May 7, 2014

(Jika) Ini Memang Terbaik

suara Pasha Ungu sayup-sayup terdengar dari sudut ruang. sound system mungil itu dibesarkan volumenya. maksimal hingga lagu itu memenuhi ruangan. lagu lawas yang sudah puluhan kali diputarnya sejak sore tadi mengalun bebas. tidak ada keinginan untuknya mengganti lagu apapun. yang dia mau, sekarang hanya lagu itu yang boleh terdengar di telinganya.

beberapa linting kretek yang berhasil dilintingnya dengan sisa tenaga dan peluh yang mengalir di pelipisnya akhirnya berjejer di atas meja. ditemani sebotol bir yang entah mereknya apa dan sekantong kresek krupuk bakar yang dibelinya dari warung sebelah. tembakau asli yang dibelinya dari pucuk gunung beserta kertas klobotnya sudah berusia bulanan. baru sekarang dia bisa mengeluarkannya ke ruangan yang biasanya dia gunakan untuk berbagi cerita.

di tengah ruangan itu hanya ada lampu berwarna emas dengan daya lima watt saja yang menerangi tubuhnya yang tengah membungkuk menelusuri benda-benda yang tergeletak malas, yang baru saja ditinggalkan oleh pemiliknya. matanya mulai sayu. dadanya mendadak sesak. ada nyeri yang menjalar tanpa henti.

kretek, bir, krupuk bakar ini sama sekali tak matching. harusnya, kretek, bir, dan perempuan bergincu merah muda yang biasanya menemaninya kala suntuk tiba adalah kesatuan sempurna yang mewarnai harinya.

"aku mau pulang!" seru perempuan itu tiga jam yang lalu ketika hujan mengguyur pekarangan yang ditanami rumput-rumput liar.
"kau mau pulang kemana?" laki-laki itu mencengkeram erat lengan perempuannya.
"pulang ke rumahku!" jawabnya sengit.
"bukankah aku adalah rumahmu?" tanya laki-laki itu penuh amarah.

"kau tidak pernah menjadikanku sebagai rumahmu, jadi bagaimana bisa aku menjadikanmu sebagai rumahku?"

tangannya yang besar tengah mengayun di udara, hendak menampar pipi yang seringkali dielusnya sesaat sebelum gelegar guntur membuat perempuan itu menjerit ketakutan.

perempuannya terduduk seketika. kedua tangannya membungkus telinga. lengkingan kecil keluar dari bibirnya. seketika tangan lelaki itu kembali diturunkan dan tanpa aba-aba dia memeluk perempuannya, lalu mengelus rambut sebahunya.






perempuan itu terbata. mulai mengeja kata yang tengah disimpannya sejak lama.

"aku melakukan semuanya dengan segenap hatiku. telah kukorbankan rasaku. banyak air mata yang kujatuhkan hanya untuk menunggu sesuatu yang ternyata tak bisa kutunggu lebih lama lagi"

"tahukah kamu bahwa kita adalah sepasang koma yang terbelenggu oleh semacam keinginan untuk tidak beralih dari tempat nyaman kita berdua? dan tahukah kamu bahwa itu menyakitkan bagiku sebagai seorang perempuan yang mendambakan kepastian?"

"sempatkah kau menyadari bahwa kita hanyalah sepasang kode yang sama-sama tak pernah jemu memberi isyarat rasa yang cuma kita saja yang bisa membacanya? dan apakah kau akan terus berada dalam posisi seperti itu?"

"kita adalah sepasang makhluk yang sering bertukar rindu tapi tak pernah saling mengeratkan perasaan secara gamblang. pernahkah kau berpikir untuk sebentar saja mengatakan bahwa kau menginginkanku? mencintaiku mungkin?"






"dulu aku bahagia saja bertindak sebagai koma yang setia menunggu jika suatu ketika kau kau menginginkan kita berhenti sebagai titik yang pasti. kau lelaki, seharusnya kau tegas dalam hal ini"

"dulu aku rela saja berlakon sebagai perempuan yang diam-diam mendambamu dan berharap kau menginginkanku untuk selamanya berada di sampingmu"

"dulu....semuanya dulu. dan aku tidak bisa terus - menerus membodohi logikaku dengan perasaan seperti itu. aku hengkang dari tempat ternyamanku denganmu. sekarang aku mau pergi ke tempat dimana kutemukan kenyamanan, dimana kutemukan kasih sayang yang tak kutemukan ketika bersamamu"

"aku telah jatuh dan menjatuhkan diriku kepada laki-laki itu. aku mencintainya dengan segenap jiwa dan ragaku. aku....ingin menjadi pendamping hidupnya"

lelaki itu menarik tubuh perempuannya untuk menjauh dari tubuhnya. dilihatnya perempuan itu dengan seksama. tidak ada ketakutan. ketegasan terpampang jelas di matanya. suaranya mantap namun terdengar getaran saat menyampaikan.

ada amarah yang mulai membuncah. ada rasa tidak rela yang melingkupi hatinya. namun....


"jalan kita tak pernah bisa melurus pada satu titik tujuan bersama. jalan kita berkelok-kelok tajam...."
"....aku telah berhenti. aku telah sampai di titik. jadi kapan kau akan melakukannya juga?" kata perempuan itu lagi, sambil menenggelamkan wajahnya yang penuh air mata ke dalam dekapan lelaki yang satu tahun ini disayanginya.


bayangan perempuan itu menangis masih menempel jelas di sudut matanya. ketidakberdayaan untuk memintanya tetap tinggal membuat ulu hatinya terasa sakit luar biasa. perasaan yang selalu dijaganya ternyata menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. mungkin dia egois. mungkin dia hanyalah pecundang yang tak pernah bisa mengungkapkan perasaan kepada perempuan yang jelas-jelas punya perasaan lebih padanya. harusnya dia katakan "tidak" ketika perempuan itu mendekat ke dalam hidupnya. harusnya dia membentengi hubungan mereka berdua agar tak sampai melukainya. harusnya. namun keinginan untuk dekat dengan perempuan itu juga tak bisa dia bantah sekalipun di dalam hidupnya ada perempuan lainnya.

namun lagi-lagi lelaki itu sadar bahwa luka yang dia torehkan pada perempuan itu jauh lebih besar daripada rasa bahagia yang sering dia bagi dengannya. luka yang membuat perempuan itu menangis seperti orang gila di kereta.

bibirnya tak pernah bisa mengungkapkan bahwa dia ingin perempuan itu tetap bersamanya. segala rasa berkecamuk jadi satu. benar. mungkin dirinya adalah egois yang cuma mementingkan perasaannya sendiri. dia tak pernah bisa mengatakan dengan gamblang bahwa dia...menyukainya (?)

kesedihan jelas tergambar di wajahnya. pun bahkan sebotol bir yang tinggal sepertiga itu tak mampu mengusir rasa rindunya pada perempuan yang beberapa jam lalu meninggalkannya demi mendapat bahagianya. bukankah dia harus bahagia ketika melihat perempuan itu akhirnya menemukan orang yang dicintai dan mencintainya dengan tulus? harusnya dia bahagia namun di hatinya seperti ada raksasa yang menginjak-injak sesukanya. ada bagian dalam dirinya yang tiba-tiba hilang entah kemana.

"(jika) itu memang terbaik, maka kulepaskan dia pergi menjemput kebahagiannya sendiri. bukankah selalu ada ruang tersendiri bagi mereka yang punya rasa di dalam hatinya. aku yakinkah diriku bahwa sebenarnya cerita kami tidak pernah mati. aku harus ikhlas demi melihatnya bahagia. tapi fvck. sial.....aku sakit" lelaki itu menendang kaki meja hingga botol bir yang tinggal sepertiga itu oleng dan jatuh ke lantai.







"bahagiakan perempuan yang dari dulu ada untukmu, yang itu bukan aku"
"mbak...."
"jika hubungan kita kemarin adalah kesalahan, maka satu hal yang sama sekali tidak pernah ku anggap salah....aku (pernah) mencintaimu"




0 komentar:

Post a Comment