December 31, 2011

Maria


dan kalaupun itu mimpi, keinginan untuk terbangun lagi adalah nol besar. sebab aku ingin tetap di sana. ruang maya yang selalu menyatukan kita

Sedang tertidur di bantalan kursi tua ruang tamu rumah mungil di pojokan kota angin. Sambil dihirupnya sebatang rokok bergabus cokelat dan sesekali mengepulkan asapnya ke udara. Kaki kanannya ditumpukan di atas dengkul kirinya, menyilang bebas. Sementara sebelah tangannya ditaruhnya di dahinya yang agak lebar. Matanya terpejam menahan nikmat khas rokok yang sering dia bibiri itu.

Samar – samar lagu Ayyy Girl-nya JYJ mengalun dari dapur kecil di sebelah ruang tamu. Menambah sensasi kekoreanan di rumah itu. Sebuah poster besar menempel di dinding ruang tamu, poster 2PM. Bantal penghias kursi pun adalah SuJu. Sandal tidur milik perempuan yang tengah bernyanyi kecil itu pun gambar SNSD. Dan masih banyak benda lain yang berbau korea terselip di beberapa sudut rumah. Ditatapnya rumah itu berkeliling, dan Benny hanya menggeleng ringan, dasar wanita.

“Maria….,” Benny berbisik lirih. Diraihnya rambutnya yang acak – acakan itu. Dan menyisirnya ke belakang. Dahinya yang agak lebar terlihat lebih jelas. Tahi lalat yang menitik di sudut kirinya tergambar seperti lukisan tinta hitam yang sering dibulatkan lebar oleh Maria. Benny menyentuhnya. Mengusapnya beberapa kali. Dan dia tersenyum geli. Lalu Sekali lagi disisirnya dengan jari – jari tangannya rambut yang entah telah bebrapa hari belum dikeramasi itu.

“Benny…., tolong ambilkan kantong plastic di lemari situ donk,” teriak Maria dari dapur, sempat membuat dada Benny berloncatan. Ah Maria, mengagetkanku saja.

Bergegas Benny bangun dan meletakkan puntung rokoknya di asbak yang telah disediakan Maria di meja tamunya. Lalu diseretnya kakinya ke lemari yang terletak di sudut ruang tamu.

“Ria…. Ada isu global warming kok masih pakai kantong plastic sih?” gerutu Benny asal – asalan.
“Mau ditaruh mana lagi kalau bukan kantung plastic, Ben?” teriak Maria dari dapur.
“taruh di hatiku aja” goda Benny
“emang mau?” balas Maria genit.
“maulah, apa sih yang nggak mau buat Maria?” balas Benny tak kalah genit. Setelah menemukan kantung plastic hitam besar dia bergegas menuju dapur.
"beneran nih…” kerling Maria saat mendapati benny telah berdiri di sampingnya
“suer…” jawab benny sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V
“oke. Taruh tuh sampah ke hatimu” ucap Maria sambil melirik tempat sampah yang berdiri di bawah kakinya. Lalu mengerling genit ke mata Benny sambil tersenyum manja.

“ih………..gemes deh” dicubitnya pipi tembem Maria dengan gemas. Maria yang sedang memegangi bawah merah dan pisau tidak bisa membalas perlakuan Benny.
“Benny…nakal ah, jahil banget sih?” gerutu Maria sebal. Dikerucutkannya bibir tipis merah jambunya.
“abisnya kamu gemesin sih” jawab Benny sambil mengusap – usap pipi mulus Maria.
Ditatapnya lebih dalam mata cokelat tua perempuan yang tengah berdiri sepuluh senti dari tubuhnya. Maria yang sedang diperhatikan seperti itu merasa sedikit rikuh. Hendak diputar tubuhnya menghindari Benny, namun lebih dulu tangan Benny meraih lengannya dan mengambil pisau yang masih digenggam Maria dan meletakkannya ke meja dapur sebelahnya, juga bawang merah yang masih di genggam tangan kiri Maria.

Maria merasakan jantungnya berdegup lincah saat Benny menyentuh lengannya, juga ketika mata Benny memandangnya dengan cara berbeda. Maria semakin kikuk. Dikedip – kedipkannya matanya yang tidak kelilipan itu. ditelannya ludahnya berulang kali untuk sedikit mengusir gugup saat wajah Benny sudah sangat dekat ke wajahnya. Jarak sesenti, hidung mereka beradu. Napas mereka bersentuhan, hangat. Keduanya merasakan gemuruh liar di dadanya masing-masing.

***

Benny membuka matanya. Di atas karpet merah ruang tamunya. Dia tertidur seketika setelah berhasil melepas sepatu dan kaos kakinya. Tubuhnya terasa sangat letih. Digerakkannya kakinya yang meringkuk. Juga seluruh badannya yang terasa habis dipukuli. Diliriknya jam dinding, 23.25. Benny memutar paksa tubuhnya dan menimbulkan bunyi di ujung pinggangnya. Ditendangnya udara sampai dia berhasil duduk. Wajahnya yang letih dan rambutnya yang acak - acakan membuat Benny semakin tak bergairah untuk membersihkan diri. Sudah cukup seperti ini saja.

Rumah sangat sepi. Hanya sesekali terdengar raungan anjing milik tetangga rumah. Juga titikan air keran di kamar mandi. Lampu ruang tamu dibiarkannya mati. Hanya cahaya perak dari kamar Maria yang memberikan sedikit cahaya di ruang tamu. benny tersentak kaget. Dilihatnya pintu kamar Maria yang terbuka. Benny bergegas bangun. Terlonjak dadanya mendapati kamar Maria terbuka seperti itu. Dilarikannya tubuh letihnya ke pintu kamar Maria. Jantungnya bergemuruh. Keringat dingin menyapu tubuhnya. Matanya membulat. Disandarkannya bahunya di daun pintu kamar bercat cokelat muda itu. Benny menghela napas. Tubuhnya beringsut ke lantai. Dipeluknya lututnya sendiri. dan Benny akhirnya menangis setelah tiga bulannya Maria pergi.

Kamar yang rapi....
in memoriam, Maria Santaseiza 27 September 2011




0 komentar:

Post a Comment