September 22, 2011

Kepergianmu

Aku merasa tubuhku terdorong, terpojok, tersudut, terhimpit oleh beberapa manusia yang berebut memasuki kamarmu. Aku meringis saja menahan sakit yang menggunung di sekujur tubuhku. Terlebih harus melihatmu terbujur tak berdaya di atas kasur berseprei putih itu. Aku bisa mendengar sengguk tangis yang keluar dari bibir wanita - wanita itu yang kemudian diiringi jeritan pilu. Terlebih wanita paruh baya yang dari tadi memeluk erat tubuh ringkihmu itu. Sungguh, tak ada suatu hal yang begitu mengharukan, yang begitu mengoyak ulu hati ketika seorang ibu memeluk dan menangisi anaknya. Air mataku meleleh lagi melihat itu. Aku tak bisa melihatnya terlalu lama. Lalu ku antarkan diriku sendiri keluar ruangan berbau obat itu. Lututku melemas. Tangisku pecah di luar sana. Rasa nyeri menggeliat dengan bebas di dalam dadaku.Tersentak-sentak tiada tertahan. Padahal sekuat tenaga ingin ku sembunyikan raut sayu di antara mereka. Aku mau tegar. Aku mau tetap berdiri dengan kakiku sendiri.

Aku yang sejam lalu melihatmu dengan mata kepalaku sendiri menangis menahan sakit, mengiba memandang bundamu, dan tersenyum tipis sebelum tertutup matamu itu dijalari ketidakpercayaan luar biasa. Tubuhku seperti melayang entah kemana. Rasanya seluruh persendianku terlolosi satu per satu. Bundamu melemas dan jatuh tersungkur di lantai tanpa daya. Aku hanya bisa melongo. Mematung. Membisu menatapmu terdiam seperti itu. Ku tatap matamu yang terpejam abadi itu. Aku melutut di sampingmu. Memastikan sekali lagi bahwa jemarimu telah membeku. Bahwa desah nafasmu tak lagi terdengar dari indera pembaumu. Bahwa detak jantungmu sudah melarikan diri dari dadamu. Bahwa semuanya sudah terbang dari ragamu. Bahwa kau telah benar-benar pergi. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un.

Di sisi lubang kuburmu. Masih sempat ku perhatikan wajah teduhmu yang damai di bawah sana. Masih bisa menikmati seutas senyum yang mengembang dari bibir manismu. Baikkah kau di sana ? kau akan sendiri. Maaf Aku tak bisa menemani. Dan perlahan iqomah menggema. Lalu tanah basah itu berguguran menimbunmu. Memaksaku mengalihakn pandangku padamu. Memaksaku memekik menahan tangis. Lalu pusara itu tertandai namamu. Nama yang selalu ku tulis dalam lembar diaryku itu kini ku lihat jelas di sana. Menyentuhnya dengan jemariku yang mulai melemas. Meraba gundukan tanah merah yang masih basah itu membuat air mataku meleleh lagi. Membuat dadaku tersentak-sentak lagi.

Ku iringi langkahmu sampai ke akhir jalan Sungguh berat terasa menyadari semua.....
Di saat terakhirku menatap wajah itu. Terpejam kedua mata. Dan terbang selamanya......
Inginku mengejar dirimu. Menggenggam erat tanganmu. Sungguh ku tak rela....
Ku tahu kau tak tersenyum melihatku menangis. Maka sekuat tenagaku ku relakan saat kepergianmu.....

Lalu semuanya gelap......


*fiksi

0 komentar:

Post a Comment