October 17, 2012

Ada Guru Di Mataku

Apapun dan bagaimanapun keadaannya, ada Guru di Mataku.

Tidak tahu darimana datang keberanian untuk menuliskan ini. Sudah lama dan sudah mengendap di kepala sejak terakhir kali momentum trenyuh dan tersakiti karena menonton sebuah acara di televisi swasta yang menayangkan sebuah sekolah SMA – yang menurutku tidak layak dijadikan sekolah – di sebuah daerah di Nusa Tenggara. Saya lupa daerahnya mana. Tapi yang pasti adegan itu masih terekam jelas di kepala. Masih dengan gamblang terbayang. Adegan saat upacara bendera itu… Adegan saat seorang guru memukul lonceng tanda kelas dimulai. Ah sebentar, sebelumnya saya akan mencoba mengingat sisi – sisi sekolah itu. Ada banyak bagian di sana yang belum saya jelaskan.

Sebuah sekolah yang berdiri jauh dari pemukiman penduduk, yang terletak di tengah padang ilalang. Dikelilingi oleh pohon – pohon besar serta rumput liar. Aroma wangi matahari menyengat langsung tanpa penyaringan. Hanya ada satu bangunan berdiri yang menampung siswa - siswa itu tadi. Bangunannya pun saya pikir bukan menyerupai bentuk sekolah yang pada umumnya, seperti yang ada di daerah kita.  Terutama daerah perkotaan besar seperti Surabaya ini tentunya. Juga di daerah desa saya yang saya pikir keadaannya jauh di bawah perkotaan tapi ternyata tidak semengenaskan itu. 

Dinding sekolah yang hanya terbuat dari kayu – kayu yang sudah lapuk termakan usia. Fentilasi yang langsung mengenduskan udara dari luar. Atap yang siap mengucurkan air ketika hujan tiba. Lantai tanah yang selalu becek jika air menggenang. Bangku kayu yang rapuh ketika diduduki. Papan tulis yang masih memakai kapur putih. Lonceng. Ah saya mengingat lonceng itu. Lonceng yang biasanya kita dengar ketika jam masuk, jam istirahat, dan jam pulang berdentang. Entah itu terbuat dari lonceng zaman Belanda yang bahannya dari besi besar lengkap dengan pemukulnya, atau lonceng listrik yang lebih kita kenal dengan bel yang sekali tekan, suaranya terdengar dari halaman depan sekolah sampai pojok belakang. Di sana tidak seperti itu. Loncengnya terbuat dari besi tua yang dipukul dengan batu. Astaga… miris. Air mata saya sampai mengambang di pelupuk dan siap untuk jatuh saat itu juga. 

Adegan upacara bendera. Hati siapa yang tidak bakal trenyuh dan luluh saat melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka – calon penerus bangsa – melangsungkan upacara yang selalu dihela di hari Senin itu dengan sangat khidmat? tidak ada gaduh seperti yang sering kita lihat di upacara bendera pada umumnya. Hanya beberapa gelintir siswa dan guru yang berdiri di bawah terik matahari namun semangat yang saya lihat di mata mereka menggebu. 

Pernah. Suatu ketika mengikuti program KKN – BBM universitas (Universitas Airlangga) di sebuah daerah di Probolinggo, Jawa Timur.  Di sana, daerah pegunungan memang. Jauh dari pusat kota sehingga ada banyak keminiman yang saya temui. Banyak pengalaman yang bakal membuka mata bahwa dengan keterbatasan ruang dan semacamnya, mereka tetap ada (baca: Guru)


Foto di atas adalah saya dan kawan - kawan seperjuangan yang sedang melaksanakan tugas Universitas. Kami baru saja selesai mengajar di SDN Boto 1. Kami mengajar Bahasa Inggris dan Membaca di sana. Perlu diketahui, sebelum kami datang ke sana tidak ada mata pelajaran Bahasa Inggris sama sekali. Sehingga ketika kami datang, kami melihat antusiasme luar biasa dari mereka. Semangat untuk belajar begitu tinggi sehingga saya sendiri merasakan energi gila yang membuat saya tidak bisa mengendalikan perasaanku sampai terharu. Senang, sangat bahagia dan bangga bisa berada di antara mereka. 


Kalau yang ini adalah foto kami bersama beberapa guru dan Bapak Kepala Sekolah yang kece. (Lihat Bapak yang pakai batik putih hitam). Sedikit cerita. Bangunan di belakang kami adalah ruang guru dan kepala sekolah. Ketika pertama saya melongok ke dalamnya, decak heran keluar dari mulut saya. Bayangkan saja, dengan bangunan kelas yang memadai itu (lihat foto pertama), bangunan untuk singgah guru masih kurang layak untuk ditempati. Ruangannya kecil, hanya terdiri dari beberapa kursi dan meja guru saja. Alas lantainya dari ubin. Tidak seperti bangunan kelas yang beralas keramik. 

Di sekolah yang kedua saya menemukan sekolah yang jauh lebih baik dari sekolah pertama. Ruang guru dan kepala sekolah tidak seperti SDN Boto 1, SDN Boto 2 jauh lebih bagus dan fasilitasnya lumayan lengkap. Hanya saja masih ada satu ruangan kelas yang ambruk dan menunggu untuk diperbaiki sehingga ada shift kelas pagi dan siang.


Ada dua bangunan di belakang kami yang atapnya ambruk. Meskipun begitu, siswa - siswi di sana masih dengan senang hati masuk sekolah. Dan ketika kami datang, sambutan yang luar biasa pun diberikan. Mereka senang, apalagi ketika kami datang dengan menyodorkan pelajaran Bahasa Inggris yang memang tidak ada di kurikulum mereka. Duh, kasihan kan? bagaimana nanti mereka melanjutkan ke jenjang SMP dimana mungkin teman - teman sebaya mereka sudah mengusai dasar - dasar Bahasa Inggris dan mereka harus memulainya dari nol?

Dan di sekolah terakhir, SDN Boto 3 adalah yang paling jauh dan sulit dijangkau. Daerahnya yang sedikit masuk hutan membuat saya sedikit ngeri. Melewati jalan berkilo - kilo meter, masuk ke kampung yang dikelilingi pohon - pohon besar, dengan jalan berbatu dan licin. Astaga, saya melihat sekolah yang paling membuat saya miris. Memang bangunannya tidak seperti di Nusa Tenggara tadi yang beralaskan tanah, dinding kayu, atap rumbai, dan sebagainya. Hanya saja sedikit membuat sesak bagi orang yang melihatnya. Bukan hanya tidak ada kurikulum bahasa Inggris, tetapi.....



Sekolah ini paling kecil, hanya terdiri dari dua bangunan utama. Satu yang kecil itu adalah ruang guru dan kepala sekolah. Sedangkan yang di samping itu adalah ruang kelas yang hanya terdiri dari tiga kelas. Setiap kelas dibagi menjadi dua bagian dengan hanya dipisahkan oleh dinding triplek. Ya, mereka berbagi kelas. Apa yang bisa kalian bayangkan dengan berbagi kelas seperti itu? Suara gaduh membuat tidak konsen belajar, ya kan? Tepat seperti apa yang salah seorang guru katakan padaku.

Saya sempat berbincang dengan Ibu guru itu. Beliau bilang, memang di antara SD di Boto hanya SDN Boto 3 yang kekurangan kelas dan kondisinya sedikit memprihatinkan. Lihat saja anak - anak itu harus melepas sepatunya saat masuk ke dalam kelas karena sehabis hujan, dengan jalanan becek, tidak mungkin mereka membawa sepatunya ke dalam kelas. Bahkan ada yang tidak pakai sepatu dan hanya mengenakan sandal.  Saya sempat melihatnya ketika jam istirahat tiba. 

Di sana juga kekurangan guru, hanya ada dua atau tiga orang guru tetap. Sedangkan sisanya guru honorer. Honorer? Pikirku, patut diacungi jempol. Tenaga guru honorer dengan gaji seperti itu bisa membuat mereka bertahan di sekolah ini adalah bentuk dari pengabdian akan ilmunya yang luar biasa.

Dari dua tempat berbeda di atas, saya bisa lihat satu benang merah. Yaitu, di tengah keterbatasan yang ada mereka tetap berangkat sekolah. Anak - anak itu, saya tahu berasal dari tempat yang jauh. Mereka berjalan kaki berkilo - kilo untuk bisa sampai ke sekolah. Melewati hutan dan sungai. Bisa membayangkan? Ya, seperti yang biasanya banyak televisi tayangkan.

Itu hanya beberapa dari banyak potret nyata yang bisa kita lihat di seluruh belahan dunia INDONESIA RAYA ini. Tidak perlu jauh – jauh pergi ke daerah Nusa Tenggara atau daerah Probolinggo. Lihat ke daerah paling pelosok di kotamu. Masihkah menemukan bentuk sekolah yang bagi kita sangat tidak layak? Berdinding kayu, atap rumbai – rumbai, beralas tanah, atap ambruk, kekurangan kelas? Ya, seperti dalam film Laskar Pelangi, bukan? Andrea Hirata dengan cerdas menggambarkan betapa minimnya fasilitas belajar anak – anak negeri kita di daerah pelosok. Betapa kurangnya fasilitas yang seHARUSnya mereka dapat.

Ah bayangkan. Bayangkan jika kita berada di sana. Jauh dari pusat kota. Jauh dari buku – buku yang bisa kita dapatkan dengan mudah di toko buku. Jauh dari koneksi internet yang seharusnya bisa membuka mata lebar – lebar betapa kayanya dunia, betapa luasnya ilmu pengetahuan yang bisa mereka dapat dari sekali ketik di google. Bisa kita hidup dengan ketidaklayakan itu?

Saya tidak bisa habis pikir, dengan anggaran pendidikan yang dijanjikan sebesar 20% dari APBN itu dibawa kemana oleh orang – orang yang memegangnya? sebanyak kurang lebih (katanya) Rp 286 triliun anggaran pendidikan tahun 2012 itu seharusnya bisa memperbaiki banyak sekolah yang rusak di seluruh pelosok Indonesia Raya ini. Bisa membelikan buku - buku untuk menambah koleksi perpustakaan di sekolah agar anak - anak itu bisa membaca dan membuka matanya bahwa dunia di luar sana begitu sangat menakjubkan. Bisa menambah guru - guru pelajaran Bahasa Inggris yang (katanya) penting itu ke sekolah - sekolah kecil di desa sekedar untuk mengenalkan "ini loh Bahasa Inggris", juga sekalian memberdayakan lulusan - lulusan Pendidikan S1 yang (katanya) pintar itu untuk mengajar Bahasa Inggris itu. 

Lagi - lagi, jika harus membahas tentang anggaran membuat kisruh. Siapa yang harus disalahkan? si pembuat budget atau si penerima di masing - masing daerah? Entahlah. yang pasti, jika budget sebesar itu tidak dialokasikan dengan benar, maka suatu saat nanti entah negara Indonesia Raya ini mau jadi apa orang - orangnya. Sarana penunjung belajar saja minim, bagaimana bisa maju? Apakah cuma orang - orang kota saja yang boleh dan berhak maju? Pikiran sempit. Dan dari sinilah ketidakseimbangan bakal terjadi, dimulai dari sisi pendidikan, tentu saja merembet pada sisi - sisi yang lain. 


Saya tidak tahu kenapa harus membahas budget pendidikan ini. Tapi bagi saya ini penting untuk dibahas. Akar masalah dari ketidakseimbangan itu ada di sini. Coba saja kalau penggunaan anggaran itu rata dan pemerintah atau pihak berwenang jeli pada sekolah - sekolah pinggiran yang rusak. Coba saja antek - antek atau orang yang berwenang di daerah yang paling dekat cepat tanggap dan segera melapor pada ATASANnya, bisa membayangkan betapa kerennya kita jika seperti itu? Ada satu sekolah rusak, langsung dilaporkan dan langsung mendapat dana. Otomatis, bakalan keren. Tapi mimpi. Birokrasi yang berbelit - belit seperti sekarang rasanya semakin menjauhkan negara kita tercinta untuk maju. Yowislah, biar orang kota saja yang maju. Yang desa tinggal saja....seperti itu? ya sepicik itulah isi kepalamu. Mencerdaskan anak bangsa kok pilih- pilih tempat? Tidak ada yang tahu kan kalau suatu saat bakal menemukan mutiara tenggelam dari desa terbelakang?


Cukup, saya malas membahas tentang anggaran.

Sekolah rusak dan tidak layak memang mengingatkan saya pada film Laskar Pelangi. Di balik ketidaksempuranaan, keminiman, dan segala kekurangan itu selalu terselip intan permata sebagai penyempurna. Dimanapun ia berada, kapanpun ia tetap menjadi bunga, pahlawan, intan permata. Siapa lagi kalau bukan guru? Ada mereka di mata mereka, di mataku. 

Lihat saja sekolah di Nusa Tenggara tadi. Dengan kondisi yang menurutku sangat menyesakkan dada itu, masih ada sosok luar biasa yang berdiri menyangga tiang - tiang sekolah untuk tetap berdiri kokoh. Dia tidak akan pernah membiarkannya jatuh. Guru. Ada guru di sana. Ada Bapak Ibu Guru yang selalu menemani anak - anak itu untuk menjelajah dunia lewat matanya, lewat bahasanya. 

Seperti bara api abadi. Semangat guru. Ah saya melihat betapa sabarnya Bapak – Ibu guru itu membimbing anak didiknya di Nusa Tenggara yang kurang lebih belasan orang itu. Mereka bertahan karena nurani yang menyeret mereka harus tetap berada di sana. Demi mereka, demi anak – anak itu. Kalau bukan mereka yang tinggal, lalu siapa lagi? Yah, meskipun dengan keadaan seminim itu saya pikir semangat mereka terus tersulut demi menyulutkan juga api semangat anak didiknya tetap singgah dan belajar dari mereka.

Di Probolinggo, saya juga menemukan semangat yang sama. Atas nama pengabdian, mereka bertahan demi anak - anak itu. Demi senyum - senyum yang akan menjadi senyum luar biasa kelak, senyum sang penerus bangsa. Dengan keadaan yang kurang layak, mereka masih menerima dengan senang hati. Mereka, guru - guru luar biasa itu tetap berjalan di belakang anak - anak untuk mendorong mereka terus belajar agar tidak ketinggalan dengan anak - anak kota. Ada guru honorer yang menggelitik, mengusik daya pikir saya. Di tempat yang jauh dari kota, minim fasilitas seperti itu saja mereka masih mau bertahan dengan gaji kecil. Demi apa coba? Demi anak - anak itu. Demi senyum dan harapan yang selalu tergambar di mata anak - anak itu. Demi tugas mulia yang lahir dari dalam hati. Demi amanat yang ia pegang sedari awal mereka melakoni profesi itu. Jika mereka menginginkan gaji besar, tentu mereka akan segera meninggalkan anak - anak itu, meinggalkan si pemilik senyum - senyum bahagia ketika mereka datang membawakan buku dan mendongengkan macam - macam cerita. Tapi tidak, nyatanya dengan senang hati, atas nama berbagi, sebagai perantara dari Sang Pemilik Ilmu mereka tetap mengemban amanat itu. Menempatkannya dalam dada bahwa sebuah ketulusan akan dibayar sangat mahal, tidak di dunia, namun di akherat kelak. Kemuliaan dan keikhlasanmu akan menjadi bekal nanti, Bapak Ibu Guruku.

Pernah membaca sebuah kutipan "Sangat mustahil suatu bangsa bisa menjadi maju tanpa melakukan pemerataan dan peningkatan pendidikan-pengajaran." Dari kutipan itu jelas tersirat bahwa pendidikan melahirkan peradaban yang tinggi dan meningkatkan kualitas negara itu sendiri. Dan salah satu faktor penting untuk meningkatkan pendidikan adalah seorang guru. Tanpa guru, pendidikan hanyalah omong kosong saja. Guru sebagai agen peradaban dan memegang peran penting mengajari dan memotivasi anak didiknya untuk mencari dan mencintai ilmu kemudian mempelajari, menyimak, dan mengamalkannya kelak. 

Ada guru di mata mereka (ku), di setiap napas yang kami hela. Di setiap aliran ilmu yang terpaku di kepala. Diminimnya kurikulum pembelajaran yang ada, diketidakadaan internet dan semacamnya, juga buku - buku yang tidak banyak tertata rapi di perpustakaan, dikeadaan sekolah yang mengenaskan dengan hanya beralaskan tanah, beratap jerami, berdinding kayu, masih ada seseorang yang dengan kegigihannya menegakkan semangat, membuka lebar - lebar mata anak - anak untuk tetap duduk dan mendengarkan petuahnya. Dan sebaliknya, dikesempurnaan fasilitas, kecanggihan teknologi, kehebatan kurikulum, dan sarana pendidikan yang maju tidak akan ada artinya tanpa kehadiran seorang guru. Ya. Ada guru dimana - mana. Di mataku, di mata mereka.


Di setiap tumpu harapan yang mereka gantungkan demi anak didik mereka, ada doa yang mengalir lepas ketika malam tiba. Semoga, hidupmu jauh lebih baik nak. Kelak.....

6 komentar:

bernard roeng said... Reply Comment

inspiratif..

Bibir Beku said... Reply Comment

@bernard roeng: makasi mas :)

anotherorion said... Reply Comment

dunia pendidikan kita emang masih dalam kondisi kurang ideal, semoga ke depan ada perubahan kearah yang lebih baik

Bibir Beku said... Reply Comment

@anotherorion:amin, semoga mas... mari sama2 berdoa demi kemajuan bangsa kita

Muhamad Tajul Mafachir said... Reply Comment

boleh lik, saya dikenalin guru yang masih muda muda itu

Bibir Beku said... Reply Comment

@Muhammad Tajul Mafachir: boleh, ntar aku kenalkan sama guru GEOGRAFI ya. Namanya MAHARNI. Mau??

Post a Comment