April 8, 2014

Aku Tidak Segila Tiara

sekiranya aku hanyalah angin yang meniup sebentar saja, boleh lah aku mencium wangi cinta yang pernah menguar bebas di relung hatimu, untukku dulu? 
aku baru menyadari bahwa cinta begitu sangat kuat terasa ketika semua telah tiada. memilikimu kala itu tak kubantah bahagianya. dan itu surga dunia.
hatiku dibalut rindu sampai rasanya mau kuregang sadarku, aku ingin berlalu dari duniaku dan menemukanmu. haruskah kumelutut membunuh angkuh untuk memohon belas kasihanmu?
rasanya urat maluku menghilang setelah kau hilang, akal sehatku tak lagi bekerja sebagaimana mestinya. bisa kau tidak pergi dan tetap berdiri di samping perempuan ini?
lalu ketika kenangan menerbangkan kenyataan, haruskah aku bersembunyi di bawah kolong langit dan berseru seolah tidak terjadi apa-apa?

aku berdusta pada perasaku...sebuah tempat tak terjamah mengaduh resah...tangisku pecah.



***

pintu kamarnya akhirnya terbuka. balkon yang sudah tiga hari ditinggalkan akhirnya ditemui juga. di balkon selebar satu setengah meter itu angin menerbangkan rambutnya yang sudah tiga hari tak terawat. tali rambut yang sekarang tergantung bebas di ujung rambutnya hampir merosot. anakan rambut yang tak teratur melambai-lambai di sekitar wajahnya yang tampak murung. sambil memegangi sweater tipis berbahan rajut yang telah membungkus tubuhnya selama hampir tiga hari tiga malam, perempuan itu meraih kursi di belakangnya dan menyeretnya mendekati beton pelindung balkon.

malam tampak bersahabat rupanya. keinginan perempuan itu untuk menikmati awan malam serta gugusan bintang tercapai juga. bahkan bulan meskipun tampak malu mau juga menampakkan sedikit wajahnya di hadapan perempuan yang yang kini tengah duduk atas pagar beton. kedua kakinya menjuntai ke udara. kedua tangannya menumpu tubuhnya. matanya mulai mengamati langit malam ketiga setelah semua tiada. di hadapannya berjajar perumahan yang tingginya tidak rata. lampu-lampu yang datang dari gedung apartemen dan bangunan setinggi langit yang tidak jauh berdiri kokoh dari tempatnya menambah hangat malam. andai saja ada gitar, kopi, dan selinting kretek pastinya malam akan nampak sempurna.

"jangan merokok lagi. kau perempuan. tak elok" kata-kata itu terlintas begitu saja ketika membayangkan kretek. tak heran jika selama tiga hari dia memenjarakan tubuhnya di kamar, tidak ada selinting kretek pun yang keluar dari bungkusnya.

baru tiga hari, tapi rasanya seperti tiga bulan.

sejenak dibuangnya napas panjang. sekalipun sudah diusahakannya untuk membuang jauh-jauh kenangan tentang lanang itu, hati dan otaknya memberontak, menolak. rasa sakit pun sepertinya tak cukup kuat untuk menyuruh lanang itu pergi dari benaknya. sebegitu kuatnya kah cinta yang sudah mengakar di hatinya sampai rasanya nalar tak pernah sampai bisa bicara.

"lebih menderita tanpa kretek atau tanpaku?" mendadak Adhitya bertanya setelah berhasil melucuti kretek dari bibir perempuannya. sebelah tangannya telah bersiap untuk merampas kreteknya dari tangan Adhitya, namun gagal. gerak sigap Adhitya berhasil menangkap tidak hanya tangan namun juga tubuh perempuannya.

di dalam rengkuhan lengan Adhitya, perempuan itu dengan entengnya bicara, "kamu itu candu. kamu adalah kretekku. mana mungkin aku bisa hidup jika tak ada kalian berdua? aku akan sangat menderita. aku bisa mati. atau jika mati terlalu menjijikkan maka aku akan gila saja"
"kematian adalah pamungkas, penutup sayang. saat kau mati, itulah saat terakhir untuk berhenti mencintai. dan kalau kau gila itu lebih parah lagi, seluruh memori lamamu akan terhapus begitu saja. kau tidak punya kenangan apapun untuk dibanggakan"

dia meninggalkan perempuan itu sendirian. tapi tidak mati. lanang itu pergi ke rumah yang lain, kepada perempuan yang hampir mati karena bunuh diri. keluarga Adhitya marah besar ketika mendapati Adhitya membuat sakit hati dan jiwa perempuan anak anggota seorang pejabat terkemuka di kota asalnya. perempuan bernama Tiara itu sedang terkulai lemas dengan selang bantuan pernapasan menancap di hidungnya ketika Adhitya mendatanginya. iba dan rasa bersalah berkecamuk jadi satu di dadanya.

Namun Adhitya akhirnya membuat pilihan. Adhitya memilih perempuan gila bernama Tiara. berat memang. tapi Adhitya tidak mungkin membangkang keluarganya dan membuat Tiara, anak satu-satunya itu mati sia-sia karena cinta. dan Adhitya mengalah. bukan. bukan Adhitya yang mengalah. tapi perempuan yang mencintai Adhitya sama seperti Tiara itulah yang mengalah, yang berkorban. yang rela membunuh rasanya demi satu nyawa yang hampir hilang. perempuan itu mundur teratur.

perempuan itu juga ingin mati saja sebenarnya. bagaimana bisa dia hidup tanpa Adhitya. separuh jiwanya itu pergi. tubuhnya sudah tak lagi seimbang. lalu mau apalagi kalau bukan mati?

perempuan itu menangis. mengiba dalam diam agar Adhitya tidak pergi begitu saja. lewat matanya yang basah, dia bicara. namun Adhitya bergeming. rahangnya mengatup rapat saat perempuan itu meninju-ninju dadanya. perempuan itu meraung sampai tetangga kamarnya bingung. Adhitya memeluknya. ditenangkannya perempuan itu dalam keadaan linglung.

dan tiga hari yang lalu adalah pernikahan Adhitya dengan Tiara. perempuan itu memutuskan untuk mengurung dirinya di kamar. mematikan saluran telepon dan tidak membuka semua ketukan. dibiarkannya tubuhnya terkulai di atas kasur. dia tidur dan hanya bangun ketika harus ke kamar mandi. tidak diacuhkannya lapar yang mencengkeram lambungnya. dia rasa lambungnya lebih kuat dibanding hatinya.

dan kini setelah dirasanya cukup, perempuan itu membuka pintu belakang kamarnya, tempat dimana balkon yang biasa dia tempati bersama Adhitya ketika melepas rindu.

sakit memang, namun bukankah akan lebih sakit lagi jika sakit itu terus dimanjakan? bukankah masih ada kehidupan yang harus dijalankan sekalipun Adhitya telah meninggalkannya?

"Dhit....hatiku remuk redam seperti dipalu. seluruh dayaku rasanya terlolosi satu per satu. aku tak lagi punya gairah untuk melanjutkan hidup. bagaimana bisa kuhadapi matahari esok pagi jika matahariku saja sudah sirna?" perempuan itu mulai meracau.

"tapi aku harus kuat, aku kuat, daya tahan tubuhku kuat. sebenarnya aku ingin mati karena kelaparan. tapi Tuhan tidak mengizinkan demikian" perempuan itu menyeringai.

"Dhit, ternyata aku harus bersyukur karena aku tidak memilih gila ataupun mati seperti apa yang dulu aku katakan padamu. Tuhan memilihkanku jalan. aku lebih memilih hidup dan menjaga napasku tetap ada agar aku bisa selalu mengingatmu ketika aku rindu"

"sekarang, aku bisa bersyukur karena kita tidak dipisahkan oleh kematian. itu saja"








****

seorang perempuan menangis. memegangi jantungnya yang nyeri ketika menuliskan ini. sebuah ilusi yang didasarkan pada pengalaman pribadi membuat jiwanya agak terguncang. adakah rindu tertanam di hatinya? adakah sedetik dua detik lelaki itu merindukan perempuan yang hampir gila karena memendam rasa? sakit hati nyatanya tidak secanggih kata orang untuk dapat melupakan kenangan. rasa benci tidak serta merta membuat segalanya bertambah mudah untuk meninggalkan. malah yang ada selalu datang kesempatan untuk merindukan.

pernikahan (berpacaran) tidak akan pernah menghalangi seseorang mencintai orang lain. namun tetaplah dalam diam dan mendoakan agar dia dilimpahi kebahagian. kau akan benar-benar sadar bahwa memang terkadang cinta tidak harus memiliki. kalau mereka bilang jika cinta tanpa memiliki adalah omong kosong, biarkan saja. tidak sedikit orang yang telah menikah masih mendambakan cinta pertamanya. di dalam hatinya yang terdalam, ada cinta yang tak bisa padam begitu saja. begitu pun cinta perempuan ini kepada seseorang yang lama telah lama dipendamnya. baginya, dengan bisa melihatnya baik-baik saja adalah kecukupan materi yang luar biasa.







"melihatnya berdua dengan perempuannya memang membuatku patah hati. tapi tenang, aku tidak akan melompat dari balkon sekalipun aku sedang tidak baik-baik saja. aku tidak segila Tiara!"

0 komentar:

Post a Comment