March 10, 2012

Ruwet

aku bukan pada halusinasiku. hanya pada jembalang liar yang mengakar di tembok-tembok berdinding kelam. menyatu bersama deru angin. berintegrasi bersama guyur hujan sore hari.

aku hanya ingin mengulang waktu sepersekian detik lalu. di saat tawa masih melebar di sisi-sisi bibir. di saat senyum mengembang tanpa tekanan. di saat dunia mneriakkan namaku di setiap hela napas pohon - pohon kapas.

aku hanya berusaha merajam perasaku sendiri. membunuh nafsu yang semakin biadab memperbudak batin. aku lelah. gundah. hendakkah aku mengatakan kepada semuanya bahwa aku sedang tidak baik-baik saja?

tanyakan saja pada masa lalu yang pernah mengikrarkan janji.  sejak kapan ditidurinya kalimat sakral yang membuat jantungnya bergerak liar?

kau terangkai menjadi puisi dalam genang air mataku. hingga paruh tubuhku menggigil menyebut namamu.

tidak penting bagaimana runtuh maya menyibakkan dunia baru. sebab yang aku tahu, laguku telah berjibaku bersama teduh matamu di akhir senja.

mendamba pagi menguar memori. teresapi bulir kasih wangi dedaunan. mengeja setiap kata dari para pekicau muda.

ku tawakan raga yang melemah di ujung rona merah. sekiranya akhir menjemput kawanan gila yang bertopeng manusia. akan ku cecap muara bahagia tanpa sedikitpun melihatnya.

berakhir di bawah hujan. menjelma jadi malaikat menakutkan. bibir tergetarkan. biru kedinginan disapa angin malam.

kidung cinta bermain mesra di udara. mengalun syahdu mengiring langkah kaki muda - mudi. melompat - lompat manja di sela gelak tawa merdeka budak cinta.

biru bukan hantu. juga bukan batu yang terasing di pojok lembah palsu. hanya seonggok manusia tanpa mata yang mengintip bahagia yang tak pernah didapatnya.

kesendirian bukan hal baru bagi para penjejak langkah. separuh putih rambutnya memakan waktu tanpa teman. hanya bersama mimpi dan sunyi dilangkahinya ribuan kaki. meneguk sepi.

0 komentar:

Post a Comment