnya seakan terbawa ke dalam zaman penjajahan dulu.

Seringkali Mecca membayangkan dirinya berada di dalam gedung seperti ini di zaman penjajahan Belanda ratusan tahun lalu. Menjadi seorang pribumi yang notabene bukan seorang bangsawan dengan keadaan sengsara, yang kebanyakan menjadi kacung, yang tidak bisa menyecap bangku pendidikan apalagi setinggi ini membuatnya bergidik. Betapa Tuhan Maha Adil.

Sejurus kemudian Mecca menepuk dahinya dengan keras lalu disusul dengan menyisir rambut – rambut yang menutupi separo dahinya dengan gemas. Ia teringat sesuatu. Kenapa harus di tempat ini? Ia menggeleng ringan disertai dengan cengiran heran di sudut bibirnya. Di atas anak tangga pualam di depan pintu raksasa bangunan itu akhirnya ia melangkah sekaligus berdoa agar pertemuan ke sekian kalinya dengan pemuda – pemuda pilihan Mama itu berjalan sesuai dengan yang ia harapkan. Paling tidak, not bad lah. Tapi kenapa harus di kampus? Tidak adakah tempat ketemuan selain kampus? Selain perpustakaan?

Perpustakaan kampusnya sedang ramai. Dari sudutnya berdiri –di depan komputer registrasi- ia bisa melihat lalu lintas padat merayap di beberapa spot lantai satu seperti tempat peminjaman buku, komputer free accses, juga wifi zone yang sepertinya sudah tidak menyisakan tempat duduk bagi beberapa mahasiswa yang tengah berdiri sambil celingukan mencari celah untuk bisa menaruh laptopnya. This is weekdays. Mecca mendesah.
Ia melewati lantai dua dan tiga, tempat penyimpanan buku –yang kabarnya- dengan koleksi terlengkap di provinsinya. Ia sempat terpaku melihat betapa penuhnya ruangan itu. Sudut yang biasanya ia tempati sudah diduduki mahasiswa yang –sepertinya- sedang menatap nanar layar laptopnya seperti dirinya dulu.

Akhirnya ia sampai di mini café yang terletak di lantai paling atas –lantai empat- bangunan megah itu dengan dada berdebar. Tumben? Mecca menyentuh dahi dan lehernya yang agak panas dengan gelisah kemudian menirukan gaya dan ucapan Rancho dalam film 3 Idiots, All is well All is well sambil menepuk – nepuk dada kiri dengan tangan kanannya yang tengah dibanjiri keringat dingin.
“Semacam hendak bertemu dengan calon suami saja. Apa – apaan ini? biasanya baik – baik saja ni jantung. Kenapa tiba – tiba minta diajak jogging?” Gerutu Mecca.

Mecca gusar. Apalagi mengingat kejadian minggu kemarin di salah satu resto hotel ia –dengan terpaksa- menemui calon yang Mama katakan adalah lulusan MBA universitas ternama di Amerika malah membuatnya bad mood setengah mati. Mecca tipikal orang yang suka bicara, senang berdiskusi, senang bertanya, senang menanggapi omongan, dan senang mengobrol itu harus dihadapkan dengan seorang laki – laki berusia tiga puluh tahun yang cueknya kurang ajar, yang berhasil membuat Mecca mati gaya. Dan sepanjang pertemuan, mereka hanya ngobrol ketika Mecca bertanya dan jawaban yang Mecca dapat hanyalah sepotong dua potong kata yang jika dijadikan kalimat tidak sampai terkumpul menjadi satu paragraf penuh. Dan sesampainya di rumah, ia stress dan marah pada Mama karena mengenalkannya dengan lelaki kaku yang bukan tipe seorang Mecca.

Langkahnya diatur sepelan mungkin agar ia bisa berlama – lama mencari sosok yang ia akan temui. Sebenarnya ia hanya berusaha mengendalikan laju jantungnya yang tidak seperti biasanya. Bagaimana tidak, jika sebelum berangkat Mama bilang kalau laki – laki ini beda dari laki – laki sebelumnya. Laki – laki ini bukan seperti yang terakhir. kata Mama ini tipe seorang Mecca. Dan tipe Mecca adalah seorang Vino G Bastian.

Mini café itu tidak seramai tiga lantai di bawahnya, mungkin karena banyak mahasiswa yang sedang –benar-benar- sibuk mengerjakan tugas akhirnya sampai untuk membeli minuman pun tak sempat, seperti dirinya pada bulan – bulan kemarin. Mecca mendengus, untung tinggal nunggu wisuda.

Mecca berhasil duduk di sudut café yang mengarah langsung ke danau di depan perpustakaan. Cahaya keperakan buah dari pantulan matahari yang melewati jendela kaca berhasil membuat tubuhnya diliputi hangat. Ia mengusap bahunya dengan gembira. Kemudian ia menjulurkan kepalanya, celingukan mencari laki – laki itu. Matanya mengarah ke seluruh penjuru mata angin dan tidak satupun berhasil membidik sosok yang diceritakan Mama yang katanya seorang eksekutif muda, tinggi, tampan, keren, dan lain – lain. Biasalah, Mama selalu melebih – lebihkan para laki – laki yang hendak dikenalkan kepadanya.

Namun yang ia temukan hanyalah wajah – wajah mahasiswa seperti dirinya yang sedang relaksasi dengan menyeruput es teh dan berbagai macam minuman lainnya. Setelah putus asa dan leher terasa pegal, akhirnya Mecca memutuskan untuk membeli segelas cappuccino.

Kesalahan fatal yang ia lakukan adalah ia tidak meminta nomor HP laki – laki itu ke Mama, ia hanya tahu gambaran laki – laki itu seperti yang Mama katakan –eksekutif muda, tinggi, tampan, keren, bla b la bla- sebelumnya.  Ia tidak sempat bertanya laki – laki itu memakai baju warna apa dan…….Langkahnya tiba – tiba terhenti ketika telinganya merekam suara –namanya- mengudara di belakangnya.
“Mecca!?”
Suara laki – laki. Ia terhenyak. Beku di tempat.
“Annisa Mecca!?”
Sekali lagi telinganya ditajamkan.
“Mecca!?”
Namanya benar – benar dipanggil.

Deg. Laki – laki itukah? Mecca menelan ludah. Ia jilat bibir bawahnya dengan gemas lalu digigit – gigit kecil. Matanya berkedip – kedip liar. Dadanya kembang – kempis tak karuan. Hei, tumben. Kok setegang ini sih? Ia berusaha mengatur napasnya sebelum memutar tubuhnya. 

Lalu ia merapikan rambutnya yang -memang- agak berantakan itu dengan jari – jarinya.
Ia diam sejenak dan meniupkan napasnya ke poni yang menutupi dahinya. Ia menarik napas sekali lagi. Dan ia siap. Kemudian ia berbalik dengan anggunnya disertai senyuman paling manis sedunia.

Kalau di film – film kartun atau komik, mungkin di wajahnya sudah digambari tetes – tetes peluh dengan bulatan mata hitam menyeramkan dan ekspresi paling tolol yang pernah ia tunjukkan sepanjang ia hidup. Mecca tidak bisa menutup mulutnya ketika melihat orang di depannya tersenyum tanpa dosa.
“ngapain Ca di perpus??” laki – laki itu menepuk bahunya dengan santai.

Sialan! Mecca mengumpat tanpa suara disertai dengan gerakan memonyongkan bibir –seperti biasanya ketika ia sedang kesal- pada teman kuliahnya itu. Sebenarnya ia ingin berteriak dan memukul temannya itu jika saja ia tidak berada di tempat yang cukup memalukan jika ia melakukan tindakan itu. Maka dengan setengah berpura – pura mengumbar senyum lima jarinya disertai dengan pukulan kecil di bahu temannya, ia bicara.
“mau ketemu orang…”
“ecieeee…. Ketemu gebetan ya? Udah punya pasangan buat foto wisuda nih?” temannya terkekeh.

Skak. Mati di tempat.

Mecca mendengus. Ia ingat gurauan STMJ yang selalu dikutukkan pada mahasiswa – mahasiswa akhir yang masih jomblo termasuk dirinya. Mecca menepuk dahinya.
“yackkkkkkkk……” Mecca menendang kaki temannya dengan gemas.
“aduh, ampun Ca. Ampun…….Hahahaha………kaburrrrrr ah……..” sekonyong – konyong temannya kabur dari hadapan Mecca. Ia masih sempat melambaikan tangan pada Mecca sebelum singa betina itu meraung lebih keras. Dan Mecca menyeka dahinya yang tidak berkeringat.

Mecca membuang napas kesal. Ia pikir si laki – laki itu yang memanggil tapi ternyata temannya sendiri. Jantungnya terlanjur sudah tidak waras begini. Sialan.

“Mecca???”

Refleks Mecca menoleh dengan masih menyisakan kekesalan di wajahnya. Ia mengerutkan dahi. Ia tidak sempat merapikan ekspresi tolol di wajahnya ketika yang ia lihat adalah replika Afgan duduk manis di depannya.

“Mecca???” Sekali lagi laki – laki itu memanggil dia – tepatnya bertanya-

Mecca menunjuk dadanya sambil mengurai ekspresi bertanya juga. Laki – laki itu mengangguk setelah mengerti maksud Mecca. Dan kemudian berdiri mengangsurkan telapak tangannya.

“Rendra” laki – laki itu menyebutkan namanya.

Mecca melongo. Matanya berkedip – kedip melebihi kedipan normalnya. Jantungnya lari – lari lagi. Dan setengah gugup ia mengangsurkan tangannya juga. Ternyata ini toh sang eksekutif muda, keren, tampan, tinggi, cakep yang Mama bilang. This isn’t not bad Mom but he’s too good and so perfect for her.

“Mecca…. Annisa Mecca” ucap Mecca terbata.

“iya tahu, tadi temenmu teriak sekeras itu mana mungkin aku tidak mendengarnya?” katanya sambil mengulas senyum. Mecca membeku di tempat. Makhluk Tuhan paling WAH ini benar – benar membuatnya tidak berhenti berkedip.

“duduk…??” pinta Rendra sambil menggerakkan tangannya untuk menarik kursi di depannya.

Mecca menyadari bahwa dirinya telah terhipnotis hanya dalam hitungan detik. Kenapa tadi ia tidak melihat laki – laki ini? kemana saja matanya berkeliaran?

“kamu udah lama di sini?” Mecca bertanya dengan hati-hati agar kegugupannya tidak ketahuan.

“iya….”jawab Rendra santai.

Rendra tahu kedatangan Mecca, malah Mecca melewati tempat duduknya dua kali. Namun Rendra tidak tahu kalau perempuan manis itu bernama Mecca sampai laki – laki yang mengaku teman Mecca tadi berteriak dengan lantang di sampingya.

“minum apa?” tanyanya manis disertai senyum yang manis pula.

Mecca memang terhipnotis oleh ketampanan laki – laki yang berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini. Mama tidak membual. Laki – laki ini memang keren dan bahkan jauh diluar ekspektasinya. Setelan kemeja biru tua bergaris tipis yang dimasukkan celana dengan dua kancing di bawah kerah tidak dikaitkan sehingga lapisan kaus putih polos terlihat dengan lengan yang digulung sampai siku, celana kain press body dan sepatu –entah merknya apa- kulit yang membuat penampilannya seperti eksekutif muda seperti biasanya, jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, gaya rambut dengan belahan kiri disisir rapi ke belakang, serta kacamata setebal itu membuat mata Mecca tidak berhenti bergerilya sampai di situ saja. Wajahnya yang nyaris tanpa cacat itu tidak henti – hentinya membuat Mecca menggeleng dan mengangguk. Alis tebal dengan mata sedikit sipit yang dibingkai dengan kaca mata berframe cokelat tua berukir, lekuk hidung yang sedikit bengkok, dan garis bibir sensual yang berwarna merah muda tanpa polesan lipgloss itu, dan……..

“minum apa? Hei….” Rendra mengibas – ngibaskan tangannya di depan mata Mecca. Kemudian menggeleng dan tersenyum.

Mecca tersadar dan diliputi malu luar biasa saat mendapati Rendra tersenyum simpul seperti itu. Sepertinya Rendra tahu bahwa baru saja dirinya diperhatikan sedemikian rupa.
“hhe….maaf. Aku cappuccino aja” kata Mecca pada Rendra yang sudah setengah berdiri.

Rendra meninggalkan Mecca yang tengah menahan malu. Mecca tidak habis pikir, mana ada replika seorang Afgan dengan garis ketampanan nyaris sempurna seperti itu? Jangan – jangan ia saudara kembar Afgan? Dan Mecca akhirnya lupa tentang tipe idealnya, Vino G Bastian.

Perempuan mana yang bisa menolak pesona sekurang ajar itu? Mecca perempuan biasa, normal, tentu saja matanya begitu berbinar ketika melihat ciptaan Tuhan barusan yang begitu sempurna. Mecca sering mendapati orang keren tapi tidak sesempurna ini. Ia tidak mimpi kan? Mama, dimana Mama menemukan laki – laki semenarik ini?

Rendra kembali dengan membawa segelas cappuccino dan teh hangat. Setelah meletakkan segelas cappuccino ke depan Mecca, ia menggeser duduknya lebih dekat ke perempuan itu.
Mecca memutar tubuhnya. Mama….

Tidak ada yang bisa Mecca sembunyikan kecuali detak jatungnya yang tak beraturan. Ekspresi nge-blush yang digambarkan dengan jelas di kedua pipinya tak bisa diabaikan, keringat dingin yang muncul di telapak tangannya yang membuat basah beberapa lembar tisu, serta perut yang dari tadi terasa mulas padahal tidak sedang kebelet. Mecca menggigit bibir bawahnya. Dan sesekali mencuri pandang ke arah laki – laki di sampingnya yang tengah sibuk memperbaiki posisi duduknya.

Jaraknya dengan Rendra hanya sekitar 50 sentimeter, dan ia bisa dengan kurang ajar mencium aroma wangi parfum yang menguar tanpa bisa dibendung dari tubuh Rendra. Sensasi maskulin oriental disertai dengan wangi aroma lemon segar dan bunga zaitun merebak masuk ke dalam hidung Mecca dan melesak menuju ke dalam tubuhya hingga menghasilkan sensasi luar biasa. Seandainya pelukan Rendra mendarat di tubuhnya.
Mecca meggelengkan kepalanya. Imajinasi gila barusan membuatya menelan ludahnya sendiri. How can? Ia mulai benar – benar gugup dihadapkan laki – laki semenarik ini. Dan demi menutupi itu, ia menyeruput cappuccino dengan tergesa.

“auww… kok panas???!” Mecca menjerit.

Rendra menoleh. Ia perhatikan Mecca yang tengah menekan – nekan bibirnya yang kepanasan.

“kamu tadi nggak bilang kalau minta dingin ya aku pesen yang panas…” ujar Rendra santai.

“kamu nggak nanyain aku mau minum panas atau dingin gitu??!” Mecca membela diri.

“seharusnya kamu bilang duluan, kan aku nggak tahu kebiasaan kamu minum panas atau dingin” jawab Rendra sambil mengeluarkan secarik kertas dan puplen.

“seharusnya kamu nanyain aku mau minum panas atau dingin!!” jawab Mecca sedikit kesal.

“seharusnya kalau kamu sudah terbiasa minum dingin kan bilang mau minum yang dingin pada orang yang baru kamu kenal” kata Rendra tanpa melihat ekspresi dingin Mecca.

“kamu yang menawari minum seharusnya kamu yang tanya duluan” Mecca melipat kedua tangannya dengan kesal. Orang ini ternyata sedikit menyebalkan. Nggak bisa mengalah sedikit ya sama cewek? atau minta maaf gitu?

“oke oke, baiklah aku yang salah. Aku minta maaf” kata Rendra sambil mengulas senyum disertai dengan pameran gigi – gigi seputih salju.

Mecca menelan ludah. Belum juga ia menyelesaikan kalimatnya, laki – laki ini sudah bilang maaf. Apa jangan – jangan ia punya indera ke enam?

“kamu terlalu menikmati pesonaku sih, makanya sampai lupa bilang mau minum yang dingin. Ya kan?” Rendra menyikut lengan Mecca sambil tertawa.

Mecca membulatkan matanya diikuit dengan ekspresi oh my God-nya.

“GR banget sih?” Mecca memonyongkan bibirnya.

“tidak ada larangan untuk GR bagi orang yang merasa dirinya memang keren” kata Rendra diikuti dengan satu kedipan jahil dari matanya kemudian menaik – naikkan kedua alisnya.

Mecca menarik kepalanya, kemudian mengedip – ngedipkan matanya dan disusul dengan ekspresi oh my God-nya. Ia tidak habis pikir kalau ternyata tidak semua orang keren itu menyenangkan dan benar – benar keren perilakunya. Ada juga yang ternyata sadar dengan kekerenannya dan besar kepala seperti laki – laki di sampingnya ini.

“oke oke, sudah. Lupakan saja cappuccino panas atau dingin itu. ngomong – ngomong kamu umur berapa sih?” kata Rendra sambil mengeluarkan beberapa potong kertas -yang sepertinya brosur- ke atas meja. Mecca sempat melihat tulisan di kertas – kertas itu ketika Rendra meletakkannya tidak jauh dari jangkauan matanya meskipun dengan font tulisan ukuran 12 sekalipun.

“kamu…….????” Mecca menunjuk hidung Rendra.

yes……” jawab Rendra asal – asalan.

“kok udah bilang yes? Emang kamu tahu aku mau ngomong apa?” Tanya Mecca heran.

“nggak tau sih, asal jawab aja. Kan “yes” berarti positif. Kalau “no” kan negatif. Nah, mending berpikir yang positif kan daripada negatif. Hehehe. Siapa tau kamu menawariku untuk jadi pacar kamu??” jawab Rendra cengengesan.

Mecca menepuk dahinya lagi. Laki – laki kemarin itu cueknya kelewatan, dan laki – laki ini bicaranya kelewatan.

“Ya Tuhan…. Mama?!!!!?” Mecca berteriak sambil meremas kepalanya.

“sudah sudah…. Mecca yang cantik… berikan kesempatan untuk bang Rendra ngomong ya….” Rendra mengulas senyum mautya. Dan demi Tuhan, Mecca tidak bisa berbohong bahwa senyum laki – laki itu memang begitu menawan. Namun, apa yang ia tulis kontan membuat kepala Mecca nyaris pecah.

Mecca melorotkan duduknya setelah sebelumnya menghela napas yang sangat berat dan menepuk dahinya. Sesaat kemudian HP Mecca berbunyi. Dari Mama,

Ca, laki – laki yang mau Mama kenalkan ke kamu nggak jadi dateng. Dia ada acara di luar kota.
Sepertinya Mecca mau pingsan setelah membaca sms dari Mamanya.

“oya, kamu sudah ikut asuransi belum?” Tanya Rendra santai. Tapi pertanyaan itu membuat Mecca menepuk keras – keras dahinya.


0 komentar:

Post a Comment