September 30, 2011

Aku Merindukanmu

Aku merindukanmu seperti pagi merindukan mentari

Elang, namanya Elang, lelaki itu namanya Elang. Lelaki luar biasa itu adalah Elang. Matahariku itu adalah Elang.

Pagi sekali aku telah berada di koridor kampus. Sepi, suasana masih sepi. Hanya ada aku dan beberapa OB di sana.
Lalu aku bergerak perlahan. Memulai untuk mengacak-acak memoriku dari area wifi yang sering kami gunakan, di depan kursi duduk keramik hitam yang di bawahnya pernah kami coret-coret itu aku menunduk. Mencari coretan tangan jahil Elang yang pernah dibubuhkan di sana. Dan aku menemukannya. Masih jelas. Masih bisa terbaca mata normal manusia...

"Elang Sadewa & Narinda Putri"

Aku tersenyum getir. Namamu masih di sana, Lang. Dengan gontai aku melangkah pergi meninggalkan satu memori. Lalu aku mendongak ke arah langit - langit depan ruang dosen, aku bergumam "kau di sana Lang?"
Menaiki anak tangga dekat kantin, bayanganmu berkelebat, aku sering mendapatimu terduduk di sana, sekedar untuk mengambil gambar orang-orang atau sekedar untuk duduk santai mengamati orang yang lewat.

Aku melewati kelas pertama kita. Semester satu kita sekelas. Masih ingat bagaimana caramu berkenalan denganku ? kau berpura - pura menabrakku sehingga membuat kalkulatorku rusak. Aku bisa merelakan kalkulator butut itu hancur hanya saja kau bersikeras untuk memperbaikinya agar kau bisa berkunjung ke rumahku. Aku menggeleng tak percaya pada tingkah konyolmu waktu itu. Dan setelah itu kau rutin berkunjung ke rumahku bahkan sebelum kau benar-benar tahu berapa nomor handphoneku.

Ku naiki tangga dengan pegangan besi yang sudah mengarat itu. Satu per satu anak tangga ku naiki dengan sangat pelan, mencoba mengorek banyak memori yang sering kita goreskan di sana. Telah sampai aku pada loteng teratas, lantai 7. Di sana adalah tempat favoritmu, favorit kita ketika malas untuk masuk kelas, favorit kita untuk bermain UNO, bercengkerama dengan angin yang membuat rambut kita berantakan. Di sanalah kita pernah melukis masa depan, menggambar impian, menulis harapan. Dan di salah satu bagian pagarnya kau menulis sesuatu untukku. Aku ingat bagaimana kau memintaku untuk menutup mata saat kau menuliskannya. Kau takut atau malu lang ? Aku hampir tak mengenali tulisanmu karena telah lama tergerus panas dan hujan. Namun, aku masih bisa tahu dengan pasti bahwa itu tulisanmu, tulisan seorang Elang.

"bukan cinta yang membuat kita hidup. tapi hidup lah yang membuat kita cinta"

Setelah membacanya dadaku bergemuruh, kesakitan. Aku telah menahan ini dari tadi. Aku telah mencoba untuk tidak menangis seperti apa yang telah ku janjikan padamu. Hanya saja, kali ini benar-benar sulit Lang. Ini setahun kau pergi. Setahun tak pernah lagi ku temui kau di kampus, di rumahku, dan di semua tempat yang sering kita kunjungi, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu.
"Lang, apa kabar ?" Aku terbata, bibirku bergetar, aku menangis sesenggukan di sana. Aku terduduk, menyandar bahuku ke tembok. Aku tak bisa menyangga tubuhku sendiri. Aku jatuh.

"Lang, andai....." tenggorokanku sakit menahan ini, dadaku terguncang seperti setahun lalu saat kau pergi meninggalkan dunia kita dan membiarkanku menangis sendiri di loteng ini. Dan tanganku gemetar sendiri saat hendak menuliskan kalimat dalam tembok yang pernah kau gunakan untuk menulis kalimat tadi.

"aku merindukanmu seperti pagi merindukan mentari"



0 komentar:

Post a Comment