April 8, 2014

Jera

dia suka bermain dengan langit, bermain dengan malam, bermain dengan
kegelapan. perempuan itu menyukai takdirnya tak terpejam di tengah malam.





tanpa rasa takut, dibukanya pintu lantai dua rumah kosnya. di luar sana ada
balkon yang biasa digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. tepat di depan
balkon ada atap rumah yang melindungi lantai satu dari panas dan hujan. atap
yang sering mereka sebut genteng itu sangat mudah untuk dinaiki dalam sekali
percobaan. biasanya ketika suntuk tiba, perempuan itu tanpa ragu naik ke atas
genteng. dia duduk santai di atasnya sambil menikmati angin malam yang
membelai.

tubuhnya rebah di atas genteng. kedua tangannya dijadikan bantal. kedua kakinya disilangkan.

di atasnya bintang bertaburan. langit malam menunjukkan kemagisan. ada beberapa bintang yang berkelip manja padanya. ada beberapa pula yang mengajaknya untuk menari bersama. ada sorakan di atas sana. ada lambaian untuk bergabung dalam pesta. ilusi. itu ilusi.

matanya mengerjap resah. ujung hidungnya mulai merah. tenggorokanya rasanya seperti disumpal. rahangnya mengeras menahan diri untuk tidak marah pada kenyataan.

mendapati lagi tentang bayangan kejadian-kejadian yang sempat membuat
uratnya menegang sebelum-sebelumnya, matanya mendadak berair. ada
begitu banyak kesalahan yang telah dia buat, kecurangan, penipuan,
kebohongan, menyakiti orang lain yang ternyata terbalas juga oleh yang
lainnya.

pernah mendzalimi orang, maka akan didzalimi orang lain
lagi. bukankah seringkali kita mendengar tentang apa yang kau tanam,
itulah
yang akan kau petik? dan dia tak pernah lupa pepatah itu.

"ini adalah pembalasan. ini hukuman" serunya lirih.






"Tuhan, ampun. ini rasanya sakit sekali. Tolong aku" katanya lagi.

sesenggukan dia. meringkuk diselimuti angin di atas atap rumah. tubuhnya tidak merasa kedinginan, namun hatinya beku. beku hingga tak ada apapun yang bisa dirasakan. tangan dan kakinya gemetaran. dia takut jika tiba-tiba saja Tuhan mengambil nyawanya sedang dia belum sempat melakukan pengakuan dosa pada orang-orang yang telah dia dzalimi.

kebenaran yang dia sembunyikan nyatanya memang menjadi borok menakutkan, yang setiap saat bisa menghukum hatinya, yang mampu menghempaskan kebahagiaan duniawi yang dia bangga-banggakan.

"aku salah arah, Tuhaaaaan! beri aku jalan. aku takut. di sini gelap sekali. aku sendirian"

dia ingin meraung. mengerang. berteriak lepas. dia ingin semua telinga orang ditulikan sepuluh detik saja. dia ingin jejeritan di atas sana. dia ingin membunuh jenuh dan rasa sakit yang menelan mentah - mentah kebahagiaan yang dia dambakan.

telah dia rendahkan dirinya di hadapan mereka, telah dia tekan egonya, telah dihilangkannya rasa malu, telah dia usir kesombongan yang menjadi bedaknya setiap hari. dan kemudian dia merangkak bak seorang budak untuk meminta pertolongan, meminta sedikit air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

perempuan itu merasakan bahwa dirinya begitu hina. rasa jijik hinggap di hatinya. dirinya sendiri merasakan bahwa tak akan ada seorang manusia berhati iblis sekalipun yang akan mengajaknya bicara. dia merasa telah terusir dari golongannya. haruskah dia pergi ke tengah belantara hutan agar merasakan ketenangan? jauh dari rumah dan orang-orang yang dikenalnya? apakah mengasingkan diri adalah pilihan yang tepat?

rasanya dia hanya akan sendiri sampai hutangnya terlunasi. dia hanya akan ditemani penyesalan sampai penyakit mematikan itu menghilang dan sisa umur yang Tuhan berikan benar-benar dibuat untuk menebus segala kesalahan.

"jangan ambil nyawaku sebelum segalanya kembali seperti semula"








tetes-tetes hujan mendadak jatuh di atas wajahnya. matanya yang sedari tadi terpejam, perlahan mengerjap. dirasakannya tubuhnya mulai basah setelah hujan benar-benar jatuh tanpa jeda. akhirnya dia bangun. kedua kakinya ditekuk. dipeluknya sendiri lututnya. sisa-sisa air matanya melebur jadi satu bersama hujan. kemudian dia teruskan.







"ku sudah jera. Tuhan, ku sudah jera" jeritnya dalam hati.

0 komentar:

Post a Comment