July 22, 2014

Skak Mat(i)

mustahil memenangkan perang kalau berdiri pun ogah-ogahan. cuma duduk bersilang sambil minum kopi di depan pelataran. edan. sesorean cuma manggut-manggut menyaksikan wewayangan gila para tetangga. ini perang, bukan tontonan.

Drupadi sama sekali tak berniat untuk bangkit dari kursi di depan rumahnya sekalipun suara ibu sudah naik beberapa oktaf di belakang kepalanya. di dapur asapnya sudah mengepul. sesore ini padahal. ada apa? mau ada tamu penting, kata ibu tadi siang. tamu penting macam apa yang membuat ibu serepot itu. rumah dibersihkan. barang-barang tak layak pandang disingkirkan. taplak meja diganti. rumah disemprot wewangian aroma melati, persis seperti ada orang yang mati. masa bodoh, batin Dru. dirinya sudah tahu tamu sepenting apa yang bakal datang meskipun ibu tak memberitahunya. si Krisna anak pembesar desa seberang yang satu jam lalu menghubungi ibunya lewat telepon akan datang, katanya mau melamar. dari balik kamar Dru mengumpat. cih, melamar katanya. enak saja. siapa laki-laki itu berani melamarnya?

Dru masih terus menyesap kopinya tanpa mengindahkan ibu yang sudah berkacak pinggang di hadapannya. malah dipasangnya headset ke dalam telinganya segera, tidak sopan memang tapi itu satu-satunya jalan untuk meredam lengkingan suara ibunya.
"Dru, tidak dengar ibu bilang apa? bantu ibu di dapur, nduk!" suara ibunya keras, sampai tetangga sebelah pun ikut dengar. melongok dari balik pagar rumahnya yang tak tinggi.
"ngapunten, Bu. Dru tidak mau" jawab Dru sesopan mungkin.
"lho, mau ada tamu ini lho sebentar lagi"
"itu tamu ibu, bukan tamunya Dru"
"kata siapa? tamunya pengen ketemu kamu"
"ibu saja yang menemui"
"Dru!"
"itu tamu ibu, ngapunten. Dru jalan-jalan dulu di dunia Dru" balas Dru sambil berlalu menuju kebun di belakang rumahnya.

Krisna, anak kepala desa sebelah. tanah ayahnya seluas lapangan bola, mungkin lebih. mobil-mobilnya berjejeran di pelataran rumahnya, mungkin mobil kreditan dan belum lunas. rumahnya megah semegah balai pertemuan internasional, namun sayang letaknya di tengah pemukiman berdinding bambu dan kayu. lantai rumahnya dari marmer impor Italia katanya, padahal lantai tetangga-tetangganya masih dari tanah. Krisna, jadi (mantan) taruna pakai jalur luar biasa. pulang petentang-petenteng pamer seragam, padahal sudah ditendang dari almamater karena ketahuan melanggar disiplin. gantengnya, relatif....relatif tidak ada yang bilang ganteng. andai di kota kecil itu ada klinik operasi plastik seperti di Korea sana, mungkin dia sudah permak hidung, dagu, rahang, mata, dan mungkin seluruh wajahnya agar mirip Vino G. Bastian.

pekerjaan Krisna? membantu ayahnya pamer harta. jalan ke pasar pakai mobil, pergi ke sawah untuk menilik tanah pakai motor "lanang" yang baru datang, pergi ke masjid bawa tab. selebihnya? jadi mandor di kelurahan.

Krisna mengejar Dru sejak dia pulang dari perantauan, setelah Dru menyelesaikan S2 di Belanda. berulang kali Krisna datang ke rumah Dru sambil membawa tumpukan oleh-oleh. beda desa saja sok pakai bahasa oleh-oleh, batin Dru. bilang saja barang sogokan untuk membujuk Dru membuka hatinya. dih, bagaimana bisa dibuka kalau hatinya sudah ada isinya.

Dru tidak bisa disogok dengan barang murahan seperti itu, meskipun jujur bukan barang murahan sungguhan. itu barang bermerek. barang yang tidak bisa dibeli di desa atau mall-mall sembarang kota. duh, perempuan mana yang tidak jelalatan matanya ketika disuguhi tas, sepatu, baju, parfum bermerek luar negeri seperti itu? bagi Dru yang sudah tinggal lama di kota besar, barang-barang itu sangat menggoda nafsunya. namun sayang tidak akan pernah bisa menggoda hatinya.

dan benar saja, tepat jam empat sore ada mobil parkir di pelataran rumahnya. andai itu mobil porsche atau lamborgini mungkin Dru akan mendekati Krisna sebentar, untuk melakukan selfie dan diupload di instagramnya. sekedar pamer kalau di desa ada juga yang bisa punya porsche. ngayal, Dru. jangan delusional berlebihan.

Dru mengintip dari jendela, si Krisna dan bapaknya. duh, bawa bapak segala. keempat tangan mereka membawa seserahan (?), membawa empat bungkusan maksudnya. ibu yang paling heboh menjemput mereka di depan rumah. sedangkan bapak cuma senyum-senyum palsu. Dru tahu benar, bapaknya tidak pernah mengiyakan atau menolak Krisna. jadi dia berusaha bersikap netral, tidak seperti ibu yang cenderung pro kehadiran Krisna. kata ibu, masa depan nanti terjamin lah, ini lah, itu lah, anu lah. kalau kata Dru, yang menjalani rumah tangga bukan ibu, jadi jangan sok tahu.

bungkusan itu menggoda iman. sungguh. dari apa yang Dru cium, itu adalah gadget keluaran terbaru dari produsen Amerika berlambang apel "growak" itu. lengkap dengan tas, sepatu, baju, parfum bermerek seperti sebelum-sebelumnya. diliriknya sepatu blink-blink seperti milik Syahrini itu dengan gemas, dilihatnya ukuran sepatunya 38. bijih, darimana si Krisna tahu ukuran sepatu Dru? pasti dari ibu. Dru melirik ibunya yang mesem-mesem menyilakan krisna dan bapaknya minum.

Dru sempat melirik ke bungkusan terakhir yang Krisna tunjukkan. alamak, itu seperangkat novel dan buku yang Dru gandrungi setengah mati. tahu dari mana laki-laki ini soal selera buku bacaan Dru? sial. untuk membeli dan mengoleksi buku-buku itu Dru butuh beberapa bulan untuk menabung, namun laki-laki ini hanya butuh waktu beberapa hari untuk mendapatkannya.

harus diacungi jempol si Krisna ini. keahliannya dalam hal kepo sungguh luar biasa. ibu, oh ibu ternyata yang selama ini membantunya. dikasih apa sih ibunya?

"bagaimana dek Dru?" tanya Krisna sumringah. mimik wajahnya membuat Dru ingin muntah.
Dek? 
"maaf, apanya yang bagaimana Kris?" tanya Dru balik, seolah-olah tak paham dengan pertanyaan yang diajukan Krisna barusan.
"barang-barangnya, dek!" senyum Krisna melebar lima senti.
"barang-barangnya kenapa, Kris?" jawab Dru asal.
"kamu nggak bisa panggil Krisna dengan mas?" sela ibu, gemas.
huek. mas?
"ngapunten ibu, usia kami sama. malah saya lebih tua dari Krisna" jawab Dru sesopan mungkin.
"ah, nggak jadi masalah kok tante..." kata Krisna sopan, sambil pamer gigi-gigi tambalan.
tante? sok kota lu!
"bisa langsung ke topiknya, Kris?" seru Dru mulai tak sabar.

"jadi begini Pak Rudy dan Bu Rudy, kedatangan saya dan Krisna ini tidak lain dan tidak bukan karena kami berniat untuk lebih mempererat tali persaudaraan sekaligus hubungan keluarga agar menemui satu titik kebahagian untuk kedua keluarga besar.....bla bla bla"
itu bukan topik, pak lurah. itu kalimat-kalimat yang kalau dirangkai bisa jadi satu paragraf.
"jadi intinya, Pak?" tanya Dru seolah tak paham.
"intinya saya ingin melamar dek Drupadi Kinara Rudy Hadikusumo" jawab Krisna santai, lagi-lagi sambil pamer gigi.

Bapak dan Bu Rudy saling bertatapan. Ibu sumringah sambil menepuk-nepuk pundak Bapak, sedangkan Bapak cuma mengerutkan dahi sambil bolak-balik menatap Dru. dan Drupadi, dia pura-pura mengotak-atik handphone yang dipegangnya.

Dru pura-pura terkejut, "he? kenapa Kris? kamu melamar? melamarku? hahahahahaha"
"lho kok ketawa, dek?" tanya Krisna bingung, kali ini sungguh kelihatan bingung.
Dru berhenti tertawa setelah Ibu melototinya.
"maaf Krisna Meirodiwangga...dengan tegas saya menolak lamaran kamu" jawab Dru serius.
Ibu menoleh ke arah Dru, Bapak juga. Pak Lurah cuma mengibas-ngibaskan tangan di udara. Krisna, memukul-mukul lututnya karena panik.
"Dru? nggak dipikirkan dulu?" seru ibu, kaget.
"enggak, Ibu" jawab Dru serius.
"Pak Rudy, bisa dijelaskan kenapa?" tanya Pak Lurah gusar.

"nduk, Drupadi. kamu beneran menolak lamaran Krisna?" tanya Pak Rudy.
"nggih, Pak. Dru nggak suka Krisna. sudah jelas kan alasannya" jawab Dru santai.
"cuma nggak suka aja, dek?" tanya Krisna gusar.
"nggak sih, banyak alasannya. mau tau?" tantang Dru.
"iya" jawab krisna.

"satu, aku nggak suka kamu...."
"....dua, aku punya kekasih...."
"....tiga, aku nggak suka kamu....."
"....empat, aku punya kekasih....'
"....lima,....."
"kok diulang-ulang sih, dek?" potong Krisna.
"....lima, kamu bukanlah tipe laki-laki idaman dan suami-able untukku.."
"....dan enam, pulanglah...aku sudah menolakmu. maaf"

Pak Lurah dan Krisna terlihat (agak) marah. Ibu cuma bisa senyum-senyum menenangkan mereka. Bapak cuma bisa berdehem dalam.
"siapa laki-laki itu, dek? kurang apa aku ini? kurang apa?"







Dru menyecap kopinya yang masih panas ditemani Ibu dan Bapak yang bersenda gurau di teras rumah. kedua orang tuanya sudah tidak membahas masalah Krisna lagi. sepertinya sudah lupa ketika Dru menceritakan sosok lelaki pilihan hatinya sendiri. setelah digoda Dru dengan kalimat "kalau begitu ibu saja yang nikah sama Krisna" dan bapak menambahi dengan kalimat "ya sudah ibu silakan poliandri" akhirnya ibu ketawa terpingkal-pingkal dan sadar bahwa selama ini dia salah. Ibu sadar bahwa kebahagiaan anaknya ditentukan oleh anaknya sendiri. yang menikah bukan ibu, tapi Dru. yang menjalani rumah tangga kelak bukan ibu, tapi Dru.

Dru terlihat sumringah setelah sore tadi menghadapi manusia dari negeri antah-berantah. bicara tentang kejadian tadi sore, Dru tak habis pikir dengan perkataannya sendiri. dapat tenaga dan keberanian dari mana menghadapi Pak Lurah dan anaknya itu? kata-kata yang dia ucapkan terdengar sok-sok'an sekali. tidak sia-sia ternyata sering membaca novel, serunya dalam hati.

"laki-laki itu bukan siapa-siapa, Kris. bukan anak pejabat. bukan dari golongan konglomerat. dilihat dari apa yang kamu punya dan apa yang selalu kamu bawa kemari sama sekali kamu nggak ada yang kurang, malahan dia yang kurang banyak dari kamu."
"....namun satu hal kelebihan yang dia punya, dia menarik hatiku bukan dengan apa yang dipunya dan dibawa tapi dari apa yang sudah dia lakukan padaku. perlakuan istimewa seorang laki-laki pada perempuan bukan hanya tentang materi, Kris. bahagia tidak diukur dengan itu saja.
"...jatuh cinta, rasa suka, rasa sayang tidak semuanya berasal dari pandangan, apalagi pandangan pada materi yang dimiliki. bagiku lebih pada ilmu, agama, perlakuan, dan perkataan baik yang ditujukan padaku, dimana itu semua tidak ada di kamu"

"Kris, materi cuma titipan, nggak dibawa mati. apalagi kalau materi nggak didapat dari keringat sendiri. materi dari orang tua, misalnya."
skak. mat.








0 komentar:

Post a Comment