November 15, 2011

Di Sisi Ke Tigamu

menjadi ke tiga adalah hal yang paling tidak diinginkan

Dan kepada belati ingin ditikamkan ujungnya ke dalam perut lelaki yang tegah tegak berdiri di hadapannya. Lelaki yang sedang mengatur napas setelah berlarian mencoba menemukan wanita yang kini setengah berdiri menyandarkan punggungnya ke dinding sebelah jendela yang mengarah langsung ke tumpukan rumah-rumah susun, yang sekarang tampak gusar. Sejam yang lalu, pintu apartemen diketuknya, tak ada suara, bahkan panggilan telpon tak mendapat jawaban.

Sang Ibu menelepon dengan panik, menanyakan dimana anak semata wayangnya kepada laki-laki yang kini tengah bersantai bersama seorang wanita di balkon rumah yang menghadap senja langit Jakarta. Diraihnya dengan segera mantel cokelat yang menggantung di sisi pintu kamar. Tak dihiraukannya tatap ganjil wanita itu. Namun sebelum sempat dia membuka pintu kamar, ditatapnya mata wanitanya dengan iba, seperti meminta persetujuan tanpa suara. Dan wanita itu mengangguk. Mengiyakan kepergian lelakinya. Namun, dalam hatinya tetap gundah. Ada sesuatu yang dia takutkan bakal terjadi.

Dihempaskannya mantel cokelat itu di sembarang tempat. Lalu menggulung lengan-lengan kemejanya. Dan mulai bergerak ingin menghampiri si wanita. Namun, sebelum sempat melangkah, suara serak wanita itu membuatnya mundur selangkah.

"diam di situ!" pinta wanita itu geram. Matanya liar mengerikan. Lelaki itu takjub dengan apa yang dilihatnya. Wanita itu tak memiliki sinar teduh lagi. Tatapannya dalam, menakutkan. Suara wanita itu tak sehangat beberapa waktu lalu. Ada sesuatu yang hilang darinya. Pendar itu....

"jangan melakukan tindakan bodoh, Puspita...." bujuk lelaki itu lembut. Tatapannya. Ah, tatapan itu membuat wanita itu mual. Berani-beraninya dia menatapku seperti itu. Segera dijatuhkannya pandangan matanya ke arah korden di samping kirinya. Kedua tangannya masih tersembunyi di belakang punggung. Memegang belati yang siap untuk menghunus lelaki di hadapannya.

"puspita....dengarkan aku....jika ada masalah, bisa kita bicarakan dengan baik-baik kan?" seru lelaki itu sambil melangkah satu kaki ke depan. Hati - hati dia menggerak-gerakkan tangannya memberi isyarat tenang kepada wanita di depannya. Namun, wanita itu sudah hampir melesat ke seberang kusen jendela sebelum lelaki itu itu mendekat.

"diam di situ Son! sudah aku bilang diam di situ saja! jangan mendekat padaku atau aku akan melompat!"suara wanita itu bergetar memegang korden. Dilihatnya lelaki di hadapannya dengan gemas. Lelaki sialan.

"pus...jangan nekat! kamu kenapa sih? bilang padaku ada masalah apa?" lelaki itu mengoyak rambutnya dengan gemas.

Puspita membuka penutup pisau kecil itu. Sejenak dipandangnya ujung pisau yang berkilatan ditempa cahaya dari jendela. Soni memekik kaget.
"Pus.....apa itu? apa yang akan kau lakukan? jangan nekat Pus!" Sekonyong-konyong Soni berusaha mendekat namun yang ada Puspita malah mengancam, siap menghunuskan pisau itu ke perut Soni.

Dua linangan air mata terlihat di pipi-pipi Puspita. Meskipun rambut panjangnya hampir menghalangi Soni untuk menatap kedua mata wanita itu, namun Soni masih bisa melihat sesuatu yang mengerikan terjadi dalam hidup wanita itu, gadis kecilnya.

Puspita kini mengerang. Meraung kesetanan. Dia berteriak. Mengumpat. Soni yang masih terdiam bingung semakin bertambah bingung. Ketika lengan Puspita terlihat sedikit lemah, diraihnya dengan sekali sentak pisau kecil itu dan membuangnya ke luar jendela. Semoga tidak ada orang di bawah sana. Harap Soni dalam hati. Puspita yang tanpa daya melihat Soni membuang pisaunya, serentak ingin menghambur ke jendela namun Soni lebih cepat dari yang dia kira. Diraihnya tubuh kecil Puspita. Didorongnya sampai jatuh telentang di atas kasur. Buru-buru Soni menutup jendela dan menguncinya rapat.

Puspita yang terengah-engah di atas kasur tak dapat berbuat apa-apa. Hanya matanya berkeliaran. Kedua tangannya mengepal siap meninju siapapun yang ada di hadapannya. Soni yang berkacak pinggang di depan Puspita amat menyesal dengan kejadian ini. Dia mulai sadar dan tahu apa yang sedang terjadi pada Puspita. Soni seperti menyadari sesuatu. Lalu, Tanpa Puspita duga, Soni berlutut di hadapannya. Mencengkeram kuat kepalanya. Menjambak rambut ikalnya.

Puspita yang masih memiliki kesadaran penuh, bangkit dan menengok Soni yang tertunduk di bawah sana. Tanpa ragu Puspita meringsek mendekati Soni. Dia berdiri di hadapan Soni. Matanya merah. Gurat kekesalan masih memayungi wajah tanpa riasnya. Senyum kecut bertengger di ujung bibir mungilnya. Soni Wijaya. Berlututkah kau di hadapanku? Aroma kebencian menyeruak ke dalam dada wanita itu. Sudah ku duga kau bakal melakukannya. Kau akan menangis di hadapanku untuk meminta pengampunan. Dan aku hanya akan tertawa saja.


Soni meraih betis Puspita dengan gemas. Ditubruknya tubuh wanita itu sampai terjungkal kebelakang dan terduduk di pinggiran kasur. Dipegangnya kuat-kuat dengkul wanita itu.

"ampuni aku......"

Diraihnya dagu lelaki itu. Dan terkejut Puspita ketika melihat Soni menangis. Puspita menggelengkan kepalanya pelan. Ditahannya air mata yang sudah hampir 
"maafkan aku Pus....." tiba-tiba Soni meraih tangan Puspita. Meremasnya dan menciumnya. Puspita hanya diam. Tidak mempedulikan Soni, apalagi membalas remasan tangannya.

"aku yang membuatmu seperti ini....aku yang salah"
Puspita menepis kasar tangan Soni. Jiwa Puspita memang terguncang. Namun, dia masih sadar dan tahu apa yang harus dia lakukan. Sekali dia membuka tangannya, semua akan kembali seperti semula. Rasa itu akan kembali ada. Dan menjadi peran sebagai orang ketiga tentu akan tersemat lagi ke dadanya. dan Puspita tidak mau.

"pulanglah. Aku tidak membutuhkan pengakuanmu. Juga tidak memerlukan permintaan maafmu"
Tiba-tiba Soni bangkit dan meraih tubuh Puspita. Memeluknya dengan erat. Mengelus punggungnya dengan pelan-pelan. Sekonyong-konyong wanita di hadapannya itu tersentak kaget. Rasa benci itu masih berkobar. Beriringan dengan cinta itu sendiri. Puspita merasakan lagi sentuhan hangat Soni. Dia kembali merasakan getar halus yang selalu dia dapat ketika sedang berada di pelukan lelaki itu. Rasa nyaman itu membuatnya hampir lupa ketika tanpa sengaja bayangan resepsi itu menggelepar di dalam kepala Puspita. Didorongnya tubuh Soni sampai terdorong ke belakang, membuatnya tersungkur, jatuh di atas karpet.

"pulang!" suara Puspita melengking sampai Soni hampir tidak mengenali suara wanitanya sendiri.
"pulang dan urus istrimu! Jangan pernah kemari lagi. Sekalipun aku menghilang atau mati, itu bukan urusanmu. Yang pasti, jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di sini. Jika kau mencoba untuk menemuiku lagi, esoknya kau akan melihatku mati terkapar di lantai ini" mata Puspita berkilat, berkaca-kaca juga, air mata meleleh terus dari sana. Kedua tangannya mengepal siap melancarkan pukulan.

"aku mencintaimu pus...." suara Soni melemah.

"mencintaiku tapi kau mengawini wanita lain?" Puspita menyeringai buas.

"aku terpaksa. Perjodohan kami tidak bisa dibatalkan pus....mengertilah" Soni mencoba mencoba meraih punggung tangan Puspita dengan lembut, namun ditepisnya dengan kasar. Wanita di hadapannya berubah kasar. Gumam Soni dalam hati.

"aku sudah mencoba mengerti. Selama setahun aku mengerti. Selama setahun aku menunggumu putus dengan wanita itu. Tapi, mana janjimu?" geramnya dingin. Wajahnya kembali menakutkan.

Dan keduanya hanya saling terdiam. Dada keduanya sama-sama sesak. Sama-sama terisak. Sama - sama menyesali sesuatu. Cinta. Sesuatu yang membuat kehidupan mereka seperti neraka. Membuahkan pahit yang akan terkenang selamanya. 


Sebelum Soni meninggalkan apartemen itu, diraihnya puncak kepala Puspita, lalu menciumnya dengan lembut, "selamat tinggal, maaf aku tak bisa meninggalkan isteriku, namun aku mencintaimu Pus"
Tanpa menoleh lagi, Soni menyurukkan tubuhnya ke luar kamar. Menutup pintunya dengan pelan tanpa menoleh sama sekali. Puspita merasa ujung perutnya nyeri. Dadanya terguncang tak tertahankan. Dan setelah pintu tertutup rapat, Puspita melolong, menjerit.

Di mana-mana, sisi ke tiga memang tak pernah benar. Puspita yang datang di antara ke duanya. Puspita yang menawarkan cinta dan diterima dengan senang hati oleh Soni yang dilanda hubungan jarak jauh dengan Sasa. Dan ketika Sasa kembali, semuanya berubah menjadi rumit, Soni seperti tidak mau dan tidak bisa melepaskan Puspita, juga tidak bisa meninggalkan Sasa. Permainan itu dimulai. Sisi ke tiga menjadi tawaran terakhir bagi Puspita agar dia bisa bersama Soni terus. Dan Puspita tidak menyadari bahwa permainan yang dia mainkan tidak akan pernah dia menangkan. Sampai kapanpun. Sebab, dialah yang ke tiga.

2 komentar:

Post a Comment