April 8, 2014

Koma

late post.


Akhinya aku berhasil menemukan peron 3 (bukan peron 3/4 di serial film Harry Potter) setelah sebelumnya sempat hampir salah naik eskalator menuju peron 1 dan 2. Ya, eskalator penghubung ruang tunggu di lantai satu itu memang terhubung ke empat peron stasiun Gambir. Eskalatornya ada dua, satu penghubung ke jalur 1 dan 2, satunya lagi penghubung ke jalur 3 dan 4. Karena kedatanganku tadi masuk melewati pintu utara, maka eskalator yang terpampang di hadapanku adalah eskalator jalur 1 dan 2, bukan 3 dan 4. Oleh karena itu aku hampir salah naik jika saja tadi tidak mendengarkan instruksi petugas stasiun. Ya untungnya telingaku cukup cermat mendengarkan petugas berkoar-koar dari balik...tempat kerjanya, yang mengatakan bahwa kereta Bangunkarta telah "mandek" di jalur 3.

Bergegas kulangkahkan kaki menuju eskalator tanpa menoleh ke belakang -eskalator yang berhadapan dengan pintu selatan pemeriksaan tiket. Sebelum naik,kusempatkan bertanya -untuk memastikan bahwa telingaku tidak salah dengar- pada petugas berseragam yang berdiri didekat eskalator soal jalur kereta yang akan membawaku kembali ke Surabaya.

Kunaiki eskalator dengan kaki gemetar. Rasanya di dadaku mulai ada gejolak yang membahayakan. Kubuang napas panjang. Ini sudah berakhir...

Kereta Bangunkarta berada di depan mataku sekarang. Aku berdiri di peron dalam keadaan tangan gemetaran. Rasanya ingin cepat masuk gerbong dan duduk untuk menenangkan diri. Aku akan pulang. Ya aku akan pulang, batinku sambil menggigit bibir, menahan sesuatu yang hendak erupsi.

Dengan berbekal tiket yang belum kukantongi aku bertanya pada mbak-mas pramu...petugas kereta yang selalu berdiri di depan pintu kereta eksekutif, tentang gerbong keretaku. Dia kemudian menunjuk beberapa gerbong dibelakangnya. Sebelum bertanya, sebenarnya aku sudah tahu dimana gerbong tempatku duduk. Aku hanya basa-basi saja. Eksekutif 6 ada di belakang,tentunya. Tapi, demi memastikan kebenaran apa salahnya bertanya. Kata orang, malu bertanya sesat di jalan kan? Ya, malu bertanya, bisa salah naek gerbong kereta.

Gerbong 6 masih sepi, hanya empat atau lima orang yang telah duduk dikursinya masing-masing.
Kulihat Eksekutif 6 kursi 3B masih kosong. Beruntungnya diriku jika kepulanganku nanti aku sendiri lagi, seperti pada saat aku berangkat satuminggu yang lalu. Aku bisa menguasai kursi. Bisa seenaknya gerak kesana-kemari.Dan juga bisa....itu.

Duduk di dekat jendela adalah surga dan neraka. Surga adalah ketika bisa menatap langit Jakarta yang mulai gelap dan beberapa gedung pencakar langit beserta keramaian yang minta dilambaikan tangan. Neraka adalah kursi di pinggir jendela merupakan tempat terkutuk bagi mereka yang keadaan jiwa dan hatinya sedang nelangsa. Bisa dipastikan galau selalu datang ketika duduk di pinggir jendela. Dan aku mengalaminya.

Setelah berhasil menaruh tas jinjing ke bagasi di atas kepala, aku duduk dengan...dengan kaki dan tangan yang gemetarnya masih tidak wajar, dengan keadaan jantung seperti kena tikam, dengan segala perasaan campur aduk.  Dan, sesuatu yang kutahan mendadak ingin tumpah ketika kupandang kaca jendela. Di sana terpampang sebagian kecil Jakarta yang seperti memelas minta jangan ditinggalkan. Hal itu semakin membuatku resah, gelisah. Ada rasa sesal yang mendadak datang ketika kunikmati menit-menit terakhir di sini. Namun aku masih belum tahu penyesalan apa itu. Hei aku akan pulang, batinku.

Jam belum menunjuk angka 17.45 dimana kereta ini akan beranjak dari Gambir menuju Surabaya Gubeng. Setelah cukup bercengkerama dengan jendela dan pemandangan beton-beton raksasa di luar sana, aku baru menyadari bahwa lelaguan yang meluncur dari balik layar televisi kereta adalah backsound yang tepat bagi jiwa-jiwa yang sedang galau apalagi jika posisi duduknya berada di dekat jendela. Suram. Inilah neraka yang kukatakan sebelumnya. Dan karena lagu itu, hati mendadak terasa sangat nyeri. Mungkin salah satu penyebab air mataku tumpah dengan sangat mudah adalah lagu itu. Di samping karena sesuatu yang baru beberapa menit lalu telah berlalu, lagu ini berkontribusi cukup banyak untuk membuat hatiku menjadi ngilu. Ini seperti adegan di layar kaca, semua terlihat seperti terskenario dengan apik. Adegan pisah, adegan berlalu, adegan naik kereta, adegan duduk di pinggir jendela, dan adegan....ini.

Aku menangis. Kugigit bibir bawahku, kututupi wajahku dengan syal untuk menyembunyikan tangisku yang memalukan ini. Aku tahu, akan ada banyak orang yang menggapku sebagai seorang perempuan gila karena menangis di dalam kereta. Mungkin mereka menerka kalau perempuan yang tengah duduk di pinggir jendela itu sedang galau maksimal, patah hati, atau berpisah dengan.....Ah seperti itulah. Aku tidak peduli, lha wong nangis datang sendiri kok mau ditahan, mana bisa.

Aku terus saja sesenggukan tanpa suara. Dadaku nyeri sekali. Hidungku sakit. Tenggorokanku tak ubahnya seperti disumpal durian. Rasanya hati mendadak sangat sakit karena suatu penyesalan terhadap sesuatu yang tidak aku tahu. AKu tidak tahu menyesal karena apa, tapi aku merasa ada sesuatu yang belum tersampaikan, yang belum kulakukan.

Air mataku terus saja keluar. Dia seperti minta dimanjakan, tidak mau mandek barang sebentar. Boleh lah kesedihan ini kumanjakan beberapa menit. Biarkanlah semua rasa tumpah ruah dengan menangis. Barangkali dengan menangis semua terselesaikan. Jika ada beberapa hal yang tak sanggup kusampaikan padanya, semoga dengan menangis membuatku lega. Namun, tangisku malah semakin menjadi ketika kudapati sebuah pesan singkat yang muncul di HP yang sedari tadi kukantongi.

"hati-hati ya mbak :)"


Satu setengah jam sebelumnya adalah pertemuan tak terdugaku dengannya.Seseorang yang sebenarnya sangat tidak ingin aku temui mendadak menghubungiku dan meminta bertemu. Ketika aku menginjakkan kaki di Jakarta seminggu yang lalu, aku memang tidak menghubunginya. Aku sengaja tidak mengabarinya. Aku menyengaja melakukan itu agar dia tahu bahwa keberadaannya tidak lagi berarti untukku. Entah darimana dia tahu aku sedang di Jakarta, mungkin karena beberapa status facebook dan twitterku, pasti. Sebodo amat lah, aku tidak merasa tertarik untuk mengetahuinya, aku tidak peduli. Dan ketika mendadak di malam sebelum aku pulang kudapati dia mengirim pesan singkat untukku, aku mulai ragu, harus kuiyakan atau kutolak mentah-mentah ajakannya untuk bertemu.

Harus kuiyakan karena aku tidak mau menjadi seseorang yang kejam di matanya sekalipun dia sudah melakukan sesuatu yang berdampak besar padaku. Aku tidak mau memutus tali silaturahim begitu saja. Namun di sisi lain, masih ada nyeri yang tertinggal di hati setelah satu bulan sebelumnya kutemukan fakta yang menyebabkanku kecewa, sakit hati, dan mendadak benci, yang membuatku sangat enggan untuk melihat dirinya lagi.

Aku tidak lupa, sama sekali. Tentang peristiwa itu...Ah betapa kecewa dan marahnya diriku kala itu sampai sebuah postingan kasar di dalam blogku dibacanya dengan...ah seperti itulah. Seharusnya wajar bagiku memberikan respon yang sangat...ya seperti itu. Wajarlah, seorang perempuan yang merasa....terdzalimi memberikan respon luar biasa sampai dia pun terkejut membaca umpatan kasarnya. Tapi ya sudahlah, toh aku juga berniat melupakan dan mengusirnya jauh-jauh dari hidupku. Tak kupedulikan lagi komentar yang muncul darinya tentang umpatan dan kata-kata kasarku padanya. Dan benar saja setelah itu kuacuhkan dia, tak kusapa dia, kubiarkan dia, aku mendiamkannya. Tentu saja aku tidak ingin berkomunikasi soal apapun dengannya, aku tidak mau.

Namun, aku tidak bisa mengacuhkannya kali ini. Aku tidak bisa. Naluri perempuanku mengatakan untuk tidak membuatnya kecewa. Sudah hampir setahun tidak berjumpa, mana boleh menolak ajakan untuk bersua barang sebentar saja. Mungkin dia punya itikad baik untuk...sekedar minta maaf mungkin atau ingin menyambung lagi pertemanan kami. Bah, pertemanan? aku tidak mau menjadi temannya. Namun dengan gaya sok jutek akhirnya kubalas juga pesan singkatnya, kuiyakan permintaannya untuk bertemu. Kuiyakan, ya kuiyakan. Aku memang tidak cocok untuk berlakon antagonis di setiap cerita cinta, tidak pernah bisa.

Dengan diantar oleh keluarga teman yang kuinapi selama hampir seminggu, aku berhasil sampai di Gambir sebelum jam untuk penukaran reservasi tiket online berakhir. Sebenarnya ketika di perjalanan tadi aku juga sempat meminta bantuan pada lelaki itu untuk mencetak tiketku di tempat print-out yang telah tersedia di stasiun Gambir. Itu harus dilakukan jika dia yang lebih dulu sampai di sana. Namun aku sedikit khawatir tentang permintaan bantuan itu. Pikiran konyol terlintas di kepala. Aku rasa, jika dia berhasil menolongku untuk mencetak tiket, hal yang kukhawatirkan pasti terjadi. Pasti nanti akan menjadi bahan lelucon darinya ketika akhirnya dia tahu nama lengkapku. Oh tidak bisa. Tidak bisa. Selama ini dia tidak tahu namaku yang sebenanya. Aku tidak menginginkan itu terjadi. Aku tidak mau dia tahu. Tidak.

Dan untungnya, ketika aku sampai di stasiun ternyata dia juga sampai disana. Hanya saja sepertinya aku yang lebih dulu masuk ke dalam ruang tunggu. Jadi tidak ada waktu baginya untuk menolongku, toh aku juga sudah berdiri antri di tempat print-out tiket dengan ditemani temanku. Oh bahagianya.

Beberapa menit kemudian mendadak HP bunyi. Lelaki itu menelepon. Bunyi percakapan kami seperti ini kira-kira:

L: Halo...
A: Mbak dimana?
L: Aku di tempat cetak tiket. Kamu dimana?
A: Aku di sana juga, mbak.
L: Loh masa'? dimana? (tanyaku sambil celingkukan kiri-kanan mencarinya)
A: Mbak pake kerudung ijo kan?
L: Lho kok tau? (aku celingukan lagi, mencarinya, namun nihil)
A: Tau lah..
L: Kamu dimana?
A: Ada deh..
L: ishh dasar....Sek bentar ya, aku mau nyetak tiket dulu.

Ternyata aku tidak bisa melakukan akting sok jutek ketika mendengar suaranya. Tidak bisa. Aku tidak bisa jahat padanya. Kepribadianku kembali seperti semula. Ini musibah. Dan sebaiknya aku berlaku biasa ketika nanti bertemu dengannya. Semoga bisa.

Terkadang Tuhan memberikan kita mata bukan untuk melihat hal yang nyata nampak di sekitar kita, selalu ada sesuatu yang terabaikan atau terlupakan keberadaannya. Aku punya mata untuk bisa melihat banyak orang berlalu-lalang di sekitarku, di belakangku, namun aku tidak bisa menemukan orang itu. Justru dia yang dengan mudahnya menemukan keberadaanku di tengah kerumunan orang. Mataku yang aneh atau matanya yang hebat?

Merasa diperhatikan seperti itu aku mendadak gugup, salah tingkah, meskipun aku tidak tahu tepat dimana dia berada. Apakah dia sedang duduk santai sambil menertawakan gestur tubuhku yang aneh karena celingukan tak mendapati keberadaannya. Atau apakah dia tengah berdiri sambil senyum penuh kemenangan karena berhasil membuatku merasa sangat bodoh padahal dirinya sedang berada di dekatku. Entahlah. Di tengah kerumunan orang - orang itu aku tidak bisa mencarinya. Dalam hati bertanya-tanya, bagaimana bisa dia melihatku. Dari sebelah mana dia memandangku. Ah sial. Aku merasa sangat bodoh.

Tiket telah tercetak dan aku berbalik untuk mencari ayah temanku. Namun kakiku mendadak terhenti. Mataku tertuju pada titik tepat dua meter di pojok kananku. Di sana berdiri seseorang yang sudah hampir setahun tidak kutemui. Seseorang dengan keeksotisan kulitnya yang mampu menarik perhatian banyak orang. Gaya berdirinya yang sok cool membuatku...ah sialan nih orang. Aku menelan ludah. Harus kuakui kalau dia masih sekeren tahun lalu ketika pertama bertemu. Lelaki yang membuatku menjerit dalam hati dan gelinjangan seperti cacing kepanasan di balik kaca ketika menunggunya di depan mesin ATM di dalam Tunjungan Plaza. Bagaimana bisa aku bertemu lagi dengan lelaki macam ini? Batinku. Ini musibah.

Sok cool. Gayanya benar-benar membuatku menggelengkan kepala. Punggungnya menyandar di dinding. Sebelah kakinya ditekuk ke belakang. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. Dan ekspresi wajahnya menggambarkan kemenangan. Tuhan...lelaki ini benar-benar.....Dan aku cuma bisa memberikan lelaki sok cool itu sedikit senyum "malu" dan pasrah sambil memintanya untuk menunggu sebentar karena aku harus berpamitan dengan teman dan keluarga yang mengantarku.

Oke. Aku mulai salah tingkah.

Awkward. Seperti momen-momen pertemuan kami tahun lalu. Hell, mendadak aku merasa garing sendiri. Namun, aku berusaha bersikap sewajarnya saja. Sok basa-basi bertanya: sudah lama? kok nggak lihat kamu? bla bla bla yang jika didengar memang cukup garing di telinganya.

Sejujurnya dari tengah perjalanan aku sudah menahannya, sudah di ujung tanduk. Jadi ketika temanku berpamitan untuk pulang, aku meminta lelaki ini untuk menjaga tas jinjingku. Aku harus ke toilet. Harus segera. Dan sesampainya di sana, aku berkaca sambil berteriak dalam hati: ini gila, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak.

Tidak bisa kupungkiri kalau ternyata ada baiknya kami bertemu. Paling tidak kami bisa bercakap-cakap lagi. Sekalipun cuma sekedar say hello dan mengobrol ringan saja untuk menutupi menutupi awkward moment ini, tak jadi masalah, yang terpenting adalah aku merasa kewajibanku untuk menemui lelaki ini telah gugur di situ.

Sebenarnya aku tidak lapar, hanya saja aku harus membeli makan untuk di kereta nanti malam. Makanan di kereta mahal, jadi lebih baik aku membawanya dari luar saja. Oleh karena itu aku putuskan untuk mengajaknya duduk di salah satu restoran cepat saji di dalam ruang tunggu. Satu paket makan, ice cream, cola, dan burger berhasil kupesan.

Taukah kamu tanda untuk membaca gerak-gerik orang di hadapanmu yang sedang bingung, gugup, atau malu? Seperti ini tandanya.

L: (sambil mengobrol, nggak melihat matanya. malah makan ice cream dengan lahapnya)
A: (santai, tenang menikmati burger dan cola di hadapannya)
L: kamu kok tahu kalau aku lagi di Jakarta? (tanyaku basa-basi sambil terus melahap ice cream yang dingin)
A: tau lah, aku kok (sok banget nih orang, batinku)
L: yeeee....palingan juga tahu dari update twitter dan facebookku. ya kan?
A: dibilangin enggak kok nggak percaya
L: halah, palingan juga dari situ
A:.......
L: lho...kok gelas ice cream-nya robek? (kataku tiba-tiba setelah memperhatikan gelas plastik wadah ice cream)
A: ih.....gelas bekas itu mbak
L: masa' sih?
A: iya gelas bekas. minta tukar sana
L: nggak usah ah, udah mau abis juga
A: ih....pakai gelas bekas masih aja dimakan
L: biarin, namanya juga laper

....

Rasanya ketika bertatapan muka dengannya seperti itu membuatku heran dan takjub. Tahun lalu, beranikah diriku melakukan hal semacam itu? aku cuma menyembunyikan tawa tanpa berani menatap matanya. Sekarang malah duduk berhadapan dengannya dan berani menatap ke dalam matanya sekalipun agak...canggung dan malu, menikmati gari-garis wajah dan kumis yang terkadang membuatku senyum-senyum geli di dalam hati, berani melempar lelucon dan cibiran, berani....ah berani melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan bakal melakukannya. Ya, ini kemajuan.

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bakal bertemu lagi dengannya dalam keadaan sesempit ini. Tidak pernah. Kesempatan terakhir yang kupunya adalah ketika dia diwisuda Oktober lalu. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuknya, aku hendak ke Malang untuk menghampirinya namun gagal karena mendadak kena sakit. Ya itulah kehendak Tuhan. Takdir menentukanku dan dia tidak bertemu kala itu. Dan takdir juga yang membawaku kembali bertemu dengannya dalam keadaan yang tak terduga seperti ini.

Kali ini, ketika benar-benar bisa duduk di hadapannya seperti ini aku mulai ragu. Perasaan itu timbul tenggelam. Semua mulai terasa aneh. Kami seperti teman lama yang baru bisa berjumpa, ada rindu yang rasanya terobati. Namun kami juga seperti orang asing yang bingung mencari topik untuk dibicarakan, ada gap yang membentang di antara kami yang membuat kami tidak bisa leluasa berbicara. Adakah sesuatu yang salah di sini? Mungkin, seharusnya tidak pernah ada sesuatu itu. Seharusnya kita bisa berteman baik-baik. Seharusnya tidak pernah ada permulaan yang mengakibatkan koma berkepanjangan. Seharusnya tidak pernah ada teka-teki yang selalu membuat kita berpikir tentang ada dan tiadanya sesuatu itu. Ya, kita memang tidak pernah bisa melafalkan apalagi menuliskannya secara gamblang. Dan kita sebenarnya sama-sama tahu kalau itu menyakitkan, namun kita mengabaikan dan terus melanjutkan tanpa ada batas waktu pengakhiran.

Di tengah-tengah pikiran yang carut - marut itu aku memulai percakapan lagi. Sungguh, aku sangat tidak menyukai awkward moment, aku tidak menyukai sepi, aku tidak menyukai pertemuan tanpa banyak obrolan.

L: loh kamu nggak kerja toh? katanya setiap hari masuk?
A: tadi kerja kok mbak, lha ini masih pake sepatu lapangan (jawabnya sambil menunjukkan sepatunya yang belepotan tanah)
L: lha kerja kok bisa ke sini?
A: kan minta izin dua jam buat keluar
L: emang boleh?
A: boleh lah. lha ini buktinya aku di sini
L: oh iya sih. hehehhe.
A: ke jakarta kok nggak ngomong-ngomong sih mbak?
L: lha ngapain? ngomong sekalipun belum tentu bisa ketemu kan? (padahal di dalam hati aku bilang: aku memang sengaja nggak ngomong aku nggak mau ketemu kamu)
A: lha ini buktinya bisa ketemu
L:........

Karena ada sesuatu yang harus kubawa di kereta maka aku harus membelinya dengan segera di minimart terdekat. Aku tidak mengajaknya, tentu saja. Tidak mungkin aku mengajaknya dengan membawa tas jinjing yang merepotkan -harusnya bawa koper, bodoh- itu kesana-kemari. Lebih baik kutinggal dia sebentar.

Aku tidak tahu bagaimana reaksinya ketika bertemu denganku, bagaimana komentarnya terhadapku. Ekspresi wajahnya biasa saja. Tidak ada tanda-tanda mejikuhibiniu di sana. Dia terlalu biasa saja untuk ukuran seorang lelaki yang meminta bertemu perempuan yang dikenalnya. ah...pikiran itu berkecamuk di dalam kepalaku ketika dari jauh kuperhatikan dia. Tuhan begitu luar biasa sampai menetapkan takdir seperti ini. Aku tidak pernah berkhayal untuk bisa menemuinya lagi, pun mengobrol seperti tadi. RencanaNya sungguh luar biasa.

Mungkin di matanya aku benar-benar konyol, terlihat salah tingkah. Saking salah tingkahnya aku sampai menenggak air mineral dengan cara yang sangat aneh, semua yang kulakukan terlihat aneh dan konyol di matanya. Pun bahkan ketika diam-diam aku mau memasukkan sesuatu ke dalam tas jinjingku, dia memergokiku...

A: ngapain ditaruh situ? mending masukin tas kecil aja.
L: he? tapi kan nggak muat. segede ini.
A: alah muat-muat, barang segitu doang
L: emang kamu tau barang apaan?
A: tau lah, kan keliatan dari sini.
L: he keliatan? (tanyaku malu)
A: kalau ditaruh situ kan lebih gampang ngambilnya.
L: oh iya muat sih. hehehe (Tapi memang ada benarnya, kalau sesuatu ini aku taruh di tas jinjing pasti akan sangat sulit untuk mengambilnya, bagaimana kalau dilihat orang, kan malu juga. Mending dimasukin tas kecil saja. Ya, logikaku main)

Jam sudah mau menunjuk angka 17.30 dan di saat seperti itu dengan beberapa obrolan yang mulai santai meskipun tetap terasa tegang, mendadak dia bertanya di tengah percakapan ringan kami:

A: mbak..
L: (deg deg deg) hm...
A: bahasa Inggrisnya awan itu apa ya?
L: (fiuh...kirain tanya apaan) awan? cloud.
A: kalau berawan?
L: cloudy. kenapa?
A: nggak apa-apa, tanya doang.
L: (udah gitu doang? hmmmm)..........

Dan akhirnya terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang akan membawaku pulang ke Surabaya sudah akan datang. Aku kembali melihat jam besar di dinding stasiun. Ini sudah saatnya aku mau pergi, kenapa bocah ini tidak mengatakan apapun. Niatnya bertemu untuk apa coba. Tidak ada permintaan maafkah? Aku mulai mendengus. Tak sabar. Dan akhirnya kuberanikan diri menggodanya:

L: eh keretanya udah mau dateng nih, kamu...nggak ada sesuatu yang mau disampaikan? (tanyaku separo tertawa demi menutupi kegugupan. kulihat matanya. tidak ada tanda-tanda apapun. matanya terlalu santai. aku tidak bisa menebak sesuatu yang tersembunyi di sana)
A: apa mbak? nggak ada ah..
L: serius nggak ada? (tanyaku lagi)
A: apa ya? nggak ada mbak...(jawabnya sambil tersenyum)
L: serius? kesempatan terakhir lohh...ntar nyesel lho
A: haha, serius nggak ada mbak
L: (bohong. aku tahu kamu sedang berbohong. aku tahu kalau kamu gugup. aku tahu kalau kamu tidak berani mengatakan itu. yay, aku sok tahu.)

Sejujurnya, aku enggan mengatakan ini. Namun dilihat dari gelagaknya yang adem ayem namun penuh tanda tanya itu aku menyimpulkan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadaku namun tertahan di tenggorokan. Oleh karena itu mau tidak mau akhirnya aku mengatakan ini:

L: sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu...hehehe (kata-kataku tertahan di tenggorokan. Sumpah aku harus berusaha menutupi keresahan yang mulai muncul dengan tertawa garing seperti ini) aku mau minta maaf....

Akhirnya aku yang meminta maaf duluan. Sial. Siapa yang salah, siapa yang minta maaf. Aku emang edan. Khayalan yang menyatakan bahwa laki-laki ini bakal meminta maaf padaku sirna sudah. Ya, dia tidak merasa salah sama sekali. Lanang edan. Tapi biarlah, daripada tidak ada yang membuka mulut di saat-saat genting seperti ini lebih baik mengorbankan keegoisan demi kejelasan. Kapan lagi ada kesempatan untuk bertemu dan mengatakan ini.

L: aku minta maaf buat yang kemarin itu...nanti yang di blog akan aku hapus, anggap saja aku tidak pernah mengatakan itu padamu, aku minta maaf.... hehehehe (jujur aku mulai sangat gugup ketika mengatakan ini)
A: (akhirnya dia membuka suara) aku juga minta maaf mbak, maaf kalau ada salah...
L: (salahmu banyak sekali, nak) iya nggak apa-apa udah dimaafkan kok...(semudah itu memaafkannya, nggak sebanding dengan yang kemarin. tapi sudahlah)

Kemana perginya benci itu? kemana hilangnya perasaan sakit dan kecewa itu? kenapa semua terlihat baik-baik saja sekalipun dia tidak meminta maaf dulu dan hanya mengatakan kalimat sependek itu? aku yang tidak waras atau dia yang kelewatan tidak peka?

Dan semua hilang. Perasaan benci itu menguap. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal. Dan untuk dapat mengungkapkan pertanyaan itu, dengan sekuat tenaga aku harus menekan ego dengan menanyakannya sesantai mungkin, sambil guyon...

L: oh iya, pacarmu siapa sih? (tanyaku pura-pura excited)
aku sebenarnya berharap dia bilang, aku nggak punya pacar kok mbak.
A: temenku SMP, mbak...

Jederrrrr. Ada kilat di atas kepalaku.

L: owalah....(kataku sambil berdiri, bersiap-siap untuk pergi karena keretaku sudah sampai di atas)
A: gak apa-apa tah mbak?
L: halah biasa ae...(jawabku sambil menebar senyum palsu. nggak apa-apa gundulmu!)

Berusaha menyembunyikan perasaan yang jelas-jelas sudah bisa dia baca adalah sebuah kebodohan. Sekuat apapun diriku menahan perasaan itu, dia tahu. Gerakan tubuh dan caraku bicara sepertinya khatam baginya. Tentu saja dia tidak sebodoh diriku, hanya dengan mendengar suara dan tingkahku yang aneh dan konyol pasti sudah tahu kalau aku tidak baik-baik saja. Namun untuk diriku yang tidak pandai membaca gerakan orang, aku pasrah saja ketika melihatnya terdiam saja. Gerakannya terlalu luwes, terlalu tenang, untuk ukuran seseorang yang mungkin merasa sangat bersalah pada orang di hadapannya.

Kami berdiri di depan pemeriksaan tiket. Aku berbalik ke arahnya kemudian mengangsurkan tangan sambil menyunggingkan senyum. Kami bersalaman. Semoga dosa-dosa yang telah kami lakukan termaafkan. Semoga semua kembali seperti semula. Semoga tidak ada yang menyakiti atau tersakiti lagi. Semoga semua baik-baik saja. Semoga aku cepat melupakan ini, semoga. Semoga aku lupa dengan apa yang baru saja dia bilang. Namun, yang dia bilang barusan terngiang-ngiang terus di telinga. Dan ini adalah musibah.

Kemudian aku mulai mengantre di tempat pemeriksaan tiket. Sebelum tiba giliranku, aku menoleh ke arahnya lagi dengan melambaikan tangan dan memberikan senyuman perpisahan. Ini adalah pengakhiran, kataku dalam hati.
Dan setelah melewati pemeriksaan tiket, aku berjalan lurus ke depan. Aku tidak menoleh lagi. Aku tidak mau menoleh. Aku tidak mau melihatnya berdiri seperti itu. Aku tidak mau dia tahu kalau air mukaku telah berubah. AKu tidak mau dia tahu ada mendung yang tergambar jelas di wajahku. Aku tidak mau dia tahu kalau aku merasa sakit dan ingin menangis.

AKu pikir akan baik-baik saja. Namun ternyata setelah melewati pintu pemeriksaa tiket, perasaanku mulai carut-marut. Dadaku mendadak sesak. Sesuatu tertahan di tenggorokan. Mataku mulai berkaca-kaca. Demi Tuhan aku tidak ingin berbalik melihatnya, aku tidak mau ada kejadian seperti di film yang tiba-tiba aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Bah, pikiran macam apa itu. Tentu saja aku tidak sekonyol itu. Bahkan ketika tadi aku punya niatan untuk memberikan kecupan di pipinya kuurungkan. Aku takut, bukan takut dimarahi olehnya karena dengan gilanya mencium pipinya. Tapi takut karena jika aku melakukannya, aku akan menangis saat itu juga.

 ....

Setelah membaca pesan singkatnya, tangisku pecah, tangisku semakin menjadi. Bahkan ketika beberapa petugas kereta melewatiku dan memergokiku menangispun aku tidak peduli. Ketika petugas pemeriksa tiket memintaku untuk menunjukkan tiket dan mengetahuiku menangis pun aku juga tidak peduli. AKu cuma mau menangis dan melampiskan semuanya saat itu juga. Persetan jika dikatakan memalukan.

Tuhan, kenapa rasa sakitnya seperti ini? Kenapa aku tidak bisa baik-baik saja? Patah hati kah diriku? Menyesalkah diriku karena tidak melakukan itu kepadanya?

Dan aku menuliskan status di twitter bahwa aku menangis. Aku berpamitan pada Jakarta di twitter. Namun tanpa kusangka, dia membaca isi status twitterku. Kubuka profilnya, dan jantungku mendadak berdegup kencang setelah membaca isi twitternya. Seketika aku naik ke atas kursi dan mengambil tas jinjingku di bagasi.

Buka tas cokelat!

Bergegas kubuka resleting tasku. Dan yang kutemukan di dalamnya adalah bungkusan kertas kado batik berwarna cokelat. Aku mengambilnya dengan segera. Buku?

Bungkusan cokelat itu kubuka dengan sangat hati-hati. AKu tidak mau merobek kertas pembungkusnya. AKu ingin kertas itu tetap rapi. Dan ketika aku berhasil membukanya, kutemukan sebuah novel berjudul "Cloudy" dan buku motivasi tentang "Galau"

A: mbak..
L: (deg deg deg) hm...
A: bahasa Inggrisnya awan itu apa ya?
L: (fiuh...kirain tanya apaan) awan? cloud.
A: kalau berawan?
L: cloudy. kenapa?
A: nggak apa-apa, tanya doang.
L: (udah gitu doang?)..........

Di hadapannya, aku benar-benar menjadi sangat bodoh dan konyol. AKu belum mampu meng-upgrade kemampuanku untuk menjadi perempuan "cerdas" dalam membaca situasi ketika bersamanya. Aku selalu konyol, selalu menjadi perempuan lemah sampai detik terakhir ketika bertemu dengannya. Bahkan untuk membaca kode itu pun aku tak mampu. Semua pemikiran rasional pun berhenti ketika berada di dekatnya. Aku tak pernah bisa berpikir bahwa dia akan melakukan hal sejauh itu. Dia yang luar biasa atau aku yang memang tidak peka?

Sebagai teman di perjalanan. Sebenarnya nggak mau ngomong, tapi berhubung situ nangis ya gimana lagi.

Dan ini bukan tangis patah hati lagi, ini tangisan haru, tangisan bahagia. Sebuah kejutan tak terduga di awal bulan Februari yang kunamakan koma membuatku menangis bahagia. Tidak tahu kenapa, tapi rasanya sungguh bahagia. Jika saja aku memutuskan untuk tidak mau menemuinya, jika saja aku berlagak jadi antagonis di hadapannya, dan jika saja aku menghentikan semuanya tentu tidak akan pernah ada kejadian se-luar biasa ini di stasiun tempat kami memisahkan diri. Ini bukanlah dongeng seperti yang ada di layar kaca, bukan juga cerita fiktif yang dikarang penulis-penulis muda. Ini nyata. Sebuah kejadian fenomenal nyata yang seumur hidup baru kualami bersamanya. Terima kasih telah mendatangkan mejikuhibiniu dalam waktu yang bersamaan.

Berpisah di stasiun bukanlah perpisahan yang sebenarnya, semua tetap berlanjut sebab kami belum menginginkan ini berakhir di satu titik. Kami masih nyaman dengan "koma" yang selalu kami bubuhkan di setiap cerita. Jika kami memutuskan untuk berhenti di titik, tidak akan pernah ada lagi cerita tak terduga lainnya. Kami tetap membiarkan semua berjalan sesuka takdir. Kami tidak menginginkan apapun selain rasa bahagia. Kami tidak membutuhkan percekcokan seperti pasangan-pasangan lainnya. Kami bukan pasangan, kami adalah duo sang pemberi dan penerima rindu. Kami adalah sepaket manusia yang dengan senang hati mengikuti alur cerita yang Tuhan skenariokan. Kami mempercayai takdir dan segala ketetapanNya, tidak peduli tentang apapun itu. Saling memiliki bukanlah goal bagi kami sekarang ini. Tidakkah saling berbagi rasa bahagia saja sudah cukup? Ya, bagi kami itu lebih dari cukup.

....
....

Perempuan itu berpamitan ke toilet dan aku diminta untuk menjaga tas jinjingnya. Karena aku bingung bagaimana cara untuk memberikan sesuatu ini padanya, maka sekarang adalah kesempatan bagiku untuk memberikannya diam-diam. Sebuah bungkusan yang kubeli di toko buku kuambil dari dalam ransel dan segera kumasukkan ke dalam tasnya. Tadi ketika mampir di toko buku, aku tidak punya banyak waktu untuk memilih buku apa yang mungkin dia gemari. Sebuah novel berjudul "Cloudy" dan buku motivasi tentang "Galau" ini akhirnya kusambar begitu saja. Semoga dia menyukainya.

......

Dia telah kembali dari toilet. Aku sangat takut jikalau nanti tiba-tiba dia membuka tasnya dan kemudian menemukan bungkusan itu. Maka dengan sigap aku menawarkan bantuan untuk membawakan tasnya agar dia tidak punya kesempatan untuk menyentuhnya. Berhasil.

......

Aku sangat gugup sekali ketika dia kembali dari minimart, dia meminum air mineralnya dan ada tanda-tanda akan dimasukkan ke dalam tasnya. Jangan.....Namun beruntungnya dia menaruh botol air mineral itu di sisi depan tas. fiuh....lega.
Kemudian aku memergokinya lagi akan menaruh sesuatunya ke dalam tas jinjing. Dengan cekatan aku bilang:

A: ngapain di taruh situ? mending masukin tas kecil aja.
L: he? tapi kan nggak muat. segede ini (dia berargumen, dan jangan sampai aku kalah)
A: alah muat-muat, barang segitu doang (aku berpura-pura setenang mungkin, jangan sampai dia curiga)
L: emang kamu tau barang apaan? (dahinya berkerut)
A: tau lah, kan keliatan dari sini (kataku yakin, iya yakin karena aku melihat barangnya. hehehehe)
L: ish.....dasar (kataku malu) oh iya muat sih. hehehe
Akhirnya dia memasukkan barangnya ke dalam tas kecilnya. Tas besarnya tetap aman tak terbuka. Beruntung sekali logikanya main. Tapi tunggu, logikanya main atau dia memang menurut saja apa yang aku katakan karena dia salah tingkah. Hahahaha. Aku tahu kalau dia gugup.

.......

Aku melihat punggungnya menghilang setelah melewati pemeriksaan tiket. Dia tidak menoleh lagi, padahal aku ingin melihat wajahnya lagi. Dia tidak melambaikan tangan lagi, padahal aku ingin melihat senyumnya. Dia berjalan lurus tanpa memperhatikan sekelilingnya. Baik-baik sajakah dia? Aku tahu kau tidak baik-baik saja, maafkan aku. Perasaanku rasanya campur aduk. Aku bingung.

Berbaliklah agar aku tahu kau baik-baik saja. Tersenyumlah padaku!

........

Isi status twitternya membuatku nelangsa. Dia menangis. Aku membuatnya menangis. Aku berdosa. Kemudian aku menuliskan ini di twitterku:

Buka tas cokelat!

Sebagai teman di perjalanan. Sebenarnya nggak mau ngomong, tapi berhubung situ nangis ya gimana lagi.

Mungkin kalau aku nggak memberitahu sekarang, pasti ketahuannya kalau sudah sampai di Surabaya.

.....

Dia sudah berhenti menangis karena telah menemukan bungkusan itu. Ya, berhentilah menangis. Jangan menangis lagi. Aku tidak bisa melihatmu seperti itu. Jangan membuatku semakin berasa berdosa karena kejujuranku tadi. Aku bisa melihat dia terluka ketika tadi aku bilang seperti itu. Ah sial, tidak jujur merasa dosa, jujur pun malah merasa bersalah. Tapi bukankah lebih baik jujur? Beruntungnya tadi dia menanyakan hal itu. Aku tahu dia pasti akan menanyakan hal itu dengan cara seperti itu. Sekalipun dia berusaha menutupi perasaannya, aku tetap tahu kalau dia terluka...

.....

Ah....stasiun adalah tempat yang romantis. Pikirku, kali ini aku seperti seorang aktor yang sedang bermain FTV. Kejadian-kejadian ajaib tadi sama sekali tidak pernah tergambar di kepalaku sebelumnya. Skenario Tuhan benar-benar luar biasa.

Aku masih ingin di sini, aku belum ingin kembali.

.....

Tuhan menegaskan pada kita bahwa dengan 'koma' kita mampu membangun cerita yang luar biasa. Ya....aku juga memilih koma.

0 komentar:

Post a Comment