November 22, 2011

Ruang Rindu

Persekutuan antara perasaku tidak berhenti sampai di situ, sebab segalanya akan tetep seperti itu selama kejalangan masih berdiam di sini, hati.

Sesuatu menyapu wajahku, sejuk. Angin semilir menggelepar, membuatku tanpa ragu menutup mata demi merasakan kenikmatan belaiannya. Di bawah teduh pohon mangga satu-satunya di antara semak yang menutupi aliran sungai kecil itu aku tertidur, menidurkan diri, merebahkan punggung di atas rerumputan liar. Headset mungil warna hitam masih menancap di kedua telingaku. Sekumpulan bunyian merdu mengalun indah, melodinya bermain-main lincah. Apik didengar telinga.

Di daun yang ikut mengalir lembut. Terbawa sungai ke ujung mata. Dan aku mulai takut terbawa cinta. Menghirup rindu yang sesakkan dada.

Mataku terbuka, pelan. Mencoba mengumpulkan sinar. Mengerjap-ngerjap pelan. Lalu ku perhatikan langit di atas sana. Biru. Di sisi langit lain ku lihat gumpalan awan putih menjelma menjadi sekelompok kawanan sapi. Sapi? Dahiku mengernyit. Kok sapi? Bibirku mengerucut. Lalu aku bangkit dan mendongak ke arah langit sebelah utara itu. Mengucek-ucek mataku yang pandangnya masih belum sepenuhnya normal. Kenapa semakin dikucek semakin timbul banyak bayangan sapi? Ah...kenapa harus sapi?

Bayangan lelaki itu muncul tiba-tiba. Di depanku. Seorang lelaki tanggung dua puluhan tahun sedang berjongkok memperhatikan tanganku yang tengah menari-nari di atas keyboard. Dengan kaca mata lebar frame hitam kotak itu dia memperhatikan setiap gerakan tanganku dengan seksama. Tak ada yang tertinggal. Bahkan ketika nyamuk berhasil menggigit tanganku, dia tahu. Sejenak disandarkannya dagu kecilnya ke meja lalu merebahkan kepalanya kemudian. Aku meliriknya sekilas melalui celah kaca mataku. Aku tersenyum geli mendapati dirinya tengah menguap.
"pulanglah....kau pasti lelah" bujukku tanpa meninggalkan mata dari layar laptop.
"nanti ah, nanggung...." balasnya tanpa mengacuhkan omonganku. Lalu setengah jahil dia memainkan puplen yang tergeletak di atas meja. Tok Tok Tok. Sampai menimbulkan bunyian menjengkelkan.
"sapi....berisik ah, nggak konsen nih" gerutuku tanpa menghentikan ketikanku.
"biarin. Emang lagi nulis apaan sih? serius amat? sampai aku dicuekin? lama nih nunggunya" dia merajuk
"siapa yang menyuruhmu menunggu? bukannya dari sejam yang lalu aku telah memintamu untuk pulang?" Kali ini aku harus melihatnya, mau tidak mau memandang wajah konyolnya yang menggemaskan itu.
"aku mau pulang bareng kamu" jawabnya singkat.
"aku masih lama pi, tugasku banyak, harus diselesaikan sekarang juga"
"gak bisa diselesaikan di kos saja?"
"gak bisa. Aku musti browshing terus. Modem lagi nggak ada pulsanya. Aku butuh wi-fi. Di kantin kan 24 jam. Jad........" belum sempat melanjutkan kalimatku, dia telah menutup paksa laptopku, sambil tersenyum penuh kemenangan, dia mengambil paksa laptop dan menaruhnya ke dalam ransel yang tergeletak di samping kanan meja dan menaruhnya di pundak. Aku berteriak padanya.
"sapiiiii!! apa-apaan sih? tugasku....arch......"
Tanpa berkata apapun, dia menyeret lenganku, memaksaku untuk mengikuti langkah panjangnya.
"sapi, tugasku! sialan. ilang itu ntar. Ya ampun...." aku memukul-mukul kecil bahunya.
"diam!" tiba-tiba suaranya meninggi. lalu dihentikannya langkah kakinyanya sampai membuatku tanpa sengaja menginjak kaki kanannya. Dilihatnya aku dengan gusar.
"apa?" aku menatapnya judes. Dia menatapku aneh.
"Paris"
Ces. Jantungku rasanya meninggalkan rongga dada, seperti masuk ke perut dan menghentak-hentak tak karuan. Detakannya membuat perutku mulas. Sampai keringat dingin mengucur. Kabar buruk muncul.

Jalanku hampa dan ku sentuh dia. Terasa hangat oh di dalam hati. Ku pegang erat dan ku halangi waktu. Tak urung jua ku lihatnya pergi

Ku tutup mataku lagi. Berharap bayangan lelaki itu menghilang. Dadaku berdebar ringan. Denyutannya normal namun cukup baik untuk membuat sebagian tubuhku terguncang. Ku telan ludahku sendiri. Ku hela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Mataku terbuka lagi. Dan pemandangan malam itu muncul lagi.

Lama aku mencoba mencerna kalimat terkahirnya di lapangan basket tadi. Aku sempat menggigit bibir bawahku saat telah benar-benar menyadari tidak ada gurauan di dalam kalimat-kalimatnya. Dan aku sedang tidak bermimpi.
"baby....maafkan aku karena telat memberitahu ini. Bukan maksudku untuk mengagetkanmu. Bukan. Aku hanya berpikir bahwa...bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Ehm....jangan menangis ya.....kita masih bisa ketemu kok, kan ada YM, ada facebook, ada twitter, ada koprol. Ya kan?" Safi berusaha tersenyum, mencoba meremas tanganku agar aku tenang, namun segalanya malah tak menjadi tenang setelah mendengar perkataannya tentang Paris, kota impianmu.

Dua hari sejak perkataannya tentang Paris. Aku mengurung diri. Tidak menerima sms atau panggilannya. Dan bahkan menolak untuk menemuinya. Aku tak peduli. Kejahatanmu terlalu besar. Kesalahanmu tak terampuni. Aku tak ingin menemuinya lagi. Paris telah membuatku benar-benar jengkel sebelum aku mendengar teriakanmu siang itu.

"kalau kamu gamau buka pintu kamar, ya sudah. Hm, aku berangkat jam 3 sore nanti by.....datang ke bandara ya, kalau sempat. Oya, aku mau memberimu ini. Aku taruh di rak sepatu ya By...aku pulang. Bye Baby Gracia....eh sorry, bukan Bye tapi See You. Kalau bye, aku nggak bisa ketemu kamu lagi donk By. See You ya, By...I'll miss you"
Aku tersenyum geli mendengar ucapan perpisahan darinya dari balik pintu kamarku yang terkunci. Safi....sapi gila. Di saat perpisahan seperti ini masih saja melucu. Namun, senyum tak bertahan lama di bibirku, sebab sesaat setelahnya aku menangis. Tubuhku melorot di lantai. Ku cengkeram kerah bajuku, mencoba menahan sakit. Hei, jangan menangis.


Tak pernah ku ragu dan selalu ku ingat. Kerlingan matamu dan sentuhan hangat. Ku saat itu takut mencari makna. Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada.

Kembali menekuri memori dua tahun lalu. Kembali merasakan sakitnya kehilangan. Bersama desau angin yang melambai-lambaikan rerumputan gajah liar, ku benamkan seluruh perasaku ke sana. Mencoba mengingat segala kejadian yang terekam dengan sempurna bersama Safi, lelaki cerdas dengan mulut cadas, seorang pengguru yang hebat, seorang penutur yang ulung, seorang kocak, seorang gila. Tiba-tiba saja hawa gerah menyelubungi tubuhku meskipun jelas-jelas angin tidak malas untuk bergejolak. Seluruh tubuhku seperti tertikam gersang. Semua terasa panas. Bahkan terik matahari di atas sana tak sampai hati membuat keringatku mengucur deras, namun perjalanan singkat ini membuat peluhku jatuh berlarian, berjatuhan, dan membuat poniku menggumpal.

Sesaat kemudian, setelah tak ada suaranya lagi. Aku berdiri dan membuka kuncian pintu kamarku. Ingin melihat sesuatu yang dititipkan Safi di rak sepatu. Namun sebelum aku melongok ke rak, jantungku melonjak tak keruan ketika ku dapati Safi masih berdiri di depan pintu kamarku lengkap dengan senyumnya. Tanpa aba-aba aku memutar tubuhku. Menyembunyikan sesuatu yang tak boleh dilihatnya.


Debar aneh menelusup dada. Meringkuk. Memberontak saat mencoba ku bangunkan. Ingin rasanya meninju kuat-kuat sesuatu yang menumbuh tiba-tiba di dalam hati. Rasa itu muncul tanpa sempat ku cegah sama sekali. Duhai waktu, aku ingin memberontak padamu. Kenapa putar jam begitu cepat? Kenapa per jamnya hanya 3600 sekon? kenapa tidak 3.600.000 sekon saja? Ah, andai....andai aku bisa memutar balikkan waktu. Tak akan ku biarkan lelaki ini pergi. Hey, aku ingin dia tetap di sini. Meskipun kadang tingkah gilanya membuatku ikut gila namun aku menyukainya.


Kau datang dan pergi oh begitu saja. Semua ku terima apa adanya. Mata terpejam dan hati menggumam. Di ruang rindu kita bertemu.

Ku pukul-pukul tanah bertikar rumput itu. Mencoba melampiaskan kekesalan yang masih menggunung di dalam hati. Mencabut paksa rumput-rumput dini yang baru beberapa hari meninggi. Lagi-lagi aku memberontak, bukan pada waktu, namun pada rindu. Aku merindukanmu.
Aku merindukan setiap tutur busuk yang keluar dari bibirmu. Juga gumam tak jelas yang kadang meluncur saat aku sedang merasakan cinta. Seperti katamu dulu, dan jalang ketika cinta mulai masuk ke dalam ruas-ruas hatimu. Seperti kata pengguru yang meludahi setiap kata soal cinta. Ini omong kosong. Dia perbudaki otakmu sendiri dengan kelainan perasamu.

Sekarang, aku adalah jalang. Sebab telah merindukanmu dengan kejalangan itu.

4 komentar:

.:: Habasyah News ::. said... Reply Comment

di ruang rindu, kita bersama,,,dum dum dum

Bibir Beku said... Reply Comment

ralat, yang bener tuh di ruang rindu kita bertemu....

Muhamad Tajul Mafachir said... Reply Comment

hahahahaahah,,,mulut gua, bertemu nya kan udah brur. kan saatnya bersama

Bibir Beku said... Reply Comment

hahahaha, koplerrrrrr

Post a Comment