September 25, 2011

Sebuah Pembalasan


Memulainya memang tak semudah dengan apa yang Naya bayangkan sebelumnya, kali ini dia berhadapan langsung dengan sumber masalah yang selama ini telah mencekik lehernya. Sekarang, dia benar-benar telah berada di depan hamparan lautan manusia dengan berbagai golongan orang papan atas. Lututnya gemetar saat seorang penjaga membukakan pintu coklat besar bersemu perak yang tadi memisahkan dia dan mereka. Dan sekarang jantungnya berlarian.

Gaun merah pemberian Rein telah membalut tubuh kurusnya. Sepatu ber-hak duabelas senti itu telah memaksa kakinya berjalan anggun. Sanggul kecil menghiasi kepalanya. Wajahnya dipoles sedemikian rupa hingga orang lain mungkin pangling siapa dirinya. Tak lupa lagi Rein membelikan dompet kecil warna senada dengan sepatu yang dipakainya, plus asesoris lain. "Cantik, sempurna." puji salah seorang tamu tak sengaja menubruk bahu kanannya yang dibiarkan membuka. Seketika Raya tersipu mendapat pujian itu. Seumur hidup, baru dirasakannya pujian indah itu terlontar dari mulut seorang lelaki.

Diluruskannya punggung yang tak berkain itu, dagunya yang memang runcing dibiarkannya lebih menegak, tatapan matanya mengkilat, dan senyum paling istimewa menyepuh di antara blush on pink yang membuatnya semakin manis. Dan semua orang memang memandangnya sambil berbisik, mata para pria terkesan jelalatan memandang tubuh anggun di hadapannya, sedang para pasangannya menatap penuh iri.

Naya tetap melenggang di antara para tamu-tamu penting itu, dicarinya lelaki yang selama ini membuat hidupnya berantakan, yang tidak menganggapnya sebagai anak, yang menelantarkan dia dan ibunya. Lelaki yang lima belas tahun lalu telah menikahi wanita lain demi uang. Dan tiba-tiba saja rahang Naya mengeras, digigitnya bibir bawahnya yang terolesi lipstik merah darah. Naya menemukannya. Gunawan Sastranegara, lelaki jangkung itu tepat berdiri di hadapannya, memandang penuh kekaguman pada wanita di depannya. Seorang lelaki muda di sampingnya menoleh, tersenyum lebar pada Naya, lalu mendekati dan mencium pipinya.

Mata Naya berkilat, senyum sinisnya terurai di depan lelaki tua itu. Rein, menggenggam mesra tangan kanan Naya. Dan mata lelaki tua itu melotot, jelas sekali dia kaget melihat adegan mesra anak lelakinya dengan Naya. Belum sempat bicara, rein sudah memulainya
"Pa, kenalkan ini Raya pacar Rein sekaligus calon mantu Papa. Gimana, cantik kan Pa? dia sebenarnya juga karyawan di kantor kita loh Pa. Sayangnya dia tak pernah dandan, makanya cantiknya ilang" gurau Rein di sela-sela tatapan sengit di antara Naya dan lelaki tua itu. Kentara sekali lelaki tua itu bingung sekaligus takut menerima kenyataan bahwa yang berdiri di hadapannya adalah anak tunggalnya bersama wanita terdahulunya. Keringat dingin mengucur dari tubuh lelaki lima puluhan tahun itu. Naya menunduk ringan tanda memberi salam hormat kepada lelaki tua itu.

Ketika Rein mendapat telpon dari seorang rekannya, Naya mendekati lelaki tua itu. Ketakutan melanda, takut akan dibeberkannya jati dirinya di hadapan semua orang. Setengah berbisik, Naya mendekatkan bibirnya ke telinga lelaki tua itu.
"apa kabar, ayah ? kau terlihat sangat sehat dan baik-baik saja ya ? cih" Naya tersenyum getir lalu melengos pergi meninggalkan lelaki itu, namun tiba-tiba dibalikkannya badannya dan kembali mendekati lelaki tua itu.
"aku hamil" bisik Naya setengah mengejek, memandang geli mata lelaki tua itu.
"apa?" Lelaki tua itu shock. Dipandanginya mata Naya yang berkilat, berkaca-kaca. Dan semuanya menjadi gelap dalam pandangan lelaki tua itu. Dia jatuh, tersungkur tak sadarkan diri. Sementara Naya, tersenyum puas melihatnya.

0 komentar:

Post a Comment