September 26, 2011

Tuhan, Ampun.

Menenggelamkan diri bersama semburat mega merah di ufuk barat, menikmati silau mentari sore di atas genting rumah adalah kegiatan rutin yang biasa Sarah lakukan. Menekuri setiap momen yang pernah dia rasakan bersama Caraka. Ah, Caraka...Sarah menginginkannya lagi, pria yang begitu memikat. Aroma kenzo leupar tubuhnya masih segar menyeruak ke dalam hidung Sarah. Merasakan setiap sentuh jemarinya membuatnya melayang. Dan tiba-tiba Sarah bergidik mengingat kejadian malam itu bersama Caraka di sebuah hotel di pantai barat Jawa.

Tak ada yang pernah tahu kapan sang setan berdiri di antara dua manusia kesepian. Pun ketika wewangian angin menyepoi di tengah lautan pasir di luar sana. Yang sebenarnya tak boleh terjamah pun ingin menuntut penyelesaian dari sang pemilik napas. Debur ombak di bawah sana seperti alunan melodi pengiring sang penjelajah dalam menekuri setiap senti ladang di hadapannya. Sengal napas yang memburu di antara mereka tak terbendung, awan panas menggelayut di ubun-ubun. Dan semua udara di ruang itu berubah menjadi panas luar biasa. Akal sehat berlarian meninggalkan tubuh mereka, yang ada hanya permintaan penyelesaian akan kehausan yang terbendung lama, yang membuat jiwa mereka kekeringan akan hasrat beradu. Dan setan pun berjingkat, lalu melonjak kegirangan ketika sang dara kehilangan mahkotanya. Yang terjamah pun menitikkan air mata, menangisi kepuasaan dan penyesalan.

Penyesalan itu tak pernah datang lebih awal, gumam Sarah dalam hati. Tapi tidak pada rasanya pada Caraka, menyukainya tak akan menumbuhkan penyesalan. Yang ia sesalkan hanyalah kepada setan yang membuatnya tak berdaya. Tipu dunia begitu menggairahkan, begitu indah, begitu membuatnya lupa. Huft. Sarah mendesah, membiarkan angin sore melecuti wajahnya.


Yang terjamah, biar saja terjamah. Dan yang terdosa, biar saja terdosa.....Tuhan, ampun.

0 komentar:

Post a Comment